"Good morning, wife," bisik Ethan lembut di telinga Elisa, suaranya penuh kehangatan dan kelembutan.
Elisa membuka matanya perlahan, merasakan sinar matahari pagi yang lembut menembus tirai jendela, memberikan kehangatan yang menyentuh kulit wajahnya. Bayangan Ethan yang berdiri di samping tempat tidur menutupi cahaya matahari yang terlalu menyilaukan, menciptakan suasana intim dan penuh perlindungan. Dalam pencahayaan lembut itu, wajah Ethan tampak lebih hangat dan akrab, menyelimuti Elisa dalam rasa aman.
Saat Elisa mengalihkan pandangannya, dia melihat Ethan sudah berpakaian dengan rapi: kemeja putihnya tertata sempurna dan celana panjangnya menyempurnakan penampilan yang elegan. Kemeja itu, tampak bersih dan rapi, memantulkan sinar matahari pagi, sementara celana panjangnya mempertegas kesan profesional namun nyaman. Kecermatan dalam berpakaian Ethan menambah rasa tenang di pagi yang baru dimulai ini, memantulkan kehangatan dan kesiapan untuk memulai hari dengan penuh semangat.
"Morning, husband," jawab Elisa, suaranya serak khas orang baru bangun tidur. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyinari ruangan.
Ethan menyentuh lembut rambut Elisa. "Ayo bangun, kita harus berangkat sekarang."
Elisa mengerutkan kening, mencoba menyusun kembali ingatannya yang masih kabur setelah tidur nyenyak. "Kemana?" gumamnya, suara masih setengah terjaga.
Ethan tersenyum, wajahnya dipenuhi dengan kehangatan dan sedikit humor. "Aku sudah mengatakannya semalam," katanya sambil menatap Elisa dengan mata penuh cinta, seolah-olah matahari pagi baru menguatkan sinar dalam diri mereka.
Elisa berusaha mengingat kembali percakapan mereka malam tadi, merasakan kelembutan tangan Ethan di tangannya. "Oh ya, Meksiko," ujarnya pelan, seiring dengan bangkitnya kesadaran dari tiduran semalam.
Ethan mengangguk, matanya masih lembut namun penuh semangat. "Ya, lebih spesifiknya, Monterrey, Meksiko. Perjalanan kita sekitar 3 sampai 4 jam, jadi lebih baik kita cepat."
Elisa mengerutkan kening sedikit, masih dalam keadaan setengah sadar. "Aku belum mempersiapkan visaku."
Ethan tersenyum, menunjukkan seberapa jauh dia telah merencanakan semuanya. "Semua sudah aku urus," jawabnya dengan tenang, meyakinkan Elisa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dengan sedikit usaha, Elisa meraih selimut dan melemparkannya ke samping, bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lamban. Sambil berusaha membuka mata sepenuhnya, dia mengulurkan tangan kepada Ethan. "Baiklah, aku akan bersiap-siap."
Ethan membantunya berdiri, memberikan ciuman lembut di dahinya. "Aku akan meminta mereka menyiapkan sarapan kita."
Elisa bergerak perlahan ke kamar mandi, merasakan dinginnya lantai yang membangunkan dirinya sepenuhnya. Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian yang nyaman untuk perjalanan, dia berdiri sejenak di depan cermin, memperbaiki rambutnya yang masih sedikit kusut. Pikirannya mengembara sebentar, membayangkan apa yang akan mereka hadapi di Meksiko. Namun, senyuman kecil muncul di bibirnya, teringat betapa Ethan selalu memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik.
Setelah beberapa menit, Elisa turun dari kamarnya, langkahnya ringan namun mantap. Dia berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan cahaya pagi, aroma kopi yang segar menguar dari arah dapur, memberikan dorongan tambahan untuk mempercepat langkahnya. Ketika dia mencapai ruang makan, pemandangan yang menunggunya membuat senyum semakin melebar.
Ethan sudah duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang mengepul di depannya. Dia menatap Elisa dengan tatapan lembut dan penuh perhatian saat dia mendekat. Di atas meja, sarapan sudah tertata rapi—pancake yang terlihat empuk, buah-buahan segar, dan segelas jus jeruk yang segar.
Elisa mengambil tempat di sebelah Ethan, merasakan kehangatan yang menguar dari tubuhnya. Setelah meraih secangkir teh hangat, dia mengucapkan terima kasih dengan suara lembut, sambil menatap meja yang dipenuhi dengan sarapan yang tampak begitu mengundang selera.
"Terima kasih," ujarnya sambil mengaduk perlahan tehnya, melihat kepulan uap tipis yang menguap dari cangkirnya.
Ethan tersenyum, menikmati momen tenang di pagi hari itu. Dia mengamati Elisa yang mulai memakan sarapannya, mengangkat garpu dan dengan perlahan menyuapkan pancake yang empuk ke mulutnya. Rasa manis dari sirup maple berpadu sempurna dengan kelembutan pancake, memberikan sensasi yang memuaskan.
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, hanya diiringi suara garpu yang bertemu dengan piring dan gelegak lembut dari teko kopi di atas meja. Kehangatan pagi itu menyelimuti mereka, seakan menyiapkan mereka untuk hari panjang yang menanti di depan.
Ethan, yang telah selesai dengan sarapannya, menatap Elisa dengan pandangan penuh kasih. "Kita berangkat sekitar lima belas menit lagi," ucapnya sambil menyeruput kopi terakhirnya, membiarkan rasa pahit yang khas itu menyebar di lidahnya.
Elisa mengangguk pelan, menyelesaikan gigitan terakhir pancake-nya sebelum menyeka bibirnya dengan serbet. "Aku tidak butuh waktu selama itu," jawabnya dengan senyuman yang menenangkan, memberikan kepastian dalam suaranya.
Ethan tersenyum tipis, meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan di atas meja, lalu meraih tangan Elisa yang berada di atas meja. "Bagus," jawabnya singkat namun penuh makna, sambil menyelinapkan jemarinya di antara jari-jari Elisa. Sentuhan hangat itu diiringi oleh tarikan lembut saat Ethan menarik Elisa turun dari kursinya. Dengan gerakan yang begitu alami dan penuh keakraban, mereka berjalan beriringan menuju pintu depan, melangkah keluar dari rumah menuju mobil Ethan yang sudah menunggu di luar.
Di depan mereka, sebuah Audi A5 Cabriolet berwarna hitam mengilap berdiri anggun di jalan masuk. Mobil itu tampak sempurna dalam sinar matahari pagi, refleksi dari rumah dan pepohonan di sekitarnya menghiasi bodinya yang elegan. Ethan membuka pintu mobil untuk Elisa dengan penuh perhatian, mempersilakannya masuk sebelum dia sendiri mengambil tempat di kursi pengemudi.
Setelah keduanya duduk dengan nyaman di dalam mobil, suara mesin yang halus mulai mengisi keheningan pagi. Ethan menghidupkan mesin, dan dengan satu gerakan, mereka meluncur keluar dari halaman rumah, meninggalkan kehangatan rumah di belakang mereka.
Di tengah perjalanan, udara pagi yang masih sejuk mulai meresap ke dalam kabin mobil. Ethan melirik ke arah langit yang cerah, kemudian tanpa berkata apa-apa, dia menekan tombol untuk membuka atap mobil. Atap Audi A5 Cabriolet itu mulai terbuka perlahan, membiarkan udara segar pagi hari mengalir masuk, menyapu lembut wajah mereka.
"Apa ini lebih baik?" tanya Ethan.
"Sempurna," jawab Elisa dengan senyuman tipis, matanya bersinar dengan kegembiraan menikmati sensasi angin pagi yang menyentuh wajahnya dan rambutnya yang berkibar ringan. Udara yang sejuk, bercampur dengan keharuman dedaunan dan embun, memberikan perasaan segar yang menghidupkan kembali semangatnya. Ethan, dengan tangannya yang mantap di kemudi, melaju dengan kecepatan tinggi di jalan yang sangat sepi itu. Jalanan yang kosong membuat mereka seolah-olah sedang berada di dunia mereka sendiri, tanpa gangguan.
Ethan sesekali melirik Elisa dari sudut matanya, melihat senyuman kecil yang muncul di wajahnya saat dia menikmati setiap detik dari perjalanan itu. Angin yang berhembus lembut dan sinar matahari pagi yang hangat membuat momen tersebut terasa begitu damai, seolah-olah dunia di sekitar mereka melambat hanya untuk memberi mereka waktu bersama.
Dengan jalanan yang terbuka lebar di hadapan mereka dan tanpa hambatan, Ethan meningkatkan kecepatan. Mobil meluncur dengan mulus di atas aspal, menciptakan sensasi kebebasan yang terasa menakjubkan. Elisa menutup matanya sejenak, merasakan kecepatan yang memacu adrenalin, namun tetap terasa aman dalam kehadiran Ethan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...