Lana terkesiap, "Apa?!"
Hendrik mengangguk, "Ya, tidak ada lembur hari itu. Kau boleh melihatnya sendiri." Memutar laptop agar menghadap ke Lana, "Hari ini, kan?" Menunjuk sebuah tanggal, "Ada apa? Kamu bisa cerita padaku."
Lana menggeleng, "Mas Pras tidak pulang, Hen. Aku mencarinya ke pabrik, katanya tidak ada lembur, aku sangat kawatir, dan aku ke pabrik mengantarkan bekal, tetapi mas Pras memarahiku. Aku tidak tahu, aku bingung, aku ...." Lana menangis sambil menutupi wajah.
Hendrik yang mengerti ke arah mana perasaan Lana, langsung menarik Lana, dan memeluk erat. Sepertinya Teni melakukan tugas dengan baik. "Apa yang harus kulakukan untuk membantumu, Lan? Jangan menangis seperti ini. Aku tidak menyukainya."
"Aku hanya punya Pras di dunia ini, Hen. Aku takut dia meninggalkanku, aku harus melakukan apa untuk menahannya, ada apa sebenarnya? Aku sangat takut, Hen."
"Hei, hei?" Hendrik mengurai pelukan, mengusap pipi Lana, dan membingkai wajah itu, "Jangan berkata seperti itu. Aku tahu kamu yatim piatu, tetapi menghukum dirimu sendiri dengan merasa kecil tidaklah benar, ada aku di sini." Memeluk lagi. Bahkan Hendrik tak segan mencuri ciuman di puncak kepala Lana.
Setelah cukup tenang, Lana melepaskan diri, "Aku ... aku ingin mencari tahu, Hen. Mungkin ... itu bisa membuatku tenang."
Hendra menghela napas, "Apa yang akan kau lakukan jika menemukan sesuatu?"
Lana menggeleng, "Aku tidak berani memikirkannya." Dia menangis lagi, meski tanpa suara, Lana tetap mengusap pipi agar tetap kering.
Hendrik mengusap lengan Lana agar lebih tenang, "Aku akan mengantarmu pulang lebih awal mulai hari ini, Lan. Kita ke pabrik, setelah Pras memang pulang, aku akan menurunkanmu di depan gang, bagaimana?"
Lana mengangguk, "Aku akan membayar semua hutangku, Hen. Aku janji."
Hendrik malah tertawa, "Yang satu ini lebih mahal, Lan. Ingatlah." Tertawa kembali agar suasana sedikit mencair.
***
Lana benar-benar melakukan rencananya dengan Hendrik dan sudah beberapa hari dia melihat Pras pulang seperti biasa. Ini adalah hari ke lima, dan di hari ini pula untuk pertama kalinya Lana terkejut dengan apa yang dilihat, "Siapa dia?" Baru kali ini Lana melihat Pras begitu akrab dengan wanita lain.
Hendrik menoleh, "Teni. Dia mandor area di pabrik." Hendrik tidak pernah menceritakan apa pun ke Teni, sengaja agar apa yang terjadi terlihat natural, dan hari ini sangat ditunggu oleh Hendrik juga.
Lana yang melihat Pras pergi ke arah berlawanan dari rumah dan bersepeda dengan beriringan dengan Teni, membuatnya menarik napas panjang dan dalam, "Bisakah ... kita mengikuti ... mereka, Hen?"
"Ya." Menghidupkan mobil dan mengikuti Teni dan Pras. Meski Hendrik bisa menebak itu akan berakhir tidak baik, Hendrik hanya kawatir Lana tak kuat melihat semuanya, "Kau ... serius dengan ini?"
Lana mengangguk, "Ini yang kutunggu, Hen. Apa pun yang terjadi, aku akan melihatnya, aku ingin tahu ke mana mereka pergi." Sebuah rumah yang terlihat asri, bunga-bunga bermekaran, buah mangga mulai masak, dan air kolam gemercik merdu. Hanya satu yang kurang, di mana dua motor terparkir sejajar, lampu teras dibiarkan mati, padahal hari mulai gelap. Hati Lana bergemuruh, seolah meledak, ingin tahu apa yang terjadi, saat Hendrik mengusap lengannya, Lana hanya tersenyum.
Hendrik menyalakan mobil setelah diam cukup lama.
"Hen!" Lana menahan tangan Hendrik dan menggeleng, "Aku ingin tetap di sini, Hen. Kumohon."
Membuang napas kasar, "Untuk apa?" Langit semakin gelap, tak ada lampu yang dinyalakan, sedangkan Pras dan Teni di dalam cukup lama, sebagai orang dewasa cukup tahu dengan apa yang terjadi di dalam sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Kemarin
RomancePras sangat mencintai Lana. Rela bekerja ke luar kota untuk mempersunting wanita yang sudah diajak hidup bersama tanpa pernikahan. Tak peduli dengan Lana yang hanya hidup sebatang kara karena status yatim piatu yang disandang sejak umur belasan tahu...