Kamar mandi kantor

1.1K 11 0
                                        


Lana berjalan lesu ke rumah, dia merasa tak enak dengan Hendrik, tetapi memang dia seolah melihat bayangan beberapa hari lalu, dan itu sangat menyiksa.

Duduk di ruang tamu, masih terdiam di sana, "Bagaimana kalau Hendrik memecatku? Di kota sangat sulit mendapatkan pekerjaan, aku tidak boleh membuat kesalahan lagi, hanya jualan ceriping tidak akan membantu banyak, bagaimana kalau Hendrik marah?" Lana memeluk dirinya sendiri, seolah menyesal, kenapa bayangan itu tak pergi begitu saja setelah dia ke kota? Mendengar pintu dibuka dengan keras, Lana langsung menoleh, "Mas Pras?"

"Lana, kau cantik sekali." Pras mendekat dan langsung memagut bibir Lana.

"Mas, apa yang kamu lakukan, Mas?" Lana tak suka dengan gerakan Pras yang agresif.

"Kenapa, Lana? Bukankah aku suamimu?" Langsung melepas semua pakaiannya dan siap mengajak Lana bersenang-senang.

Lana berdiri dan menjauhi Pras, "Mas, aku tidak bisa melakukannya sekarang, tolong jangan lakukan itu." Milik Pras yang bangun, membuat Lana seolah mengatakan ucapannya ke Ari, dia juga melihat yang seperti itu kemarin.

"Kenapa, Lana? Kita sudah menikah, kan? Aku menjaga hubungan kita agar tak dirusak orang lain, dan saat aku memintanya padamu, kamu tidak bisa memberikannya padaku? Kenapa, Lana?" Pras yang merasa nafsunya sudah di ubun-ubun, sangat tersiksa dengan penolakan Lana.

"Aku belum siap, Mas, aku-" Lana ingin menolak, tetapi Pras langsung menyambar bibirnya. Untuk pertama kali Pras bahkan merobek pakaian yang dikenakan, Lana tak berani menolak, takut Pras pergi meninggalkannya jika tak melayani.

Saat tubuh sudah telanjang, tangan Pras seolah saja menjijikkannya dengan tangan Ari, Lana tak bisa menikmati apa pun. Dia menutupi wajahnya agar Pras tak melihatnya menangis, membiarkan Pras melakukan apa yang diinginkan, mungkin memang seperti ini takdir kehidupannya.

***

Hendrik baru saja selesai lari pagi, melihat Lana sudah datang, dia mendekatinya, "Selamat pagi."

"Astaga!" Lana kaget dengan sapaan Hendrik.

"Maaf-maaf, aku tidak tahu kamu akan kaget begitu." Hendrik menggaruk tengkuk yang tidak gatal, "Kau ... terlalu pagi."

Lana tersenyum, "Aku ingin membayar yang kemarin, aku tidak bisa bekerja dengan baik, jadi kupikir-"

"Itu tidak perlu. Sudah sarapan?" Melihat Lana menggeleng, "Ayo! Kita sarapan bersama." Hendrik mengajak Lana ke dapur, membiarkan Dina menyiapkan sarapan, dan mengajak Lana sarapan bersama.

"Ini ... hm ... berlebihan." Lana masih belum menyentuh piring di depannya.

Hendrik yang melahap makanannya, menggeleng, "Kamu belum sarapan, kan? Kalau sampai pingsan lagi, bisa-bisa polisi akan menghukumku dan dituduh menganiayamu, aku tidak mau itu terjadi."

Mendengar itu, Lana pun mulai menyentuh piring, dan mengambil makanan.

"Kenapa jalanmu aneh?"

Lana menatap Hendrik, tak menyangka akan ditanyai seperti itu, padahal dia sudah berjalan sebaik mungkin tadi.

"Kalau kamu tidak mau cerita tidak apa-apa. Jaga kesehatanmu. Pekerjaan di sini banyak, kan? Aku tidak mau ada sesuatu yang serius, tetapi kalau kamu mau cerita dan aku bisa membantu, aku akan menghargainya." Hendrik lanjut makan.

"Apa ... kamu suka makanan kemarin?"

"Onde-onde?" Hendrik melihat Lana memejamkan saat menyebut onde-onde.

"Ada ... sesuatu yang ... sangat mengganggu. Bolehkah tidak memasak itu lagi saat aku masih kerja? Aku ... tidak ingin ... mengingatnya."

Hendrik tersenyum, "Ya, apa puan yang kamu minta."

Lana tersenyum lega, "Terima kasih." Barulah dia makan, setidaknya jawaban Hendrik membuatnya lega, dia akan aman bekerja di sini.

Pras ... tidak menemukan Lana. Hanya sepucuk pesan yang mengatakan Lana sudah berangkat bekerja dengan sepiring nasi goreng di meja. Pras yang ingat Lana menangis saat digauli, merasa bersalah, tetapi semalam dia benar-benar tak bisa menahannya. Apa yang terjadi? Apa karena minuman Teni?

Pras bekerja seperti biasa, setelah jam istirahat, dia menemui Teni, menggebrak meja itu karena hanya ada Teni di sana, "Apa yang kau masukkan ke minumanku?"

Teni tersenyum, "Apa? Itu hanya minuman biasa." Dia malah semakin berani dengan berdiri di depan Pras, serta mengulurkan tangan untuk mengusap naik turun milik Pras yang masih terbalut celana, "Memangnya kamu merasakan apa?"

Pras mengepalkan tangan. Apa yang harusnya disalurkan dengan benar, ternyata belum tuntas, dan itu menyiksanya lagi hari ini. "Kurang ajar kamu, Ten." umpatnya meski bersuara rendah.

Teni terkekeh, "Milikmu mudah sekali bangunnya, Pras. Apa aku boleh mengulumnya? Tidak ada orang di sini, semua orang ke luar sampai jam satu, kita tidak akan ketahuan." Teni berlutut begitu saja, mengeluarkan milik Pras, dan menjilat dengan lidahnya, "Tetapi aku tidak mau mempertaruhkan posisiku." Teni berdiri, "Maaf, aku tidak bisa membantumu, Pras." Berjalan ke luar.

"Kurang ajar!" Pras memasukkan kembali miliknya dan mengejar Teni. Apa wanita itu tahu, betapa pusing kepalanya saat ini? Melihat kamar mandi yang akan dilewati Teni, Pras pun mendorong Teni ke sana, mendorongnya ke dinding, dan langsung memagut bibir Teni kasar.

Tak hanya itu, tangannya langsung menaikkan kaki Teni ke WC duduk, serta mengocok milik Teni begitu saja, "Kau sadah basah, kau memang bajingan ternyata, aku baru tahu ada bajingan sepertimu, Teni."

Bukannya marah, Teni malah tertawa, "Memangnya kenapa? Apa aku salah, Pras? Bagaimana jika begini?" Lebih mendekat ke telinga Pras, "Ough, Pras, Ough, aahhh, hmmm, lakukan, Pras. Lebih keras lagi, Oughhh ...."

Seperti gila. Itu adalah desahan yang dia inginkan dari semalam. Pras mengeluarkan kembali miliknya dan memasukkannya begitu saja ke milik Teni, "Kurang ajar kamu, Ten." Melakukannya dengan kasar, sungguh Pras ingin siksaan di kepalanya segera puas, tak peduli meski dia harus bermain kembali dengan Teni.

"Ough! Ini yang kumau, Pras. Ough, ough, ahhh." Teni menyambar bibir Pras, melumatnya kasar, ikut mendorong pantat Pras agar lebih keras menghujam miliknya. Keduanya beradu lebih keras dan keras, tak peduli meski posisi ini kurang nyaman, yang ditahui hanya ingin sebuah klimaks, "Oughh, oouugghhh, Pras, oughhhh ...."

"Kau gila, Ten. Kau memang gila." Pras mendorong Teni agar terlepas dari miliknya dan memasuki Teni lagi dari belakang, "Aku tidak akan membiarkanmu, Ten." Pras terus menghujam sekeras dia mampu, 'Plok! Plok!' Biar jika ada orang di luar yang mendengarnya.

"Ough! Ough! Ahh! Oughhh ... hmpssss, ough!" Teni pun ikut memaju-mundurkan pantatnya untuk melahap milik Pras yang terasa begitu penuh. Sungguh, ini sangat nikmat, pantaslah dia tak ingin Pras pergi begitu saja, "Lebih cepat, Pras. Aku mau ... ough! Aku mau keluar. Ough! Ahhhh... ough!"

Seolah tersihir, Pras malah menyanggupi permintaan itu, semangatnya seolah terpacu, bagaimana nafsunya berkhianat seperti ini? "Brengsek kamu, Ten!" Menampar pantat Teni. Ada amarah yang tak ingin tunduk dan Pras tak tahu apa itu. Semua seolah gelap dan tak mengenal mana yang benar. Sungguh, Pras pun juga terjepit. 

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang