Pras baru saja pulang kerja, duduk di teras ditemani kopi dan sisa ceriping buatan Lana.
“Ada apa, Mas?” Lana merasa Pras terlalu banyak diam sepulang kerja, apa ada yang salah dengan dirinya? Ataukah Pras menyesal mengajaknya ke sini?
Pras menoleh dan tersenyum, “Tidak. Aku hanya lelah, Lan. Perjalanan kemarin dan permasalahan ini, membuatku merasa sangat lelah sekali.”
Lana berdiri dan memijat pundak Pras, “Maafkan aku, Mas.”
“Bukan salahmu, Lan.” Andai Pras bisa bercerita seperti apa tekanan Teni, mungkin akan lebih baik, tetapi itu berarti dia akan melukai Lana, dan Pras tidak akan pernah melakukannya.
“Ayo masuk! Aku pijit.” Lana membawa kopi dan ceriping itu, setelah Pras melepas baju, dia segera membalur punggung Pras dengan GPU, dan memijit. “Mas, dari mana pagi itu? Apa Mas ke rumah?” Lana sudah menanyakan ini beberapa kali, meski Pras tidak mengaku, dia akan tetap menanyakannya. Jujur, sebenarnya dia tak ingin Pras semakin jauh dengan keluarga begini.
Pras terkekeh, “Aku ke rumah Yuda, membicarakan pernikahan kita, jangan kawatir, Lan.” Pras tahu Lana selalu menyuruhnya pulang dan itu hal yang sangat dibenci Pras.
Lana mengangguk, “Aku bertemu dengan pria baik tadi, Mas.”
“Pria?”
“Namanya Hendrik, dia menawariku pekerjaan menata taman dengan gaji bagus katanya.”
“Jangan mudah percaya pada orang asing, Lan. Ini kota besar, bukan kampung seperti rumah Yuda, semua bisa terjadi di sini.” Pras bahkan tak menyangka Lana akan dapat kenalan secepat itu.
Lana terkekeh, “Rumahnya katanya di belakang pabrik tempat kerja, Mas. Kalau Mas boleh, biarkan aku bekerja di sana, Mas yang antar, sore juga pulang, jadi tiga warung yang kuberi ceriping bisa tetap kuberi, bagaimana, Mas?”
Pras menghela napas. Dia tahu uangnya sudah habis untuk mengontrak rumah ini karena pemiliknya minta langsung satu tahun penuh, gajian juga masih lama, belum lagi untuk mengangsur hutang itu, tetapi dia tak ingin Lani bekerja.
“Kalau ternyata ada apa-apa di sana, Mas bisa menjemput dan mengajakku pulang, dan aku tidak akan mencari pekerjaan lagi, bagaimana?” Lana menambah tenaga pijatannya agar Pras mengabulkan permintaan kecil itu.
Pras pun tertawa, “Baiklah. Janji, ya, sebelum aku pulang kerja, kamu harus sudah di rumah. Katakan itu padanya.”
Lana memeluk Pras yang masih tengkurap, “Terima kasih, Mas.” Pria yang dipeluknya ini memang tak pernah gagal menyenangkan hatinya.
***
Setelah sarapan bersama, Pras mengantar Lana, mencarikan jalan tercepat untuk istrinya, dan berhenti di depan rumah yang dibicarakan semalam, “Jadi kalau lewat sini, kamu tidak capek, Lan.”
Lana mengangguk.
“Aku langsung ke pabrik, ya?” Pras mengulurkan tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Kemarin
RomansaPras sangat mencintai Lana. Rela bekerja ke luar kota untuk mempersunting wanita yang sudah diajak hidup bersama tanpa pernikahan. Tak peduli dengan Lana yang hanya hidup sebatang kara karena status yatim piatu yang disandang sejak umur belasan tahu...