Prolog

19K 128 17
                                    

Lana menangis di dada Pras, baru saja dia bertempur di ranjang bergoyang ini, dan Pras sudah melukainya.


Pras mengusap rambut itu dengan sayang, mengecup puncak kepala Lana, keringat di punggung yang dibelai juga belum kering, Pras pun tak rela, "Lana, apa kita akan tetap seperti ini? Bukankah kamu ingin aku segera menikahimu agar kita bisa memiliki anak yang lucu?"


Lana mengangguk. Memang itu yang dia inginkan. Tanpa pernikahan, anak hanya akan dipandang sebelah mata saja di masyarakat, dan itu yang tidak diinginkan Lana. Membuatnya memilih minum pil KB selama tinggal bersama Pras.


"Lana, aku akan pulang dua minggu sekali. Di sana hanya pria saja, tidak ada perempuan sama sekali. Aku akan memasak dan menjaga kesehatanku, jangan kawatir, ya?" Pras mengecup lagi puncak kepala itu. Setelah Lana mengangguk, tak lagi tersedu, Pras pun mendongakkan wajah itu, "Sepertinya sekali lagi untuk berpuasa dua minggu adalah pilihan yang tepat." Meringis sambil meremas bokong Lana, kulit itu terasa begitu lembut di telapak tangannya.


"Aku lelah, Mas Pras. Bukankah tadi sudah cukup, Mas Pras lama tadi keluarnya." Keringat di punggungnya saja belum kering, masak Lana harus kembali bergumul dengan kekasihnya ini.


"Aku akan melakukannya perlahan, Lana. Kamu tidak akan lelah." Siapa yang bisa menolak Pras? Lana pun tidak. Saat tangannya dengan cepat mengangkat Lana ke pangkuan, memagut bibir itu perlahan hingga terlalu menuntut, Pras menaikkan bokong Lana perlahan, menancapkan pasak tumpul miliknya yang sangat cepat menegang saat bersama dengan Lana. Duduk memangku, membantu Lana bergerak maju mundur dan juga ke atas serta ke bawah. Ah! Jangan lupakan putaran tiga ratus enam puluh derajat searah jarum jam itu, Pras saja bisa gila mendadak saat Lana terus menggempurnya begini.


Entah jam berapa ke duanya puas, Pras tak mau Lana sampai tak tidur jika dia memaksa untuk ronde yang ke tiga. Memeluk wanita yang dia cintai sambil terus mengusap punggung telanjang, hingga matanya sendiri terlelap. Ikut terbang ke pulau mimpi bersama dengan Lana.


***


"Mas Pras." Lana mengusap punggung kekar, saat kekasihnya membalikkan badan, menyambutnya dengan senyum termanis yang dia miliki. "Kopi." Lana menyodorkan kopi yang baru saja dibuatnya, "Katanya mau berangkat jam delapan? Nanti terlambat loh?" Lana menarik selimut itu, melipatnya bahkan meski Pras masih menggeliat sambil menerima kopi darinya.


"Rasanya aku ingin jam dinding itu berhenti berputar." ucapnya setelah menyeruput kopi, meletakkannya di nakas, Pras terkekeh, bangun dengan malas dan segera menyambar handuk. Semakin dia bersemangat mencari uang, maka semakin cepat juga bernikahan itu terwujud.


Lana tersenyum sambil menggeleng. Setelah kamar itu terlihat rapi, segera mencarikan pakaian untuk Pras. Tas besar yang tersimpan di lemari pun dikeluarkan, memilah beberapa pakaian yang kiranya pasti akan dipakai oleh Pras bekerja di kota nanti. Lana sangat tahu apa yang dibutuhkan Pras, tak sulit untuknya hanya menyiapkan itu saja. Setelah semuanya siap, Lana ke luar membawa sisa kopi Pras, dia akan menunggu Pras di meja makan.


Pras tersenyum di ambang pintu, tubuhnya basah, hanya terlilit handuk saja. "Semua sudah, Lana? Baju kerjaku, sarung, dan celana dalam?" Lana yang menganguk membuatnya lega.


"Cepat pakai baju, Mas Pras. Nanti terlambat." Lana tahu kalau Pras pun pasti sangat berat untuk pergi, sama dengan dirinya yang berat juga untuk ditinggal.


Pras terkekeh. Mengerjakan apa yang diperintahkan Lana, dia akan sangat rindu dengan perhatian itu setelah ini. Memeriksa tas, isinya sangat sesuai dengan apa yang dia ingin dan butuhkan. Setelah berpakaian rapi, Pras ke luar dengan membawa tas besar itu, meletakkannya di lantai dan siap untuk sarapan sebelum berangkat ke kota.


Lana mengambilkan nasi secukupnya, lauk ayam kecap dan tumis tempe kesukaan Pras, serta perkedel kentang juga. Berlebihan memang, tapi Lana yakin Pras tidak akan menemukan makanan seperti ini mulai nanti siang. 'Tok. Tok. Tok.' Lana menoleh setelah memberikan piring itu, "Aku buka dulu, Mas." Lana tak mau sarapan Pras terganggu. Lana tersenyum menyambut tamu itu, "Bang Yuda," itu adalah teman Pras yang mengajakanya bekerja di kota, "mas Pras masih sarapan. Bang Yuda sudah? Ayo sarapan bersama." Lana melebarkan pintu rumahnya. Pras memang tidak memiliki kendaraan, pergi dari rumah tanpa membawa apa pun selain baju yang dikenakan dulu, sampai bisa mengontrak di sini adalah anugerah terindah menurut Lana. Semua juga karena campur tangan Yuda juga. Tak ingin menuntut hal yang berlebihan, bersama dengan Pras adalah kebahagiaan yang sempurna menurutnya.


"Sudah kok. Tapi aku ikut saja, gak enak sama Pras." Mengekori Lana, Yuda pun terkekeh, duduk di sebelah Pras dan mengambil perkedel di dekat temannya yang masih menikmati sarapan. "Besok kita sudah mulai bekerja, kamu siap, to?" tanyanya ke Pras.


Pras mengangguk, "Yo jelas. Kita pulang dua minggu sekali, to?" Pras kawatir karena Lana akan di rumah sendirian.


Yuda terkekeh lagi, "Aku tadi sudah bilang ke mamak, Lana nanti biar ke rumah setelah kita berangkat." Yuda menoleh ke Lana, "Kata mamak, Lana ke sana kalau siang, bantu mamak bikin ceriping."


"Terima kasih, Bang Yuda." Lana tahu kalau keluarga Yuda sangat baik. Pertemanan dengan Pras memang sangat lama, Lana juga besar di kampung ini. Orang tua Yuda yang memiliki usaha ceriping singkong yang dikemas kecil-kecil serta dijual keliling kampung, membuat rumah Yuda yang besar itu tak pernah sepi pekerja. Lana juga mau membantu Pras untuk mengumpulkan uang agar impiannya segera terwujud.


"Kalau malam jangan lupa kunci pintu, Lana. Jendela jangan pernah dibuka." Meski rumah Yuda ada di sebelah rumah yang disewa ini, ada kebun singkong yang membatasinya, tentu saja Pras kawatir. Terlebih rumah ini hanya bersebelahan dengan rumah mbah Sri, tetua adat di kampung sini. Sosok itu pendiam, Lana akrab memang, tapi Pras yakin tak ada yang bisa mbah Sri lakukan kalau ada sesuatu yang berbahaya.


"Mamak bilang kalau Lana boleh tidur di sana." sela Yuda.


"Nah! Bagus itu!" Pras akan mendukung yang satu itu.


"Jangan kawatir, Mas. Lana baik-baik saja. Mamak baik, nanti Lana tidur di sana dan juga di sini. Mbok Sri sendiri nanti, kasihan to yo?" Lana tak mau semua malah berpikir negatif sebelum berangkat bekerja.


Pras terkekeh, Lana memang perempuan yang baik, sayang keberuntungan tak berpihak hingga orang tuanya tetap saja tak mau menerima Lana yang terlalu sempurna di matanya ini. "Ahh ... ." Pras menghabiskan kopi dan juga air putih segelas. Berdiri dan mengambil tasnya, mendekat ke Lana, "Aku berangkat dulu, yo? Jaga dirimu dengan baik. Dua minggu lagi aku akan pulang." Mengusap puncak kepala itu, ingin memeluk tapi ada Yuda di sini.


"Hm ... aku ini apa, to?" Yuda terkekeh, meminta tas Pras, dan keluar. Temannya itu sepertinya membutuhkan waktu untuk berdua.


Pras tertawa, setelah Yuda keluar, segera memeluk Lana, "Aku akan merindukanmu." Tak hentinya menciumi puncak kepala Lana, hatinya begitu berat rasanya.


Lana mengusap punggung Pras, "Jawab, apa kita akan tetap seperti ini? Atau menikah dan memiliki Pras dan juga Lana kecil yang lucu?"


Tawa Pras terkelakar, mengurai pelukan itu, mencium bibir Lana dan akan menyimpan rasanya untuk dia ingat selama dua minggu nanti.

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang