Tragedi

986 7 0
                                    


Lana, baru saja pulang dari rumah mamak Yuda. Segera mandi dan ke rumah mbok Sri, "Ke mana kok rumahnya sepi?" Terus berkeliling, bahkan masuk lewat pintu belakang juga, tetap tak bertemu dengan mbok Sri. Lana pun pulang, "Padahal aku sudah membuatnya. Ke mana mbok Sri, ya?" gumamnya sendiri.

Lana meletakkan kembali onde-onde yang dibelinya sebelum pulang dari rumah mamak Yuda. Itu makanan kesukaan mbok Sri, jadi dia membelinya saat baru saja gajian seperti ini.

Tak lama, pintu diketuk, Lana pun membukanya, "Ridho, mbok Sri tidak di rumah, aku juga baru saja ke sana."

"Aku membawa ini tadi, untuk mbok Sri, tetapi perutku sangat sakit, sepertinya masuk angin, apa boleh minta tolong buatkan aku minuman panas?" Ridho meringis sambil memegangi perutnya.

"Ayo masuk!" Lana yang tadinya hanya menemui Ridho di teras, mengajak masuk, dan membawa ikan yang dibawa Ridho ke dapur, "Jangan sering mancing, Dho. Apa lagi sampai sore begini. Untung sungainya dekat, kalau jauh, siapa yang bisa membantu nanti. Aku juga pas di rumah, kalau mbok Sri tidak ada dan aku tidak ada juga, bagaimana?" Lana langsung menyalakan kompor untuk membuatkan Ridho teh hangat.

Ridho terkekeh sambil menyusul Lana ke dapur, "Setelah ini aku tidak akan masuk angin, Lan."

Langsung menoleh, "Kenapa kamu ke sini, Dho. Tunggu di ruang tamu saja, ndak enak dilihat orang kalau kamu ikut ke dapur." Lana jadi deg-degan, seolah menyesal sudah mau menolong Ridho kalau seperti ini, dia takut jadi gunjingan warga.

"Memangnya kenapa kalau aku di sini, Lan. Suamimu tidak di rumah, kan? Ah! Aku lupa, kata Ari itu bukan suamimu, kalian kumpul kebo, kan?" Ridho tertawa, "Aku juga mau, Lan."

Mata Lani membelalak, "Apa maksudmu, Dho?! Jangan kurang ajar!" Ditambah dengan nama Ari, siapa sebenarnya Ridho? Lani sangat ketakutan, dia berlari, membuka pintu belakang, dan akan pergi meninggalkan Ridho di rumahnya.

Di depan pintu belakang rumah Lani, Ari yang sudah menunggu, malah tertawa, "Mau ke mana, Lani?" Melangkah masuk melalui pintu itu.

Kepala Lani langsung pusing, ada Ridho di dalam sana, dan Ari malah masuk ke rumahnya juga sekarang, "Biadab kalian!" Air matanya sudah menyeruak ke luar dan Lani mengusapnya dengan kasar agar tak sampai terlihat oleh bajingan Ari dan Ridho.

"Kenapa, Lan? Aku hanya ingin mencicipimu, tidak akan rugi, saat Pras pulang, rasanya akan tetap sama, jadi tidak perlu menolak kami. Bukan begitu, Dho?" Ari menoleh ke Ridho dan terkekeh.

Ridho mengangguk, langsung menyergap Lani, dan mengunci tangannya di belakang, "Kami tidak akan menyakitimu."

"Lepaskan! Tolong! Tolong!!" Lani memberontak, kakinya menendang-nendang apa saja agar terlepas, tetapi bukannya itu yang terjadi, tubuhnya malah melayang karena diangkat oleh tangan kotor Ari dan juga Ridho, "Lepaskan aku, Berengsek!!"

Menemukan kain yang terlihat bagus, Ari langsung mengikatkannya ke mulut Lani agar tak bisa berteriak lagi, dengan begitu aksinya tidak akan ketahuan. "Pegang tangannya, Dho!" Merobek pakaian yang dikenakan Lani, memelorotkan celana itu, dan mulai menggerayangi tubuh Lani, "Kau sangat mulus, putih dan seksi, pantas saja Pras rela meninggalkan rumah, Lan." Terkekeh, melepas celananya sendiri dan mengurut miliknya yang sudah bangun.

Susah memang, tetapi Ridho yang membantunya memegangi Lani, membuat Ari melancarkan aksinya hingga tuntas. Dia membiarkan mata Lani tak tertutupi, biar menangis sambil memperhatikannya, memangnya Ari peduli?

Hanya sekali klimaks, keindahan itu terlalu sulit untuk dilewati, Ari memasukinya untuk sekali lagi. Lani sudah melemas, tak ada air mata, dan Ari tetap tak peduli. "Kau memang nikmat, Lan. Makan sepuasmu, Dho. Setelah ini kita pergi dari sini."

Mendengar ucapan itu, Lani yang sudah lemas dan tak berdaya, berusaha bangun, dia akan berlari meski masih telanjang, akan sejijik apa dirinya kalau sampai Ridho pun memasukinya. Lani sungguh tak sanggup membayangkan itu terjadi.

"Mau ke mana kamu?!" Ridho menarik kaki Lani dan menampar wanita itu. Tak disangka, mungkin tamparannya terlalu keras sampai membuat Lani pingsan, tetapi Ridho tetap melakukannya juga. Dia tak mau, tangkapan indah, dan lezat itu dilewatkan begitu saja.

Pras ... terengah-engah. Tangannya membantu Teni agar pergi dari atas tubuhnya, "Apa kau tidak lelah, Ten?"

Teni tersenyum sambil mengangguk, "Masih dua kali, Pras. Punyamu masih keras, sayang kalau kita sudahi, aku naik lagi, ya?" Teni berdiri dan akan memainkan milik Pras kembali.

"Besok saja, Ten. Aku janji. Kamu minta tiga kali juga ayo, tapi jangan sekarang. Pekerjaanku tadi sangat banyak, tenagaku sudah habis, mau kamu masukkan juga sudah capek." Pras berdiri, menghabiskan minuman yang disuguhkan, dan mengenakan kembali pakaiannya, "Aku pulang dulu." Mengambil kunci motor di meja dan pergi.

Teni hanya membalut tubuhnya dengan selimut, dan mengantar Pras sampai pintu, "Jangan lupa besok, ya?!" Pras yang tersenyum sambil mengangguk padanya, membuat Teni lega, dia pun melambaikan tangan dan membiarkan Pras pulang.

Baru sampai kosan, Pras langsung mandi dan tidur, tubuhnya remuk, Teni seolah tak ada habisnya saat meminta, bagaimana bisa ada wanita seperti Teni? "Kalau Lana pasti selalu lembut, dia puas sebanyak apa aku memberi." Pras terkekeh, "Meski Teni sangat pandai menghisap punyaku, miliknya tak lebih enak dari milik Lana, punya Lana legit dan menggigit." Pras terkekeh kembali, "Maaf, ya, Lan. Aku akan menyimpan ini dengan baik agar tidak menyakitimu. Minggu depan aku pulang, kita menikah, dan hidup bersama di kota." Pras yang kelelahan, memejamkan mata, dia akan tidur lebih awal malam ini.

Yuda ... dia ke rumah Nita, "Saya mau ngajak Nita keluar, Om." ucap Yuda saat ayah Nita ikut menyambut kedatangannya.

Ayah Nita mengangguk, "Jangan pulang malam-malam, ya?" Merangkul putrinya, "Nita putriku satu-satunya, jadi jangan mengecewakanku."

Yuda mengangguk sambil tersenyum, "Pasti, Om. Ayo, Nit!"

Nita salim ke ayahnya dan pergi bersama Yuda, "Maaf, ya, Mas, ayah mengatakan itu ke Mas Yuda."

Yuda terkekeh. Seperti kata Teni, Nita memang baik, tutur katanya santun, seperti apa yang diinginkan mamaknya di kampung. "Jangan dipikirkan, Nit. Kita ke sana saja, ya?" Melihat ada pasar malam, Yuda pun ke sana, mengajak Nita masuk, dan membelikan wanita itu pop corn.

"Terima kasih, Mas Yuda." Nita menerima pop corn itu dan mencicipinya sebiji.

"Apa kamu sudah siap menikah, Nit?"

Nita sempat terkejut, tetapi dia tersenyum setelahnya, "Kita masih dua kali bertemu, Mas. Kita juga belum ada hubungan apa pun, maaf, tetapi apa Mas Yuda bertanya karena ingin mengajakku menikah dengan Mas?"

Yuda mengangguk, "Umurku sudah tidak muda lagi, Nit. Aku tidak punya pacar dan kurasa kamu wanita yang baik, kalau kamu mau, aku akan mengenalkanmu ke mamakku. Setelah menikah, kita bisa pacaran, kan?"

Nita menunduk malu, "Kita belum mengenal banyak satu sama lain, Mas. Kalau nanti ternyata kekuranganku banyak, tolong bimbing aku, jangan memarahiku, ya, Mas?"

"Apa ... itu artinya kamu mau kuajak menikah?" Melihat Nita mengangguk, Yuda langsung memeluk wanita itu, "Terima kasih, Nit." Dia tak peduli dengan Teni. Seolah yakin Teni sudah bermain dengan Pras dan lebih menyukai Pras dari pada dirinya. Buat apa terus melanjutkan hubungan yang tidak ada kejelasannya seperti itu? Lebih baik dia segera menikahi Nita.

Ponsel Yuda berbunyi, dia mengurai pelukan itu dan merogoh ponselnya di saku, "Mamakku telepon." Terkekeh, "Mungkin mamak mendengar pembicaraan kita tadi sampai mamak langsung telepon begini." 

Malam KemarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang