Beberapa hari terakhir, Ethan dan Elisa menetap di rumah orang tua Ethan, bersama dengan Gracie. Meski pada awalnya hubungan antara Ethan dan Gracie terasa canggung dan kurang harmonis, lambat laun, dengan bantuan Elisa, ada perubahan positif yang mulai terlihat.
Elisa, dengan kelembutan dan ketelitiannya, perlahan mendekati Gracie. Dia tidak mendesak atau memaksa, tetapi dengan cara yang penuh pengertian, Elisa mulai membangun jembatan di antara mereka. Gracie, yang awalnya tertutup dan tampak dingin, perlahan mulai membuka diri kepada Elisa. Mereka mulai berbagi cerita, tawa, dan momen kecil yang menguatkan ikatan mereka. Elisa dengan sabar mendengarkan Gracie, mencoba memahami perasaan dan kekhawatirannya yang telah terpendam lama.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir teh, Gracie akhirnya membuka hatinya kepada Elisa. "Sebenarnya, aku tidak pernah benar-benar tidak suka atau tidak sayang pada Ethan," Gracie mengaku dengan suara pelan, matanya menatap jauh ke arah kebun. "Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus bersikap saat bertemu dengannya. Kami tumbuh di dunia yang berbeda, dan ketika akhirnya bertemu, rasanya seperti aku bertemu dengan orang asing yang seharusnya dekat denganku."
Elisa mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan kedalaman perasaan Gracie yang selama ini tersembunyi di balik sikapnya yang tampak sinis. "Aku mengerti, Gracie," kata Elisa dengan lembut. "Terkadang, perasaan kita bisa menjadi sangat rumit, terutama dalam situasi seperti ini. Tapi, yang penting adalah kamu dan Ethan sekarang punya kesempatan untuk membangun hubungan yang seharusnya kalian miliki sejak dulu."
Gracie menatap Elisa, matanya menunjukkan campuran emosi antara kelegaan dan keraguan. "Kamu benar, Elisa. Tapi Ethan... dia selalu begitu... tidak peka. Aku kadang merasa dia tidak peduli dengan perasaanku."
Elisa tersenyum, mengangguk paham. "Itu memang Ethan. Dia pria yang luar biasa, tapi dia memang tidak selalu peka dengan perasaan orang lain, bahkan terhadap perasaanku dulu. Butuh waktu baginya untuk benar-benar memahami apa yang kita rasakan."
Gracie tertawa kecil, merasa sedikit lega. "Jadi, bukan hanya aku yang merasa seperti itu?"
Elisa menggeleng dengan senyum. "Bukan hanya kamu. Tapi, dia belajar. Dan aku yakin, kalau kamu memberinya kesempatan, dia akan berusaha untuk lebih peka terhadapmu juga. Kalian itu kembar ingat?"
Suara pintu terbuka terdengar tiba-tiba, menarik perhatian mereka. Ethan masuk dengan membawa beberapa kotak pizza di tangannya, aroma keju yang meleleh dan saus tomat segar langsung mengisi ruangan. "Ada yang mau pizza?" tanyanya dengan senyum lebar.
Elisa tersenyum dan bangkit dari kursinya. Tangannya mengambil salah satu kotak dari tangan Ethan.
Gracie menatap Ethan dengan alis terangkat, mencoba menahan senyum. "Serius, pizza? Di jam segini?" Gracie menatap ke arah jam dinding di ruangan itu dan menunjukkan pukul 3 sore. Ini adalah waktu diantara jam makan siang dan makan malamnya tapi Ethan malah membawa pizza.
Ethan mengangkat bahu, tetap dengan senyum di wajahnya. "Aku membelikannya untuk Elisa, kalau kamu tidak mau tidak masalah, aku bisa menghabiskannya sendiri. Lagipula, siapa yang tidak suka pizza?"
Gracie memanyunkan bibirnya kesal. "Kalau diet ku gagal, aku akan menyalahkanmu sepenuhnya karena membawa makanan tidak tepat pada waktunya."
Elisa meletakkan kotak pizza di meja kopi, membuka tutupnya dan mengungkapkan pizza dengan topping beraneka ragam. "Sudahlah, ayo, kita makan bersama. Nanti pizzanya dingin."
Ethan dan Gracie duduk di sekitar meja, mengambil sepotong pizza masing-masing. Suasana yang tadinya penuh dengan ketegangan kini perlahan berubah menjadi lebih santai dan nyaman, seiring dengan tawa dan cerita yang mulai mengalir. Gracie, yang tadinya tampak canggung, mulai merasa lebih nyaman di antara Ethan dan Elisa.
Ponsel Gracie berbunyi, dan dengan cepat dia mengangkatnya. "Halo?" suaranya terdengar tegas, namun dengan nada yang ringan,.
"Sudah selesai? Kapan aku bisa pindah?" tanyanya, sesaat sebelum menoleh ke arah kebun dengan mata yang fokus pada pembicaraannya. "Oke, akan segera aku urus," tambahnya singkat sebelum menutup telepon.
Ethan yang duduk tidak jauh darinya, mengalihkan pandangannya dari pizza dan menatap Gracie dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa yang kamu urus?" tanyanya penasaran, suaranya lembut namun dengan nada ingin tahu yang tidak bisa disembunyikan.
Gracie menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Ethan. "Apartemen baruku," jawabnya dengan santai. "Aku baru membeli apartemen dekat tempat kerjaku yang baru."
Ethan terkejut mendengar itu, alisnya terangkat sedikit. "Kamu benar-benar mau kerja lagi?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Gracie menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap Ethan dengan senyum tipis yang penuh makna. "Ya, tentu saja. Kamu belum mencarikan aku pria kaya, jadi sudah pasti aku harus bekerja untuk hidupku sendiri," ucapnya sambil tertawa kecil, nada sarkastis dalam suaranya tidak bisa disembunyikan.
Ethan tersenyum tipis, menatap Gracie dengan pandangan yang penuh perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia menghargai semangat Gracie yang mandiri, tapi di sisi lain, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik keputusan saudarinya itu. "Kamu tahu, Gracie, kalau kerja adalah yang membuatmu bahagia, aku mendukungmu. Tapi kalau kamu mau, aku bisa membagi perusahaan Papa untuk kita berdua," ucap Ethan dengan nada serius namun tulus, menawarkan sesuatu yang tidak sembarangan.
Gracie terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ethan yang tulus namun mengejutkan. Ia mengangguk pelan, merasa sedikit terharu dengan dukungan dan tawaran yang mungkin tidak sepenuhnya dia harapkan. "Aku tahu, Ethan. Terima kasih," jawabnya dengan suara yang lebih lembut, ada rasa syukur dan juga sedikit keraguan. "Tapi tidak dulu, aku belum ingin mengurus satu perusahaan seorang diri. Aku masih perlu waktu untuk memantapkan langkahku sendiri."
Ethan mengangguk paham. "Baiklah, tapi ingat, tawaran itu selalu terbuka untukmu kapan pun kamu siap," katanya dengan senyum hangat.
Ethan sebenarnya sangat peduli pada Gracie, hanya saja Ethan juga tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Sejak kecil, hubungannya dengan Elisa memang baik, tapi lihat hasilnya, mereka menikah. Jadi Ethan hanya merasa caranya menjalin hubungan dengan Gracie tidak akan sama dengan Elisa dulu.
Selesai makan, Gracie mendekati Elisa dengan langkah pelan, matanya tertuju pada perut Elisa yang sudah tampak lebih buncit. Sambil mengelus perut Elisa dengan lembut, Gracie memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya dipenuhi rasa ingin tahu. "Apa perasaanku saja, atau perutmu memang lebih besar dari perut wanita hamil lainnya?" tanyanya dengan nada bingung, namun ada sedikit kehangatan di dalamnya.
Elisa mengangkat kedua pundaknya dengan santai, seolah pertanyaan itu bukan sesuatu yang mengganggunya. "Entahlah. Tapi aku merasa baik-baik saja," jawab Elisa dengan senyum lembut, mencoba meyakinkan Gracie dan dirinya sendiri bahwa semuanya berjalan normal.
Gracie tersenyum tipis, masih terlihat sedikit ragu tapi memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan. "Yang penting kamu dan ponakanku sehat, itu yang terpenting," katanya dengan nada lebih lembut, sebelum kembali duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...