Jangan ingkar janji

312 9 0
                                    


Pras ke kantor karena mendapat SP dan dia bersama dengan Yuda juga.

"Ini karena tidak izin. Kalian mandor gudang, kan? Kalau tidak masuk siapa yang mencatat truk? Kalau kalian melakukannya sekali lagi, aku tidak bisa membantu." Teni saja kemarin juga mendapat banyak masalah karena Yuda dan Pras.

Hendrik berniat mencari Teni, tetapi dia melihat dua pria membawa SP di tangan, "Kalian Yuda dan Pras?"

"Iya, Pak." Pras dan Yuda menjawab bersama.

"Ke ruanganku sekarang." Tak jadi mencari Teni, kembali lagi ke ruangannya dengan Pras dan Yuda, "Duduk." Setelah dua pekerja itu duduk, Hendra membuang napas, "Ke mana kemarin?"

Pras menjawab, "Maaf, Pak, istri saya dalam masalah dan yang punya ponsel mamaknya Yuda, jadi Yuda pulang bersama saya. Saya janji, kejadian ini tidak akan terulang lagi, saya juga sudah mengajak istri saya tinggal di sini, maafkan saya."

"Ya sudah, kembali ke gudang."

"Terima kasih, Pak." Pras dan Yuda berdiri dan kembali ke gudang, "Pak Hendrik kelihatannya baik."

Yuda terkekeh, "Itu karena alasanmu mendasar, coba kalau alasannya gak tepat, bisa-bisa langsung dipecat kita, Pras."

"Maaf, ya, Yud, gara-gara aku kamu juga dapat SP." Pras jadi merasa tidak enak.

"Jangan dipikir, Pras. Santaiiii ... aku ke gudang dulu." Yuda langsung meninggalkan Pras dan pergi ke gudangnya. Begitu juga dengan Pras.

Teni mengetuk pintu ruangan Hendrik, "Pak?"

"Ada apa, Ten?" Hendrik yang bermain ponsel hanya menoleh sekilas ke Teni.

"Kok cuma sebentar? Bapak, tidak memecat Pras dan Yuda, kan?" Teni meringis saat Hendrik menoleh padanya.

Terkekeh, "Tidak, Ten. Pras dan Yuda bolos karena hal penting, jadi aku tidak melakukan apa pun pada mereka. Oiya, apa kamu tahu tempat yang menarik untuk dikunjungi? Aku merasa bosan sekali." Hendrik meletakkan ponsel di meja.

Teni meringis, "Bapak sepertimu butuh pendamping."

"Belum ada yang cocok, Ten." Hendrik memang lama ditinggal mati istrinya, selama ini dia juga sudah mencari, tetapi belum ada yang berhasil menarik hati.

"Itu karena Bapak terus di kantor, sekali-kali jalan-jalan ke tempat yang belum pernah dikunjungi, Pak. Mall, pasar, atau taman. Banyak orang, banyak pilihan, banyak kenalan, dapat jodoh deh!" Teni terkikik mendengar jawabannya sendiri.

Hendrik malah tertawa keras, "Ada-ada saja kamu, Ten. Ayo beli makanan! Biar kamu semakin gemuk."

Teni langsung melihat perutnya sendiri, "Mana ada? Aku seksi begini. Eh, Pak! Ada bakso enak lo di depan pasar. Bapak coba ke sana deh. Kalau gak cocok sama Bapak, Bapak boleh minta ganti rugi ke penjualnya." Teni tertawa lagi.

"Depan pasar? Malas aku, Ten. Di pasar banyak orang tak tahu aturan, mau kenal orang di sana juga males." Hendrik tidak menyangka kalau Teni merekomendasikan tempat seperti itu.

"Tetapi bakso yang kubicarakan berbeda, Pak. Pembelinya dari mana-mana, Bapak tidak akan menyesal ke sana."

"Oke. Aku akan berangkat sekarang." Hendrik mengantongi lagi ponselnya dan berdiri, "Aku pergi dulu!" Mengajak Teni ke luar dari ruangannya dan pergi ke penjual bakso yang dibicarakan Teni tadi.

Lana ... baru saja sampai rumah, dia segera mengemas ceriping yang hanya menjadi tiga puluh bungkus itu, dan membawanya dengan tas untuk dititipkan ke warung-warung di sekitar kontrakan.

"Terima kasih, Bu. Saya tinggal di belakang, kalau habis sebelum saya ke sini, Ibu boleh datang ke rumah." Lana bersyukur karena tiga warung yang didatangi, semua mau beli dan ramah padanya, ini adalah awal yang sangat baik.

"Iya, gampang. Kalau rumahmu sini 'kan kita sering ketemu nanti. Ini uangnya." Pemilik warung itu membiarkan Lana pulang setelahnya.

Di jalan, gang yang menjadi satu-satu akses ke rumah malah terhalang oleh mobil, Lana mencari pemilik mobil itu hingga berkeliling beberapa kali, "Apa dia di dalam?" Mengintip ke mobil.

"Ya, ada apa?"

Lana menjingkat dan menoleh, "Maaf, saya mau masuk, tetapi tidak bisa karena ada mobil ini. Apa ini mobil Anda?"

Pria itu mengangguk, "Kamu wanita yang di pasar tadi?"

Lana mencoba mengingat-ingat, setelah dia ingat kalau pria di depannya adalah pria yang beli cendol tadi, Lana pun tersenyum sambil mengangguk.

Terkekeh dan mengulurkan tangan, "Hendrik."

Lana menerima uluran tangan itu, "Lana."

"Mobilnya mogok, aku nunggu montir, jadi aku tidak bisa memindah mobilnya. Rumahnya kosong tadi, aku mau izin, tetapi karena kosong, jadi aku membiarkannya di sini. Tidak masalah, kan? Mungkin sebentar lagi montirnya sampai." Hendrik menjabarkannya panjang lebar akan kesalahpahaman ini.

Lana tersenyum dan mengangguk, "Saya sedang pergi tadi."

Melihat tas di tangan Lana kosong, Hendrik pun jadi penasaran, "Dari mana?"

"Hm ... mengantar ceriping ke warung."

"Ceriping?" Hendrik bahkan tak tahu ada makanan seperti itu di sini.

Lana tersenyum lagi, "Saya baru pindah dari kampung, di kampung saya biasa buat ceriping, jadi ... dari pada tidak bekerja, saya berjualan ceriping."

Barulah Hendrik mengangguk-angguk paham, "Apa kamu butuh pekerjaan? Aku bisa mencarikannya kalau mau, gajinya juga bagus menurutku."

Lana berpikir sejenak, tetapi sepertinya pria di depannya ini memang orang baik, "Pekerjaan apa?"

"Hm ... apa kamu bisa menata taman atau pekerjaan semacam itu?" Hendrik memang tidak membutuhkannya, tetapi jika Lana mau, sepertinya dia akan sering bertemu juga dengan Lana dan itu terdengar menyenangkan.

Lana mengangguk, "Bisa, tetapi aku tidak bisa menginap. Apa tempatnya jauh dari sini?"

"Tidak. Apa kamu tahu pabrik di depan sana?" tunjuk Hendrik yang diangguki Lana, "Rumahnya di belakang pabrik itu, kamu tinggal memutar saja, nanti ketemu dengan rumahnya, yang ada pagarnya tinggi." Hendrik menoleh saat montir yang dinantinya datang, "Hei! Bantu aku memajukan ini."

Montir itu mengangguk dan langsung mendorong mobil Hendrik.

Setelah mobil di tempat yang lebih baik, Hendrik kembali mendekati Lana, "Kalau kamu mau, datang saja, aku di rumah setiap hari. Terima kasih tidak mengusirku." Hendrik mengangguk dan pergi.

Lana mengangguk juga dan masuk rumah. Penawaran Hendrik terdengar bagus, Lana akan membicarakannya dengan Pras nanti sore, semoga Pras mengizinkannya bekerja di sana.

Pras ... sibuk seperti biasa saat Teni datang ke gudang tiga, "Ada apa? Laporannya nanti jam empat, kan? Aku belum menyelesaikannya, Ten. Maju, Pak!" Dia mencatat lagi dengan teliti truk yang baru saja ditimbang.

"Kamu kemarin ke mana, Pras? Aku tanya Yuda, dia tidak mau ngaku." Bahkan Teni malah mendapatkan siksaan kemarin. Meski siksaan itu menyenangkan.

Pras menghela napas, "Aku mengajak istriku ke sini, Ten. Jangan ganggu aku lagi mulai sekarang."

Teni tersenyum kecut, "Apa maksudnya ini, Pras? Bukankah kamu sudah berjanji setelah aku membantumu berhutang di pabrik?" Teni melangkah lagi agar lebih dekat, "Ingat, ya, Pras, aku adalah orang yang cukup dipercaya di sini dan aku bisa melakukan apa saja kalau kamu mengingkari janjimu sendiri." 

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang