Terlanjur basah

6.7K 21 1
                                    

“Apa yang kamu lakukan, Ten?!” Pras panik. Dia segera ke pintu, ternyata sudah dikunci oleh Teni, dan dia kembali mendekati Teni untuk menutupi tubuh telanjang itu. “Jangan mengujiku terus, Ten.” Pras dengan cepat menarik selimut untuk menutupi Teni.

“Kenapa, Pras? Apa aku kurang cantik?” Teni terus menahan tangan Pras, dia tak ingin apa yang sudah dilakukan, berakhir sia-sia. Terlebih saat tanpa sengaja dia melihat milik Pras di balik handuk, “Bahkan milikmu sudah bangun. Kenapa kamu terus menahannya, Pras? Hanya ada kita. Aku tidak akan menceritakannya pada siapa pun.”

“Semua salah, Ten. Aku punya istri. Jangan—“

“Hanya istri siri, Pras. Aku juga tak ingin merebutmu. Hanya kali ini saja. Aku tidak akan pernah minta lagi padamu. Sungguh.” Teni mengangguk saat Pras menatapnya.

Pras sungguh dilema. Entah kenapa miliknya terus tegang, seolah ingin disalurkan, meski hanya ada tempat yang salah di depannya. Harusnya dia pulang saja, memadu kasih dengan Lana, bukan malah tergoda oleh Teni di sini.

Pras yang diam, Teni malah mengambil tangan itu, mengarahkannya ke miliknya yang haus, dan memagut bibir Pras lebih dulu.

Pras bingung, dia ingin, tapi dia tahu ini tak benar. Lumatan di bibirnya sangat nyata, tangannya belum bergerak, hanya rambut halus dan goyangan pinggul yang terus menggoda. Dia memejamkan mata, hanya Lana yang teringat, tapi miliknya tak mau reda. Di tengah gurunnya sendiri, Pras pun mendorong Teni agar terlentang di ranjang, memagut bibir itu dengan kasar. Mungkin dengan begini semua hasrat akan segera pergi.

Teni menang. Pras yang beringas, Teni semakin gencar, tak mau membuka kakinya sendiri semakin lebar. Saat Pras sibuk dengan payudaranya, Teni juga meraih milik Pras, mengurut, memijat agar terus tegang dan sesuai dengan yang dia inginkan, “Oughhh!”

Pras tak peduli teriakan Teni, dia memasuki Teni dengan kasar, meski tak sekesat milik Lana, cukup sempit untuk tegang miliknya. Pras tak memejamkan mata, terus menatap Teni yang belingsatan di bawahnya, karena saat matanya ini tertutup, hanya terlihat senyuman Lana, dan dia tengah mengkhianatinya saat ini.

Lana... baru saja membuka pintu, “Yuda? Mas Pras gak pulang?” melebarkan pintu agar Yuda masuk lebih dulu.

Yuda menggeleng, “Sabar. Sedang banyak lemburan di pabrik. Gajinya besar. Semoga tabungan Pras cepat terkumpul.”

Lana tertawa, “Kubuatkan teh, ya?” berdiri, berniat ke dapur.

“Gak usah,” Yuda ikut berdiri, “aku ke sini untuk mengantar ini.” Mengulurkan surat yang dititipkan Pras.

“Terima kasih, Yud.” Lana cukup gugup saat menerima surat dari Pras.

“Aku pulang dulu.” Setelah Lana mengangguk, Yuda ke luar, dia berjalan pulang.

Lana mengunci pintu, segera duduk di depan TV dan membuka surat itu perlahan.

“Aku mencintamu, Sayang. Maaf hanya mengirimimu uang saja, aku belum bisa pulang, ada lemburan, semoga sebentar lagi aku bisa membawamu ke sini bersamaku, dan kita akan terus bersama.
Sayang, aku tahu mamak Yuda baik, gajimu pasti cukup, tapi aku juga ingin kamu memanjakan dirimu sendiri. Belilah daster atau apa pun. Setelah pulang minggu depan, semoga aku bisa membelikanmu kalung.
Ingat, aku selalu menyayangimu. Salam rinduku hanya untukmu, Lanaku sayang.”

Lana tersenyum, menyeka air mata yang membasahi pipi, dan memeluk surat itu. “Di mana pun kamu, Tuhan akan terus menjagamu, Mas.” Mencium surat itu, membawanya tidur agar terasa seperti memeluk Pras malam ini.

***

Pras terbangun. Tak seperti biasanya yang harus mengumpulkan nyawa, hari ini dia langsung bangun dan mengganti seprei, sisa semalam masih membekas noda, dia tak ingin terus mengingatnya. Tinggal menjemur, pintu kamar kos diketuk oleh seseorang, dan Pras pun segera membukakannya.

“Aku membawakan ini untukmu.” Teni datang dengan rantangnya.

Pras menghela napas, “Aku bisa beli, Ten. Pulanglah.”

“Jangan berpikir buruk padaku, bagaimana pun juga semalam kita sudah melewatinya bersama.” Ucapan Teni sukses menghentikan Pras yang akan menutup pintu.

Kosan ini penuh, meski bebas dan bukan dirinya saja yang membawa wanita ke kosan, Pras tetap tak enak. Ditambah dengan tetangga yang tak sengaja lewat, Pras pun mempersilakan Teni masuk, “Besok lagi jangan ke sini.”

“Kenapa? Kamu ingin di rumahku saja? Atau kita menyewa tempat kos lain? Hotel?” tawar Teni.

“Kenapa kamu gak mau ngerti, Ten? Aku sudah menikah.” Pras merasa frustrasi dengan Teni. Semalam saja, setelah menumpahkan dua kali di perut Teni, Pras segera mengantar Teni pulang. Dia pikir Teni tak akan ke sini, tapi malah membawa makanan ke mari, seolah dirinya memiliki simpanan saja.

Teni tersenyum, “Lalu kenapa, Pras? Aku sudah bilang, aku tidak peduli. Banyak pasangan di luar sana yang seperti kita, kenapa kamu takut, hm?! Aku akan menyembunyikannya dari Yuda agar istrimu tidak tahu. Aku ke sini karena tahu Yuda pulang kampung. Kalau tahu Yuda di sini aku tidak akan datang.”

Pras membuang napas kasar, tak bisa berkata-kata rasanya.

“Aku bisa membantumu, Pras. Kau butuh banyak uang, kan? Aku bantu. Banyak pekerjaan yang bisa kamu tangani dan dengan bayaran itu kamu bisa menikah dengan benar, apa aku salah?” Teni sangat puas semalam, mana mungkin dia melepas Pras.

Pras menoleh ke Teni, “Aku memang butuh uang, Teni.”

“Lalu? Apa lagi?” Teni mengeluarkan amplop dari tasnya, menyodorkannya ke Pras, “Ini bukan uangku, ini aku pinjam dari pabrik, kalau kamu mau kuuruskan atas namamu, dan kamu bisa menikah dengan istrimu sekarang juga kalau kamu mau.”

Pras mengambil amplop itu, isinya banyak, tak peduli apa pandangan Teni, dia mengeluarkannya dan menghitungnya. Sebagai staf kantor, memang mudah membicarakan uang dengan Teni, dan amplop itu juga berisi lima juta, sangat cukup untuk kebutuhannya.

“Aku hanya ingin membantumu dan gantinya bantu aku, apa aku salah? Aku tetap jahat di matamu?” tanya Teni lagi.

Pras menggeleng, dia memasukkan uang itu kembali, dan meletakannya di sampingnya. Bayangan indah terlintas di depannya, apa memang seperti ini kehidupan kota?

Teni tersenyum, dengan lancang naik ke pangkuan Pras, mengusap rahang Pras, “Hanya ini yang kubutuhkan Pras. Aku tidak akan mengganggu hubunganmu dengan istrimu.” Kediaman itu membuat Teni semakin berani. Lagi-lagi dia memagut bibir Pras lebih dulu.

Kali ini berbeda, Pras sudah pasrah, dia membalas pagutan itu. Usapan di punggungnya terus memancing dan Pras mulai mengambil alih payudara Teni. Memijat, meremasnya kasar, napasnya memburu cepat. Teni seolah mempermudah, kancing baju itu terlepas dan Pras malah mengeluarkan payudara Teni dari kutangnya, puting itu dia hisap, biar membengkak, setidaknya apa yang sudah terlanjur basah, ya biarkan saja semakin basah begini.

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang