Fokus Ethan buyar ketika sebuah ketukan pintu terdengar. Seseorang masuk ke ruangannya dengan membawa sebuah map abu-abu di tangan. Ethan menatap orang tersebut dengan tatapan tajam, matanya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam.
"Ini semua yang bisa kami temukan," kata pria itu dengan nada takut, suaranya sedikit bergetar saat ia membuka map abu-abu dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen. Dia menaruhnya di meja Ethan dengan gerakan hati-hati. "Kebakaran itu ternyata disebabkan oleh kabel yang konslet dan mengenai tumpukan kertas di ruang arsip. Kami sudah mengidentifikasi penyebabnya dan sedang menangani perbaikan. Staf yang terlibat tidak ada hubungannya dengan kejadian ini."
Ethan terus menatap pria itu dengan tatapan yang sama, dingin dan penuh tekanan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi lain selain kemarahan yang menumpuk. Dia memandang dokumen-dokumen yang tergeletak di atas meja, lalu kembali menatap pria itu, seolah menantikan penjelasan lebih lanjut atau sekadar memastikan bahwa informasi yang diberikan adalah benar.
"Dari mana kalian dapat bukti ini?" tanya Ethan dengan nada curiga, matanya menyipit penuh kecurigaan.
Pria itu menelan ludah, terlihat semakin gugup di bawah tatapan tajam Ethan. "Dari hasil penyelidikan, terlihat ada beberapa kabel yang sepertinya sudah rusak dan berpotensi menyebabkan percikan api. Kami menemukan bukti berupa kerusakan pada kabel dan adanya jejak percikan di lokasi kebakaran."
Ethan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di tengah kemarahannya. Tangannya dengan lembut memijat area antara alisnya, berusaha mengendalikan emosinya. "Baiklah. Bereskan semuanya secepatnya dan silakan keluar," perintahnya dengan nada tegas.
Pria itu mengangguk cepat, dengan hati-hati mengambil kembali map abu-abu dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Ethan dengan rasa kesalnya yang mendalam. Ethan semakin merasa bahwa kepulangannya pagi ini hanya mengganggu waktu yang semestinya dia habiskan dengan Elisa.
Tangannya mematikan komputernya dan berjalan menuju ruang kecil tempat Elisa beristirahat. Ketika dia membuka pintu, dia melihat Elisa masih meringkuk di atas kasur, sepenuhnya tenggelam dalam buku yang tadi siang dibelikan oleh Ash.
Ethan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Elisa dengan lembut dari belakang. "Sudah sampai mana?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba untuk menyelinap ke dalam suasana santai dan damai.
"Bab 7," jawab Elisa tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman, suaranya menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada cerita. "Lumayan seru ceritanya."
Ethan menghela napas pelan, merasa sedikit tenang dengan respon Elisa. "Baguslah kalau begitu," katanya sambil membenamkan wajahnya di tengkuk Elisa, menikmati momen tenang mereka di tengah pikirannya yang sangat kacau. "Ayo pulang,"gumam Ethan, suaranya teredam oleh baju Elisa saat dia membenamkan wajahnya di tengkuknya.
⋇⋆✦⋆⋇
Pas sampai di rumah, Elisa meletakkan bukunya di atas meja makan dan mengambil celemek dari gantungan. "Mau makan apa kita malam ini?" tanyanya, matanya berseri-seri dengan semangat baru.
Ethan, yang baru saja memasuki rumah dan masih dipenuhi dengan rasa frustrasi dari hari yang panjang, melihat ke arah Elisa dengan keraguan. "Kamu bisa masak?" tanyanya, sedikit skeptis.
Elisa tersenyum lebar. "Tidak, tapi ada YouTube," jawabnya dengan penuh percaya diri.
Ethan mengangkat alis. "Kamu tahu kan kita bisa pesan makan saja?"
Elisa menggelengkan kepala dengan penuh tekad. "Aku sedang ingin mencobanya. Lebih baik sekarang, kamu diam di sana, tunggu aku selesai masak."
Ethan menghela napas pelan. Ia tahu Elisa tidak berpengalaman dalam memasak — biasanya mereka memiliki seorang pembantu rumah tangga yang memasak untuk mereka. Namun, karena mereka pulang mendadak dan pembantu tersebut tidak ada, Ethan ragu dengan keputusan Elisa.
"Baiklah, panggil aku jika terjadi sesuatu," katanya dengan nada sedikit khawatir, sebelum mundur ke ruang tamu dan duduk di sofa, menunggu dengan harapan bahwa eksperimen Elisa tidak akan menjadi bencana total.
Baru beberapa saat Ethan duduk, dari kejauhan, dia mendengar suara nyaring yang berasal dari dapur. Suara itu membuatnya terkejut sesaat hingga dia mengangkat kepala, mengarahkan pandangannya ke arah dapur. Bahkan, suara itu berhasil menarik perhatian beberapa asisten rumah tangga mereka yang segera panik dengan kebisingan yang dibuat Elisa. Mereka mengintip ke dapur dan melihat Elisa di sana, sibuk dengan talenan dan beberapa bahan makanan di sekitarnya.
"Ma'am? Kapan Anda pulang? Kenapa tidak memberi kabar pada kami dulu?" tanya salah satu dari mereka dengan nada cemas, merasa tidak enak karena tidak ada persiapan. "Biarkan kami saja yang mengurus ini," ucapnya, menawarkan bantuan.
Elisa menoleh dengan senyum kecil. "Tidak apa-apa, kalian kembalilah istirahat," jawabnya dengan tenang.
"Jangan ragu untuk memanggil kami jika butuh bantuan," tambah yang lainnya sebelum mereka akhirnya meninggalkan dapur, meski masih terlihat agak khawatir.
Ethan hanya bisa menghela napas dalam-dalam, bertanya-tanya bagaimana semua ini akan berakhir karena kelihatannya Elisa bahkan belum memulainya dan sudah terdengar keributan disana.
Elisa melirik layar ponselnya, menimbang-nimbang pilihan menu yang muncul di video. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk membuat chicken parmesan.
Dengan penuh semangat, dia mulai mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan — ayam fillet, saus tomat, keju parmesan, dan beberapa bumbu sederhana. Meskipun belum pernah mencobanya sebelumnya, Elisa merasa sangat percaya diri dengan bantuan video tutorial yang dipandunya. Tangannya mulai bekerja, mengolah ayam dengan hati-hati sambil sesekali melirik ke arah video untuk memastikan semua berjalan dengan benar.
Ethan, yang masih duduk di ruang tamu, sesekali mengintip ke arah dapur, merasa cemas dengan hasil akhirnya. Tapi dia memilih untuk diam, memberikan Elisa kesempatan untuk membuktikan dirinya.
Elisa mencelupkan potongan ayam ke dalam adonan tepung, lalu memasukkannya ke dalam penggorengan yang sudah dipanaskan. Bunyi mendesis dari minyak panas menambah semangatnya, meski sedikit gugup.
Di ruang tamu, Ethan mencium aroma masakan yang mulai menyebar dari dapur. Rasa khawatirnya berangsur-angsur berubah menjadi rasa penasaran.
Sementara itu, Elisa mulai menyusun potongan ayam yang sudah digoreng ke dalam loyang, lalu menambahkan saus tomat dan keju parmesan di atasnya. Dia memasukkan loyang tersebut ke dalam oven dengan hati-hati, memastikan semuanya tertata dengan sempurna. Saat menunggu ayamnya matang, dia mulai membersihkan dapur yang sedikit berantakan, sambil terus memantau video tutorial untuk langkah berikutnya.
Setelah beberapa menit, alarm oven berbunyi, dan Elisa membuka pintu oven dengan hati-hati. Aroma lezat yang keluar dari dalamnya membuat senyumnya semakin lebar. Chicken parmesan-nya terlihat cukup menggugah selera, dengan keju yang meleleh sempurna di atas ayam yang renyah.
Dengan perasaan bangga, Elisa menata hidangan tersebut di atas piring dan menghiasinya dengan beberapa daun basil segar. "Ethan," panggilnya dari dapur, "Makan malam sudah siap!"
Ethan berdiri dan berjalan menuju meja makan, masih agak ragu tapi tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. Saat melihat hidangan yang disajikan Elisa, dia sedikit terkejut. "Kamu benar-benar membuat ini?" tanyanya, suaranya mengandung kekaguman yang tidak ia coba sembunyikan.
Elisa mengangguk, tersenyum puas. "Iya, meskipun sedikit berantakan. Semoga kamu suka."
Ethan duduk, mengambil garpu, dan menyuapkan potongan chicken parmesan ke mulutnya. Dia mengunyah perlahan, menilai rasa yang tercipta dari hasil kerja keras Elisa. Wajahnya berubah dari skeptis menjadi puas. "Ini... tidak buruk," katanya akhirnya, dengan nada yang sedikit mengejek tapi juga penuh penghargaan.
Elisa menatapnya tajam. "Jangan makan kalau tidak enak!" ancamnya.
Ethan tersenyum tipis melihat reaksi Elisa yang tiba-tiba berubah serius. "Oke, oke, aku menyerah," katanya sambil mengangkat kedua tangannya seolah sedang ditodong. "Ini benar-benar enak. Kamu punya bakat alami, serius," lanjutnya dengan nada lebih tulus, berharap pujiannya bisa melunakkan ekspresi tajam Elisa.
Elisa mendengus kecil, lalu tersenyum bangga. "Memang seharusnya begitu," katanya, mencoba menutupi kegembiraannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...