Baru saja siuman. Lana mengedarkan padangan, mendapati ini kamar rumah sakit, ditambah dengan Hendrik di sudut ruang, dia pun bangun.
Mendengar decitan dari ranjang, Hendrik menoleh, "Sudah bangun? Dokter bilang kamu hamil."
Lana terkesiap.
"Mereka mengira aku suamimu, aku juga tidak tahu harus mencari suamimu ke mana, jadi aku menandatangani persetujuan atas infus itu." imbuh Hendrik.
Lana menelan ludah, "Apa suatu saat aku akan naik gaji jika terus bekerja di rumahmu?"
Hendrik tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Lana.
"Aku ingin menggugurkan bayi ini." Lana duduk menghadap ke Hendrik dan menggenggam tangan itu, "Tolong, lakukan apa pun agar bayi ini ke luar dari tubuhku, tolong." Dia tak bisa menahan air matanya.
"A-aku tidak bisa melakukan itu. Suamimu-"
"Aku tidak tahu ini anak siapa. Aku takut. Bagaimana kalau ternyata ini anak dari lelaki bejat itu? Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri, Hen. Tolong."
Ya, Hendrik memang tahu banyak mengenai Lana dari Dina dan dia cukup paham dengan apa yang dirasakan Lana saat ini. "Itu tidak akan mudah. Aborsi ilegal dan aku tidak tahu harus mengantarmu ke mana." Hendrik bahkan tidak bisa membicarakan semua ini ke pada Dina apa lagi Ratna. Bisa-bisa semua hidupnya akan ikut hancur.
Lana menyatukan dua tangan untuk memohon, "Tolong ... apa pun yang kamu mau, aku akan melakukannya, meski aku harus bekerja di rumahmu seumur hidupku tanpa digaji, aku tidak akan protes, Hen. Tolong aku."
Hendrik mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Lana. Dia tak suka melihat tangisan itu, "Istirahatlah dulu, aku akan mengurusnya, jangan kawatir."
"Terima kasih."
Hendrik membantu Lana untuk berbaring kembali, "Aku ke luar dulu, jangan ke mana-mana atau membuat masalah, Dina akan segera datang, oke?" Melihat Lana mengangguk, dia pun pergi. Bukannya menemui dokter, Hendrik malah ke pabrik, dia ke gudang tiga, dan melihat Pras sedang sibuk bekerja.
Pras yang menyadari ada kehadiran orang asing, menoleh, tahu itu Hendrik, bosnya, langsung membungkuk hormat, "Anda mencari sesuatu, Pak?"
Hendrik menggeleng, "Ini truk terakhir?" Sebentar lagi memang jam pulang kerja.
"Ya. Apa Anda ingin bicara dengan saya?"
"Ya, aku tunggu di ruanganku." Hendrik pergi. Dia bingung, satu sisi tak ingin kehilangan Lana, sisi lain sangat tahu kalau Lana tak mungkin dipisahkan dari Pras begitu saja.
Pras ... yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya, langsung menemui Hendrik setelah menyimpan catatannya. Masuk setelah mendapatkan izin dan duduk di hadapan Hendrik.
Hendrik memutar laptopnya agar menghadap ke Pras, di sana sedang terputar video Teni sedang mengulum milik Pras di kantor yang terekam CCTV, dan melihat wajah pucat Pras, Hendrik pun tersenyum, "Mungkin orang-orang yang melihatnya tidak menyadari kalau itu kamu," Hendrik memutar kembali laptopnya agar menghadap padanya. Di video itu memang Pras membelakangi kamera, tetapi karena pertemuan Hendrik dengan Pras cukup sering, dia jadi hafal dengan postur tubuh Pras, "tetapi tidak denganku dan aku menyuruhmu ke sini juga bukan karena ingin memecatmu. Jangan kawatir."
Barulah Pras bisa bernapas lega, "Maafkan kelancangan saya, Pak."
"Aku memberimu dua pilihan."
Pras yakin apa yang akan diucapkan Hendrik, pastilah hal yang menyulitkan, dia cukup paham dengan permainan orang kaya seperti Hendrik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Kemarin
RomancePras sangat mencintai Lana. Rela bekerja ke luar kota untuk mempersunting wanita yang sudah diajak hidup bersama tanpa pernikahan. Tak peduli dengan Lana yang hanya hidup sebatang kara karena status yatim piatu yang disandang sejak umur belasan tahu...