Chapter 11

53 5 0
                                    

Setelah beberapa hari yang penuh kenangan di Paris, Elisa dan Ethan telah menjelajahi begitu banyak tempat indah.

Montmartre adalah kawasan yang penuh pesona bohemian dengan jalanan berbatu yang berkelok-kelok, kafe-kafe artistik, dan pemandangan kota Paris dari ketinggian. Elisa dan Ethan berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan sempit yang dipenuhi seniman jalanan, menikmati suasana yang terasa seperti di dunia lain. Mereka menuju puncak bukit Montmartre, di mana Basilika Sacré-Cœur berdiri megah dengan kubah putihnya yang kontras dengan langit biru. Dari puncaknya, mereka duduk di tangga dan menikmati panorama Paris yang menakjubkan.

Notre-Dame, dengan arsitektur gotiknya yang anggun, memberikan suasana mistis yang berbeda. Katedral ini adalah simbol spiritual dan sejarah Paris, dengan menara-menara yang menjulang tinggi dan jendela kaca patri yang menghiasi interiornya. Elisa dan Ethan berjalan menyusuri lorong-lorong katedral yang megah, merasakan sejarah yang berabad-abad lamanya diukir di setiap sudut. Mereka naik ke menara, menikmati pemandangan Paris dari atas, di antara gargoyle yang menatap kota dengan keheningan abadi.

Taman Tuileries menawarkan suasana yang lebih ringan dan cerah. Terletak di antara Louvre dan Place de la Concorde, taman ini dipenuhi dengan patung-patung klasik, kolam air mancur, dan bunga-bunga yang indah. Elisa dan Ethan berjalan di sepanjang jalan setapak yang dihiasi pepohonan, berbagi percakapan ringan sambil menikmati keindahan alam di sekeliling mereka. Mereka duduk di tepi kolam air mancur, berbagi sebotol anggur dan sepotong keju, merasakan ketenangan yang hanya bisa ditemukan di taman kota seperti ini.

Malam itu, pada pukul 8, mereka baru kembali ke hotel. Hujan tiba-tiba turun dengan deras ketika mereka masih beberapa blok dari hotel. Mereka tertawa saat berlari di bawah guyuran hujan, merasa bebas dan hidup sepenuhnya dalam momen itu. Ketika mereka akhirnya tiba di hotel, mereka basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Di lobi hotel, mereka berhenti sejenak, terengah-engah dan sedikit menggigil karena dingin. Ethan menatap Elisa, lalu dengan lembut, tangannya menyapu wajahnya yang masih basah. Dengan nada ringan, dia berkata, "Seharusnya kita naik taksi," seolah menyesal, namun senyum kecil tetap muncul di sudut bibirnya.

Elisa membalas dengan senyum yang tak kalah hangat, lalu berkata, "Biarkan saja, tidak ada orang tua kita yang mengoceh, aku tidak masalah."

Ethan meraih tangan Elisa dan membawanya menuju lift. Ketika pintu lift terbuka, seorang pria tua yang ada di dalam lift melihat mereka, tubuhnya yang basah kuyup, dan menggeleng pelan, seolah mengomentari kenakalan muda-mudi. Ethan hanya tersenyum kikuk sambil menganggukkan kepala sebagai permintaan maaf yang tak terucapkan, sementara Elisa menahan tawa, menyembunyikan wajahnya di bahu Ethan.

Untung saja, pintu lift terbuka dengan cepat, memungkinkan mereka segera keluar dari sana dan menghindari tatapan pria tua itu. Begitu pintu tertutup, Ethan dengan cepat menarik Elisa masuk ke kamar mereka.

Di dalam kamar, suasananya jauh lebih nyaman setelah dingin dan hujan di luar. Begitu pintu kamar tertutup di belakang mereka, Ethan segera memutar kunci dan menarik Elisa ke dalam pelukan hangat. Mereka saling memandang, senyum masih menghiasi wajah mereka meskipun kedinginan mulai meresap ke dalam tubuh.

Ethan memeriksa sekeliling untuk memastikan tidak ada yang basah di lantai atau furnitur. Dia mematikan lampu utama dan menyalakan lampu meja untuk menciptakan suasana yang lebih lembut dan hangat. Dengan lembut, dia membantu Elisa melepas pakaian basahnya, meletakkannya dengan hati-hati di kursi, lalu mencari handuk bersih untuk membungkus tubuh mereka.

Elisa, masih tersenyum lebar, mengambil handuk dari tangan Ethan dan mulai mengeringkan rambutnya dengan gerakan lembut. Dia sesekali mencuri pandang ke arah Ethan, yang juga tampak sibuk dengan handuknya sendiri.

Setelah Elisa selesai mengeringkan rambutnya, dia duduk di tepi tempat tidur yang hangat, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Suasana di dalam kamar kini terasa nyaman dan hangat, berlawanan dengan dingin dan hujan yang meresap ke tubuh mereka sebelumnya.

Sementara Ethan masih berdiri di depan lemari, sibuk mencari pakaian kering untuk mereka. Ketika dia akhirnya menemukan pakaian yang sesuai, dia mengangkatnya dan membawanya ke arah tempat tidur. "Pakai ini," katanya sambil memberikan sebuah pakaian tangan panjang dan lengan panjang untuk Elisa.

Elisa mengenakan pakaian tersebut dengan cepat, merasa lebih nyaman dan hangat. Setelah itu, dia duduk kembali di tepi tempat tidur dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Ethan kemudian mengganti pakaian basahnya dan bergabung dengannya di tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi mereka berdua.

Tangannya memeluk Elisa yang terasa sedikit menggigil. "Kamu masih kedinginan?" tanyanya dengan nada lembut dan perhatian, sambil menghangatkan tubuh Elisa dengan pelukannya. Ethan meraih tangan Elisa dan menggenggamnya. "Tanganmu juga masih dingin," katanya sambil menggosok-gosokkan tangan Elisa di antara telapak tangannya sendiri, mencoba menghangatkannya.

Melihat Elisa masih tampak sedikit kedinginan, Ethan menurunkan tangannya, dan tanpa banyak kata, mulai memijat lembut jari-jari Elisa, satu per satu. Sentuhannya lembut tapi penuh perhatian, membuat Elisa merasa lebih hangat dan nyaman. Perlahan, gerakan jari-jari Ethan membuat Elisa menginginkan lebih, dengan setiap sentuhan dan tekanan yang dia berikan terasa semakin intens.

Elisa menghela napas pelan, matanya menutup sejenak menikmati kehangatan dan perhatian yang Ethan berikan. Ketika dia membuka matanya kembali, dia menoleh sedikit, menatap Ethan dengan senyum lembut. "Aku mau teh hangat," pintanya dengan suara lembut, merapatkan dirinya lebih erat ke dalam pelukan Ethan.

Ethan tersenyum, menatap Elisa sejenak sebelum mengangguk. "Teh?" ulangnya, mengulangi kata itu seperti untuk memastikan dia mendengar dengan benar.

"Ya, yang hangat."

"Oke," balas Ethan, tak perlu banyak kata.

Tanpa ragu, Ethan meraih telepon di meja samping, jari-jarinya masih sedikit lembap dari memijat tangan Elisa. Dengan suara tenang dan percaya diri, dia berbicara dalam bahasa Prancis, meminta teh hangat untuk dua orang. Suara Ethan terdengar melodius saat dia berbicara, dan Elisa mendengarkan dengan mata setengah terpejam, merasa nyaman dengan bunyi kata-kata itu yang terasa seperti kehangatan tambahan di malam yang dingin.

Saat Ethan menutup telepon, dia kembali mengarahkan perhatiannya ke Elisa. "Sudah."

Elisa mengangguk puas, merasa lebih nyaman. Ethan kemudian merangkul Elisa lagi, melanjutkan apa yang tadi tertunda.

Tiba-tiba, suara dering telepon memecah keheningan. Ethan meraih teleponnya dengan cepat.

"Siapa?" tanya Elisa penasaran.

"Kantor," jawab Ethan singkat. "Sebentar." Dia kemudian mengangkat telepon dan berbicara dengan nada serius, "Ada apa?"

Elisa tidak bisa mendengar percakapan di telepon dengan jelas, hanya bisa melirik raut wajah Ethan yang tiba-tiba berubah serius. Dia mencoba menebak-nebak apa yang sedang terjadi dari nada suara Ethan yang tegas.

"Kalian tidak bisa itu sendiri?" tanya Ethan dengan nada sedikit frustrasi, alisnya berkerut.

Sejenak hening sebelum Ethan berkata lagi, "Tidak becus. Besok saya urus." Kemudian, dengan cepat, dia menutup telepon, menarik napas dalam, dan berbalik ke arah Elisa.

"Kenapa?" tanya Elisa dengan nada lembut, matanya penuh perhatian.

"Ada masalah di kantor," jawab Ethan dengan nada menyesal. "Besok kita harus pulang, mungkin bisa kita lanjut lain kali kalau kamu nggak keberatan." Suaranya terdengar lembut.

Elisa menatap Ethan dengan lembut, memerhatikan setiap detail ekspresi wajahnya. Meskipun hati kecilnya merasakan kekecewaan karena rencana mereka harus berubah, Elisa tahu bahwa pekerjaan Ethan penting, dan dia tidak ingin menambah beban pikirannya.

Dengan tenang, Elisa menghela napas dan mengangguk pelan. "Tidak masalah, pekerjaanmu juga penting," ucapnya dengan suara yang lembut namun penuh kepastian. Dia tidak ingin memperumit situasi atau menambah tekanan pada Ethan.

Ethan menatapnya dengan penuh rasa tidak enak, dan ada sedikit penyesalan di matanya. "Maaf," ucapnya lirih, merasa bersalah karena harus memotong waktu mereka di Paris.

Elisa menggelengkan kepalanya dengan lembut, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Bukan salahmu."

Dark Love (Indo Ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang