Dada menempel dengan dada

6.5K 37 0
                                    


Mamak Yuda tersenyum sedari tadi, Lana yang semringah membuatnya ikut lega juga, "Kamu endak cepat menikah saja, Lana? Punya anak, terus cari kontrakan di kota, kan kalau sudah menikah, punya surat, endak bingung lagi kalau mau ikut Pras ke kota."


Lana tersenyum juga, tak kalah lebar jika dibanding dengan senyuman mamak Yuda, "Aku juga inginnya begitu, Mamak. Mas Pras masih mengumpulkan biaya, katanya ke KUA itu lumayan mahal."


Mamak Yuda mengangguk, "Tujuan yang baik, pasti akan cepat terkabul, kamu dan Pras harus yakin tentang itu."


"Mak, ada tamu."


Mamak Yuda menoleh, berdiri dan ke luar untuk menemui tamunya, "Loh! Nak Ari, mau beli ceriping lagi? Kemarin sudah habis?"


Ari dan seorang temannya pun sama-sama tersenyum, "Sudah, mau ambil lagi tapi endak banyak, lima puluh, ada?"


"Ada, ada, ada, biar disiapkan dulu." Mamak Yuda yang belum sempat duduk, segera kembali, mendekat ke Lana yang saat ini sibuk mengemas ceriping, "Siapkan lima puluh bungkus, pemuda yang kemarin ke sini, hari ini beli lagi."


"Pemuda?" perasaan Lana langsung tak enak, pikirannya teringat ke Ari saja. Tebakan itu nyatanya benar, saat Lana membawa ceriping ke teras, ditaruh di meja depan sambil dihitung, Ari mendekatinya. Lana hanya mengangguk, segera masuk kembali karena tak ingin Ari menyapanya.


"Aku membawakan ini untukmu." Ari menyodorkan kotak cukup besar untuk Lana, itu adalah kotak yang sengaja disiapkan untuk Lana dari semalam, "Ini dari mamak Pras, katanya semarah apa mamak denganmu dan juga Pras, kalian tetap anaknya." Ari mengangguk, meyakinkan agar Lana mau menerimanya.


Setelah berjibaku dengan semua kegelisahan, antara dirinya dan harga diri Pras, Lana menerima hadiah yang dia pun tak tahu apa isinya itu.


"Sampaikan salamku untuk Pras." Ari berbalik, segera masuk, dan membayar ceriping itu. Tak terlalu banyak bicara, Ari juga segera mengajak temannya untuk pulang, membawa ceriping itu bersamanya.


"Katamu kita mau menjalankan rencana, kok malah beli ceriping?" tanya teman Ari yang tidak paham dengan rencana temannya, ditambah dengan membawa sekarung ceriping, motor butut yang jalannya tak bisa cepat, membuat punggungnya encok saja.


"Jangan berisik, kan bosnya aku, to?" Ari terus menarik gas, membawanya ke pasar. Tak ada lagi pertanyaan, hanya napas kasar yang menerpa punggungnya. Setibanya di pasar, ceriping itu segera diobral dengan harga sama dengan pengambilan tadi, setelah semua habis, baru pulang ke rumah temannya. Ari merebahkan diri di kasur di depan TV, melepas penat dan lelah setelah menjual ceriping tadi.


"Aku kok bingung sama rencana kamu, Ari. Ini pekerjaan apa? Aku kawatir bayaranku—"


Ari segera membekap mulut temannya, membuat mulut itu menguncup dan terjepit oleh tangannya, "Kamu lihat perempuan tadi? Perempuan yang kuberi kotak besar berisi mi dan minyak tadi?" setelah temannya mengangguk, "Hafalkan wajahnya, itu adalah umpan terbaik kalau kamu mau banyak uang. Hahahahaha." Ari terbahak-bahak.

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang