Hendrik menikmati kopi di taman samping. Meski gelap karena tak ada lampu di dekatnya, dia tetap duduk nyaman, berkelana sendiri dengan angan, berselimut sepi sendirian.
Dyah, duduk di samping Hendrik setelah menemukan pria itu, "Kupikir seseorang bisa berubah seiring bertambahnya usia, ternyata kamu tetap sama sejak dulu." Dyah menoleh bersamaan dengan Hendrik, tersenyum karena wajah datar itu menunjukkan betapa tepat tebakannya, "Bagaimana dengannya?"
Hendrik terkekeh, "Aku tidak tahu." Mengambil rokok yang dari tadi diam di samping kopi dan menyulutnya.
"Setelah kematian istrimu, baru kali ini aku melihatmu tersenyum, begitu lepas dan tulus, tetapi menyimpan kepedihan di dalamnya."
Hendrik terkekeh kembali sambil mengembus asap, "Bagaimana denganmu?" Meski dulu dia dan Dyah pernah saling menuntut, tetap saja terasa asing saat dekat begini, "Kita sudah tidak muda lagi, kan? Kau menungguku?"
Dyah tertawa, "Aku akan menikah bulan depan, jangan kawatir, dia sedang dinas ke luar kota. Dia juga dokter sepertiku, menjadi ahli bedah cukup sulit, baik dia ataupun aku, sering mengikuti pelatihan di luar kota, dan kita naik level setelah kembali ke rumah sakit asal."
"W.O.W! Aku senang mendengarnya." Hendrik menghargai hubungan Dyah, "Jangan membohongiku demi apa pun."
"Tidak, aku akan mengenalkannya. Sebelum kamu dan Lana pulang, sepertinya dia sudah kembali, kalian akan jadi teman juga, kan?" Dyah mengambil rokok Hendrik, ikut menyulutnya juga, itu aktivitas yang dihindari meski sulit.
"Lana mencintai suaminya," Hendrik memang bercerita banyak hal ke Dyah, dia melakukannya agar Dyah mau mengabor si anak Lana, "sepertinya aku tidak memiliki tempat di sana."
"Kamu menyerah?" sela Dyah.
Hendrik menggeleng, "Aku tidak tahu. Dia baik dan gigih bekerja, lembut dan anggun, meski begitu dia juga tangguh, dia terlalu menarik." Terkekeh, "Tetapi uangku tidak cukup untuk menarik perhatiannya. Dia tidak membutuhkan itu. Dia ... membutuhkan cinta."
Dyah menghela napas, "Kalau dia jodohmu, dia akan datang, kalau bukan, dia akan pergi, meski sakit, itu tidak akan lama." Dyah berdiri, menekan rokok yang hanya diisap sekali ke asbak sampai patah dan mati, baru masuk meninggalkan Hendrik duduk sendiri seperti tadi.
Yuda ... baru saja mengantar Nita belanja oleh-oleh untuk mamaknya dan dia sengaja mengajak Nita ke kontrakan Pras. "Mampir sebentar, ya? Gak kemalaman, kan?"
Nita tersenyum sambil menggeleng, "Ini rumah siapa, Mas?"
"Temanku." Yuda mengetuk pintu. Kontrakan itu gelap, seolah tak ada kehidupan di sana, dan suara Pras juga tak terdengar. "Ayo!" Sengaja mengajak Nita lewat rumah Teni. Melihat sepeda Pras di sana, Yuda mengajak Nita pulang, "Aku langsung pulang, ya?" Hanya menurunkan Nita dan langsung pamit bahkan ke ayah Nita juga.
***
Yuda berjalan sambil membaca laporan yang dibuatnya kemarin, "Aku bekerja cukup keras, apa gajiku bisa naik beberapa ratus?" Terkekeh mengingat dia tak pernah mengambil lembur.
"Hei! Aku mampir ke kosan tadi." Pras langsung merangkul Yuda.
Yuda meremas laporannya dan menonjok Pras begitu saja, "Berengsek! Dasar kau berengsek! Aaahhh!!" Yuda melakukannya beberapa kali, setelah sadar Pras tak membalas pukulannya, dia pergi meninggalkan Pras yang masih terlentang di tanah.
Teni yang ikut melihat adegan tadi, berlari untuk membantu Pras bersama dengan karyawan lain, "Kamu tidak apa-apa?"
Pras mendorong Teni dan pergi ke gudang tiga, semua ini karena Teni, tetapi Yuda akan menikahi Nita, kan? Kenapa Yuda memukulnya di depan banyak orang seperti tadi?
![](https://img.wattpad.com/cover/275250619-288-k19594.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Kemarin
RomancePras sangat mencintai Lana. Rela bekerja ke luar kota untuk mempersunting wanita yang sudah diajak hidup bersama tanpa pernikahan. Tak peduli dengan Lana yang hanya hidup sebatang kara karena status yatim piatu yang disandang sejak umur belasan tahu...