Chapter 25

41 4 0
                                    

Ethan terbangun perlahan, pandangannya masih buram. Cahaya lembut dari jendela besar di sudut ruangan menyelinap melalui tirai tipis, menerangi kamar tidur yang luas dan mewah. Kelembutan kasur di bawah tubuhnya serta kehangatan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya memberikan kenyamanan.

Kesadarannya mulai kembali, dan ia segera menyadari tubuhnya terasa aneh — tidak ada sehelai benang pun menutupi kulitnya. Seketika, rasa kantuk sirna, digantikan oleh waspada. Matanya menyapu sekeliling, mencari jawaban di ruangan yang asing ini.

Kamar itu terlihat begitu rapi, dengan dinding berwarna netral dan dekorasi elegan yang memberikan kesan mahal. Di satu sisi, terdapat lemari pakaian besar dengan cermin tinggi, sementara di sisi lain, sebuah kursi empuk dan meja kecil berdiri dekat jendela. Tidak ada tanda-tanda yang jelas tentang di mana ia berada atau bagaimana ia bisa sampai di sini.

Ethan mencoba mengingat kejadian semalam. Potongan-potongan ingatan mulai bermunculan—pesta yang meriah, minuman yang disajikan oleh bartender, sesuatu yang disebut "minuman spesial"—dan kemudian segalanya menjadi samar. Rasa marah dan frustrasi membuncah dalam dirinya. Bagaimana bisa ia kehilangan kendali seperti ini?

Menarik napas dalam-dalam, Ethan mulai mencari pakaiannya yang entah di mana. Kepalanya masih terasa berat, tubuhnya lemas, tetapi sekarang bukan saatnya untuk panik. Ia harus cepat kembali ke kesadarannya sebelum situasinya semakin memburuk.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Ethan mengerutkan alis, bersiap menghadapi siapa pun yang masuk. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan. Namun, begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

Leona, mantan kekasihnya, muncul dari balik pintu dengan bathrobe putih yang membalut tubuhnya. Rambutnya tergerai, wajahnya tenang namun penuh teka-teki. Ia bersandar di pintu, memandang Ethan dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Ethan cepat, nada suaranya dingin dan tajam.

Leona tersenyum tipis, lalu melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. "Kamu tidak mengingatnya?" tanyanya dengan suara lembut, seolah berbicara pada anak kecil yang tersesat.

"Aku tidak mungkin melakukan itu," balas Ethan, suaranya merendah, menahan marah.

Leona melangkah lebih dekat, matanya berkilat penuh kemenangan. "Tapi kamu melakukannya semalam." Ia mengeluarkan ponselnya, memutar video yang direkam semalam. Di layar, terlihat Ethan yang mabuk berat, menggiring Leona ke dalam kamar, mendorongnya ke tembok, dan menciumnya dengan penuh nafsu. Pakaian Leona tersobek saat Ethan mendorongnya ke ranjang, dan video itu dengan jelas merekam semua detail yang terjadi di antara mereka.

Ethan menatap layar ponsel itu dengan wajah pucat, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia tahu dirinya mabuk semalam, tapi tidak pernah membayangkan akan sampai pada titik kehilangan kendali seperti itu. Ini bukan dirinya.

"Apa maumu sebenarnya, Leona?" desis Ethan, berusaha menenangkan amarah yang membakar di dadanya. "Kita sudah putus lama. Apa yang ingin kamu dapatkan dari semua ini?"

Leona mengangkat alis, memasukkan kembali ponselnya ke saku bathrobe-nya. "Kamu tahu, Ethan, ada beberapa hal yang tidak pernah benar-benar berakhir," jawabnya, suaranya mengandung ancaman tersembunyi. "Kamu berpikir bisa meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu."

Ethan mengusap wajahnya, mencoba memahami situasi rumit ini. Semua ini terasa seperti jebakan, dan ia tahu dirinya harus bergerak hati-hati. Jika Leona benar-benar memiliki video itu, posisinya sangat berbahaya—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang dicintainya.

"Kamu tahu Alessio tidak akan membiarkan ini," Ethan memperingatkan, suaranya lebih tenang namun penuh ancaman.

Leona tertawa pelan, tanpa sedikit pun ketakutan di matanya. "Alessio? Dia tidak perlu tahu... selama kamu bisa bekerja sama denganku."

"Tidak, Leona. Itu tidak mungkin. Aku tidak ingin kita kembali bersama. Aku tidak punya perasaan apa pun lagi padamu."

Leona tersenyum sinis, lalu melepaskan bathrobe-nya, membiarkannya jatuh ke lantai. "Benarkah? Bagaimana dengan ini? Aku yakin tubuhmu masih meresponsku dengan baik, bukan?"

Ethan memalingkan wajahnya dengan cepat, berusaha menahan dorongan tubuhnya. "Aku pria normal, Leona. Itu reaksi fisik. Jangan samakan dengan perasaan. Kita sudah berakhir."

Leona semakin mendekat, nadanya penuh tekanan. "Kita belum berakhir, Ethan. Aku bisa memastikan hal itu."

"Bagaimana?" Ethan menantangnya, matanya menyala penuh amarah.

Leona tersenyum tipis, penuh kemenangan. "Bagaimana jika aku mengirim video kita semalam pada wanitamu? Apa dia akan senang melihat prianya bersenang-senang?"

Ethan menyipitkan mata, menahan kemarahan. "Kamu tidak akan berani melakukannya. Lagipula kamu tidak memiliki kontaknya. Bagaimana kamu akan mengirimnya?"

Leona tertawa ringan, seolah sudah merencanakan semuanya. "Tentu saja, karena itulah aku akan mengirimnya ke publik."

Ethan tertawa remeh, mencoba tetap tenang di tengah situasi yang semakin rumit. "Mereka akan melihatmu juga, Leona. Lakukan saja kalau kamu berani," tantangnya.

Leona tidak menunjukkan tanda-tanda gentar. Sebaliknya, ia semakin mendekat, tatapannya semakin dingin. "Atau," katanya dengan nada pelan namun berbahaya, "aku bisa mengirimnya ke orangku saja. Seharusnya dia sudah bersama Elisa sekarang."

Jantung Ethan berhenti sejenak mendengar nama Elisa keluar dari mulut Leona. Tatapannya berubah gelap, penuh ancaman. "Jangan sentuh dia," ucapnya dengan suara rendah, penuh kemarahan yang terkendali.

Leona memandang Ethan dengan senyum puas di wajahnya, matanya bersinar penuh kemenangan. "Kamu tidak bisa melakukan apa-apa juga di sini, Ethan. Elisa sudah bersama anak buahku sejak semalam. Mereka juga pasti sudah bersenang-senang. Tenang saja, aku tidak akan membiarkan hal berhargamu itu terlewatkan dari keseruan ini."

Ia menekan sesuatu pada layar ponselnya dan memperlihatkan sebuah video. Di layar itu, terlihat Elisa terbaring di tempat tidur, terikat tanpa busana, dengan seorang pria yang tak dikenal berada di dekatnya. Amarah Ethan memuncak hingga ubun-ubun. Tatapannya berubah tajam, penuh kemarahan yang tak lagi bisa ia kendalikan. Hatinya bergejolak melihat ada orang lain yang berani menyentuh wanitanya selain dirinya.

Dengan segera, Ethan mencoba bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya terasa berat, seperti terjebak. Ia menarik kakinya dengan sekuat tenaga, tetapi tetap tidak bisa bergerak. Rasa panik dan kemarahan bercampur aduk di dalam dirinya. Dengan cepat, ia mengangkat selimut yang menutupi tubuhnya dan melihat kedua kakinya diborgol ke tempat tidur. Borgol itu terbuat dari besi yang kuat, menahannya dengan kokoh di tempatnya.

"Leona, lepaskan aku!" teriak Ethan, suaranya menggema di seluruh ruangan. Matanya menyala penuh dendam, sementara otaknya bekerja keras mencari jalan keluar dari situasi ini.

Namun, Leona hanya tertawa kecil, menatap Ethan dengan penuh kepuasan. "Kamu benar-benar tidak berdaya sekarang, Ethan. Ini adalah pembalasan yang sudah lama kutunggu. Kamu pikir bisa meninggalkanku begitu saja? Sekarang kamu akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."

Ethan tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia tidak akan membiarkan Elisa terluka. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berusaha menarik borgol tersebut, mencoba merusaknya. Tangan dan kakinya bergerak liar, namun usaha itu sia-sia.

Leona berjalan mendekat, mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah Ethan dengan lembut, seolah-olah menghibur. "Tidak ada gunanya melawan, sayang. Semuanya sudah terjadi. Terimalah kekalahanmu."

Ethan hanya bisa menggertakkan giginya, menahan rasa frustasi dan amarah yang meluap-luap di dalam dirinya. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan berhenti berusaha. Ia harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini dan menyelamatkan Elisa, apapun risikonya.

Dark Love (Indo Ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang