Desah mengganggu

18.4K 83 6
                                        


Pras baru saja sampai kota, tidur satu kosan dengan Yuda, sahabatnya sejak kecil. "Yud, kita besok ketemu sama siapa dulu? Aku kok deg-deg-an, yo?" tanya Pras sambil menata pakaian di almari, bersebelahan dengan pakaian Yuda.


"Halah! Kenapa kok deg-deg-an. Bosnya cantik, baik lagi. Kemarin aku sudah bilang, kamu satu bagian sama aku, sama-sama mandor juga, untung kan kita kuliah meski dulu kamu endak lulus. Hahahahaha." Yuda selalu tertawa kalau mengingat itu, ada cerita lucu di baliknya.


"Hmmmm ... mbok ya endak usah diingatkan to yoooo, to yoooo." Ke duanya pun tertawa. Setelahnya Pras pun beristirahat, perjalanan yang memakan waktu tiga jam dengan sepeda motor ini, cukup melelahkan menurutnya.


Lana...


Baru saja selesai mencuci baju dan menyapu, dia bersiap ke rumah mamak Yuda. "Mbok Sri, sudah makan?" sapanya ke tetangga satu-satunya itu.


"Sudah. Kamu mau ke mana, Lana? Pras sudah berangkat, to?" mbok Sri tahu kalau Pras akan bekerja ke kota.


"Sudah, Mbok Sri. Aku mau ke rumah bang Yuda, katanya disuruh bantu bikin ceriping. Lana berangkat dulu, Mbok Sri." Lana tidak enak kalau datang terlalu siang, nanti dikata tak mau bekerja di sana. Baru saja Lana mau menyapa, mamak Yuda sudah menyambut kedatangannya. Membuat Lana semakin cangung.


"Mulai besok datang jam delapan, yo? Ketela sama singkongnya dikupas, lalu direndam di sini. Siang makan di sini saja, sore pulang jam tiga."


Lana mengangguk dan tersenyum. Segera mengambil celemek kerja dan Peeler, duduk bersebelahan dengan pekerja lainnya, dan memulai hari pertama kerja. Lana tak banyak mengenal warga desa memang, hidupnya penuh kemalanga, itulah kenapa dia juga enggan berbaur dengan banyak orang. Takut dikata tidak tahu diri. Tapi keramahan di rumah mamak Yuda, membuat Lana nyaman bekerja di tempat ini. Sepertinya keluarga Yuda memang orang baik.


***


Hari berganti, Lana yang mulai beraktivitas meski semalam tidurnya sungguh tak nyenyak, sama dengan Pras juga. Menautkan wajah di cermin sambil menyisir rambut rapi. Pakaian yang dia kenakan juga sopan, Pras duduk di lantai, mengambil roti untuk mengganjal perut sebelum berangkat kerja. "Siapa nama Managernya?" tanyanya ke Yuda yang sedang makan roti juga, dicocol ke kopi buatan Yuda sendiri.


"Bu Teni. Dia juga yang mengurusi semua keuangan, jadi tugas kita mencacat semua barang masuk dan ke luar, lalu diserahkan ke bu Teni hari Jumat." terang Yuda, menggigit kembali rotinya.


"Jumat? Kok endak Sabtu?"


"Yo endak, Sabtu dihitung sama bu Teni, Senin gajian, jadi kita nerima gaji hari Sabtu sampai Jumat, begitu seterusnya. Ngerti?"


Pras terkekeh, baru kali ini dia kerja ikut pabrik besar, biasanya kerja di kampung hanya menggunakan kekuatannya saja, tidak dengan peraturan baku seperti ini. Setelah sarapan, Pras diajak ke kantor lebih dulu, berkenalan dengan bu Teni, bersyukur karena sosok itu ramah ternyata.


"Kamu di gudang tiga, Pras." ucap Teni sambil menyerahkan catatan untuk Pras.


"Saya tidak jadi satu sama Yuda, Bu?" Pras pikir dia masih perlu banyak bertanya nanti.


Teni terkekeh, "Satu gudang satu mandor, ayo ke gudang, aku ajari." Teni pun segera berdiri, mengajak Pras ke gudang tiga. "Di sini adalah gudang masuk. Biji kopi yang dikirim dari ladang, masuk di gudang ini. Kalau truk sudah ditimbang, cacat, kurangi beban truk, dan jadi satu laporan selesai. Mudah, kan?" Teni tersenyum, dia yakin Pras cepat paham, Yuda sudah bercerita kalau Pras dulu juga mahasiswa.


Pras mengangguk, "Biasanya sehari berapa truk, Bu?"


"Tidak tentu, kadang cuma delapan belas, kadang juga tiga puluh-an, tergantung sama panen-an di ladang. Kamu yang semangat kerjanya." Baru saja Teni mau kembali ke kantor, ada truk yang datang, dia pun berhenti, ingin melihat Pras mencacat truk itu. Teni melihat Pras sangat santun, berbeda dengan Yuda yang banyak bercanda. Yuda yang bercerita kalau Pras juga sudah menikah, membuat Teni tahu, kelihaian lain yang terlihat di lengan dan punggung itu. Setelah satu truk turun dari timbangan, Teni mendekat lagi, "Kamu tinggal sama Yuda, Pras?"


"Iya, Bu. Sama siapa lagi?" Pras terkekeh. Dia saja ke sini hanya membawa uang dua ratus ribu.


"Jangan panggil 'bu', Pras. Di gudang kita sama, kecuali kalau ada pertemuan dengan Manager lain. Yuda juga panggil Teni saja."


Pras terkekeh lagi, "Baiklah, Bu—eh! Teni." Pras mau karena Teni seumuran dengannya. Sama-sama muda, mungkin keberuntungan yang membuat Teni berada di jabatannya saat ini. Tak ada obrolan lain, Teni yang mengangguk dan pergi, dibalas anggukan juga oleh Pras. Tak lama truk ke dua datang, Pras pun kembali ke pekerjaannya, dengan hati-hati, tak akan dia biarkan melakukan kesalahan agar dia mendapatkan pandangan yang baik di tempat ini.


'Nguuuuuuuuung.' Pras mendongak, itu adalah lonceng pertanda istirahat. Pras pun menyimpan buku laporan yang dipegangnya ke laci kerja, dan ke luar. Dia akan mencari Yuda dan mengajaknya makan siang bersama. "Aku akan beli pecel saja, dua ratus ini harus cukup sampai minggu depan." Pras sudah dekat dengan gudang yang dipegang oleh Yuda, para perkerja sudah ke luar, mendekat ke warung yang berjajar di gerbang pabrik, Pras menghentikan langkahnya.


"Ough, Yud. Ja—ngan begi—tu, ough ... ."


Suara itu membuat Pras menelan ludah. Bukan karena dia menginginkan hal yang sama, tapi karena yakin dengan suara milik siapa itu. Terlebih dengan sebutan 'Yud' pastilah itu temannya, kan? Pras pun berbalik, tak mau mengganggu apa yang bukan urusannya. Yuda sudah dewasa, tak mungkin dia ikut campur atau bahkan menggurui.


"Ayo!"


"Ya!" Pras menjawab agak berteriak. Sopir yang baru saja dikenalnya saat mengirim biji kopi tadi, membuat Pras berpikir akan makan siang bersama sopir itu saja dari pada menunggu Yuda dengan segala kesibukannya.


Pras benar-benar beli pecel siang ini, dengan segelas kopi, bahkan tanpa tambahan tempe goreng, dia benar-benar akan hemat. Yuda tak juga bergabung, bisa dipastikan kalau temannya itu benar-benar sedang 'bekerja' dengan Teni. Setelah mengobrol ke kanan dan ke kiri dengan pekerja lainnya, Pras pun kembali ke gudang, sebentar lagi jam kerja akan dimulai.


"Pras?!"


Pras berhenti, berbalik karena panggilan itu dari belakang, ada Teni di sana, Pras hanya tersenyum dan mengangguk, ternyata canggung juga berhadapan dengan Teni setelah dia sempat mendengar desah menggangu di gudang Yuda.


Teni mendekat, "Ayo ke gudang, aku mau mengambil laporan minggu lalu, ada di lacimu katanya." Teni mengajak Pras berjalan bersama. Sama-sama diam, membuat Teni jadi tak enak hati, pikirannya berkecamuk, "Hm ... aku tahu kamu ke gudang Yuda tadi." ucapnya setelah sampai di gudang Pras.


'Deg.' Pras menoleh ke Teni, ternyata Teni malah melihatnya tadi, "Aku tidak bermakasud—"


"Sssstttt!" Teni menghentikan Pras yang entah akan berkata apa, "Apa ... kamu mau juga?"

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang