Onde-onde

367 8 0
                                        


Dina ke taman, "Istirahat dulu, Lan." Melambaikan tangan agar teman barunya masuk dapur, "Bagaimana? Apa sulit di sana? Kulihat hari ini sangat panas."

Lana tersenyum, "Tidak, Din. Semua baik-baik saja." Menerima piring kosong dan langsung mengambil makan.

"Ini seragammu, tadi pak Hendrik menyuruhku memberimu seragam ini, ini seragam untuk laki-laki. Sebenarnya tidak ada seragam khusus karena pakaian di sana pasti kotor dengan tanah, tetapi setiap hari Sabtu, pakailah seragamnya kalau bisa, nyonya besar akan datang, dan beliau mudah sekali marah kalau ada yang tidak beres menurutnya." Dina ikut makan siang juga.

Lana mengangguk paham. Dia makan dengan cepat dan berdiri, "Aku ke taman lagi, ya? Aku akan menyimpan ini di sini dulu." Membiarkan kantong berisi dua seragam dengan warna sama itu, tetap tergeletak di kursi makannya tadi, dia akan membawanya pulang nanti.

Dina hanya bergumam dan menyelesaikan makan siangnya.

Hendrik turun, "Din, setelah makan buatkan aku sesuatu, ya? Rasanya mulutku ingin mengunyah sesuatu."

"Siap, Pak! Ini sebentar lagi selesai." Dina melahap suapan terakhir dan pergi ke dapur.

Sedangkan Hendrik berdiri di ambang pintu, memperhatikan Lana yang bekerja sambil sesekali bercanda dengan pekerja kebun lain, "Dia memang ramah."

"Ini, Pak." Dina menyodorkan piring dengan isi hanya lima.

"Cepat sekali." Hendrik mengambil satu yang panas dan meniupnya agar bisa segera dinikmati, "Bagi saja, masih banyak, kan? Kalau habis, nanti kubelikan lagi." Hendrik kembali ke rumah kerjanya untuk mengurus sesuatu.

Dina ke taman dan menyodorkan apa yang dibawanya, "Ayo makan dulu!" Dua pekerja pria segera mendekati Dina berserta dengan Lana juga, "Ayo ambil, Lan!"

Lana tersenyum sambil mengulurkan tangan, tetapi saat melihat apa yang akan diambilnya, dia langsung berteriak histeris, "Jangan! Pergi! Pergi dariku! Jangan!!" Berlutut sambil menutupi dua telinganya sendiri.

"Ada apa, Lan?" Dina sangat panik melihat Lana ketakutan.

Hendrik yang mendengar itu, ke taman, melihat Lana sudah jongkok sambil berteriak-teriak, "Ada apa, Lana?" Merangkul, berniat membantu Lana berdiri, di dalam lebih nyaman dari pada di sini, kan?

"Jangan, lepaskan aku, aku mohon, padamu, lepaskan aku." Lana menangis, menggeleng, memohon agar diampuni dan dilepaskan.

"Ada apa? Apa aku menyakitimu?" Tentu saja Hendrik tak mau melepaskan Lana.

Bukannya menjawab, Lana tetap menangis sambil menggeleng, "Lepaskan aku, jangan lakukan itu padaku, kumohon padamu, jangan lakukan itu padaku, Ari. Ampuni aku, kumohon, ampuni aku." Lana tiba-tiba pingsan.

Hendrik menangkap Lana dan menggendong Lana masuk, "Panggilkan dokter!"

Dina menyerahkan yang dibawanya ke pekerja kebun dan memanggil dokter keluarga seperti apa yang disuruh Hendrik tadi.

"Ada apa denganmu, Lan?" Hendrik bingung, seumur hidup, tak pernah dia melihat ada kejadian seperti ini di sekitarnya. Saat dokter datang dan memeriksa Lana, Hendrik hanya diam dan mengamati, saat Lana membuka mata, Hendrik duduk di seberang dokter, di samping Lana, pinggir ranjang.

Lana mengedarkan padangan, kamar yang bagus tak mampu menarik perhatian Lana, tetapi melihat Hendrik, dia langsung bangun.

"Bangunlah perlahan." Dokter itu menumpuk bantal di belakang Lana agar Lana lebih nyaman.

"Sekarang jam berapa, Pak Hendrik?" Lana rasa dia terlalu lama berada di sini.

Hendrik melirik jam tangan yang dikenakan, "Setengah dua. Ada apa, Lana? Kamu mengigau dan pingsan, apa pekerjaannya terlalu berat?"

"Kurasa bukan itu, tekanan darahnya tinggi, dan denyut nadinya juga cepat, apa kamu takut akan sesuatu? Apa ada yang membuatmu sakit? Apa kamu menginjak sesuatu yang menyakitkan atau mungkin melihat sesuatu yang menakutkan?" Dokter lebih tertarik akan hal itu dari pada hanya sekedar kelelahan saja.

Lana menunduk, "Maaf, Pak Hendrik, bisakah Anda tidak memberiku makanan tadi?"

Hendrik menoleh ke Dina.

"Kami lauk ikan tongkol dan terong balado tadi, Pak. Apa kamu alergi tongkol, Lan?" Dina menyesal karena tak bertanya dulu tadi sebelum mengajak Lana makan.

Lana menggeleng, "Bukan itu."

Hendrik semakin bingung dengan Lana. Ditambah dengan Lana yang menangis kembali, Hendrik jadi serba salah sendiri.

Dokter pun memberi Lana obat agar lebih tenang, menemani Lana, dan membahas hal-hal menyenangkan. Setelah Lana tidur, bukan pingsan seperti tadi, barulah dia keluar kamar, "Pak Hendrik, saya yakin Lana mengalami trauma, tolong Anda ingat-ingat lagi, apa yang baru saja dialami Lana sebelum dia berteriak dan menangis di taman."

Hendrik menggeleng, "Aku tidak tahu."

Dina yang mengekor dari tadi, urun suara, "Apa karena onde-onde tadi, Pak?"

"Onde-onde?" Ya, Hendrik memang suka dengan makanan satu itu. Dia minta ke Dina tadi, onde-onde beku yang dipanaskan dengan microwave sangat lezat, tetapi apa benar hanya karena itu saja bisa membuat seseorang trauma? "Aku hanya dengar dia memanggil Ari."

Dokter pun tersenyum, "Obat yang kuberikan tadi cukup ampuh meski dosis rendah, Anda bisa menanyakannya ke Lana, meski begitu tanyakan dengan perlahan, kalau Lana histeris lagi, Anda bisa memberinya lagi satu tablet. Jika kecemasannya tidak juga sembuh setelah tiga hari, Anda bisa ke rumah sakit menemui saya atau memanggil saya kembali. Saya permisi dulu, Pak Hendrik."

Dina yang masih berdiri di belakang Hendrik, "Saya tidak tahu kalau Lana alergi dengan onde-onde."

"Bukan alergi, tetapi trauma, itu dua hal yang berbeda, Din."

"Lalu bagaimana? Padahal Pak Hendrik sangat suka dengan onde-onde."

Hendrik terkekeh, "Sudah, kembali saja bekerja, aku akan menemani Lana." Hendrik kembali ke kamar Lana, cukup lama, hingga Lana terbangun lagi, Hendrik tersenyum untuk menyambut wanita itu, "Apa semua baik-baik saja?"

Lana mengangguk, "Apa saya boleh pulang sekarang? Saya akan lebih rajin lagi besok."

Hendrik melebarkan senyum dan mengangguk, "Aku akan mengantarmu."

"Tidak usah!" Lana langsung turun dari kasur, tetapi langkahnya yang tergesa membuatnya hampir terjerembap, untung saja Hendrik menangkapnya cepat, meski begitu Lana langsung berdiri kembali, "Ma-maaf."

"Pelan-pelan, aku tidak akan menghukummu, ayo! Aku antar pulang, besok setelah semua lebih baik, kamu boleh pulang sendiri." Hendrik menyuruh Lana duduk di kursi depan, setelah negosiasi alot, wanita itu mengalah dan menyetujui permintaannya.

"Kenapa kita lewat sini, Pak?" Lana bahkan bisa sampai lebih cepat jika lewat jalan yang diberi tahu Pras tadi pagi.

"Memang ini jalurnya, Lan, dan jangan memanggilku, Pak. Aku ingin semua orang yang ada di sebelahku, merasa nyaman, kita berteman agar lebih akrab, meski begitu jangan berpikir buruk tentangku."

Lana mengangguk, "Maaf tentang kejadian tadi, aku belum ...." Lana tak tahu harus mengatakan apa.

"Jangan kawatir, aku tidak akan menuntutmu lebih, tetapi kalau kamu mau bercerita padaku, aku akan mendengarkannya." Keduanya diam sesaat, setelah sampai di depan rumah Lana, Hendrik tersenyum, "Besok tetaplah datang, ya? Aku benar-benar membutuhkanmu."

Lana tersenyum, menunggu mobil Hendrik pergi, baru setelahnya masuk rumah.

Pras ... melihat truk hanya sisa satu, senyumnya semakin lebar kala mencatat lemburan itu, setelah selesai, dia menyimpan buku catatannya di laci, dan ke kantor bersama teman-teman lembur lainnya. Di laci, dia melihat minuman yang tadi diberikan Teni, dia membawanya pula sambil berjalan ke kantor.

"Ini sembakonya, ya?" Teni meletakkan sembako di meja beserta absensi lembur. Saat Pras di depannya dengan membawa botol, "Belum kamu minum? Itu tidak ada racunnya, Pras, bahkan semua juga kukasih yang lembur-lembur."

Pras menoleh ke teman-temannya dan ucapan Teni membuatnya tak enak, "Aku berencana meminumnya sekarang, Ten." Membuka minuman itu dan menghabiskannya dalam sekali teguk, "Tadi belum haus." Mengambil sembako itu dan pulang. Dia tak akan terjebak lagi oleh Teni. 

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang