Elisa masih bersembunyi di balik pintu yang terkunci rapat, jantungnya berdegup kencang, berusaha mengatasi ketakutan yang menggerogoti dirinya. Di tengah keheningan yang menegangkan, suara gedoran keras dari luar menjadi satu-satunya yang terdengar, memecah kesunyian dengan nada yang semakin keras. Hael tidak berhenti mencoba merobohkan pintu, dan setiap hantaman membuat Elisa semakin meringkuk. Suara amarah Hael menggema, mengisi ruangan yang terasa semakin menyeramkan untuk Elisa. Meskipun rumah yang dibangun Ethan begitu kokoh, Elisa tahu bahwa waktu tidak ada di pihaknya.
Teriakan Hael semakin liar, penuh kebencian dan kemarahan. "Kamu pikir bisa terus bersembunyi dariku, Elisa?!" teriaknya, suaranya penuh dengan ancaman yang membekukan darah. "Aku akan masuk dan menemukanmu, dan tidak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang!"
Elisa meringkuk lebih erat di atas kloset yang tertutup, tubuhnya bergetar hebat sementara tangannya yang gemetar mengelus lembut perutnya. Dia mencoba mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri demi menjaga kesehatannya dan bayinya, namun ketakutan itu begitu kuat. Setiap kata yang keluar dari mulut Hael semakin mengukuhkan rasa ngeri yang dirasakannya. Pikiran tentang apa yang akan terjadi jika Hael berhasil masuk menghantui pikirannya, membuatnya merasa semakin terjebak.
Dia tahu bahwa stres yang ia rasakan bisa memperburuk keadaannya, tetapi sulit baginya untuk tetap tenang saat ancaman begitu dekat. Hael tidak hanya menyiksanya secara fisik; dia juga merusak ketenangan mental Elisa, menghantui setiap sudut pikirannya dengan ketakutan yang mendalam. Elisa tidak bisa mengerti bagaimana Hael bisa menemukan dirinya, bagaimana dia bisa berada di sini, di rumahnya sendiri. Mengapa Hael terus mengejarnya seperti ini, terutama saat Ethan tidak ada di dekatnya untuk melindunginya?
"Kamu pikir Ethan akan menyelamatkanmu?" teriak Hael lagi, suaranya semakin brutal. "Dia tidak akan kembali tepat waktu, Elisa! Kau milikku!"
Elisa menggigit bibirnya, berusaha menahan isak yang ingin pecah. Dia tidak tahu kapan Ethan akan kembali, atau apakah bantuan akan tiba sebelum Hael berhasil menerobos masuk. Rasa takut semakin menjadi-jadi, dan dalam hati, Elisa hanya bisa berdoa agar ada seseorang datang menolongnya.
***
Ethan menyalakan mesin mobil dengan sebuah gesekan ringan, dan suara mesin yang bertenaga segera mengisi kabin. Layar GPS di dashboard menyala dengan jelas, dan Ethan menghela napas lega. Untung saja mobil itu dilengkapi dengan GPS untuk mengarahkannya. Dia memasang lokasi tujuan ke tempat Alessio, dan tanpa ragu, melajukan mobil dengan kecepatan tinggi di pagi hari yang masih sepi. Jalanan lurus dan lebar mengalir di bawah roda mobilnya, dikelilingi oleh bangunan-bangunan modern yang mulai memantulkan sinar matahari pagi. Lampu-lampu jalanan yang biasanya menerangi malam kini memudar, dan langit pagi mulai mengubah warna dari gelap menjadi biru cerah. Di sisi kiri jalan, Ethan dapat melihat barisan toko-toko yang belum buka, dengan jendela-jendela yang masih tertutup tirai. Di sisi kanan, deretan pohon-pohon menunjukkan daun-daun hijau segar mereka.
Setiap tikungan dan belokan terpantau dengan jelas di layar GPS, sementara mobil melaju mulus dan cepat, memecah kesunyian pagi dengan kecepatan yang mengesankan. Setengah jam perjalanan, Ethan akhirnya sampai di tempat Alessio. Pintu besar mansion itu terbuka perlahan saat Ethan mendekat. Dia memarkirkan mobilnya dengan cepat dan langsung bergegas masuk ke mansion megah tersebut.
Saat mendekati pintu masuk, seorang penjaga yang berjaga segera menghalanginya. Dengan ekspresi tegas, Ethan berkata, "Saya punya urusan langsung dengan Alessio. Harap beri tahu dia bahwa saya di sini." Setelah beberapa saat, penjaga itu mempersilakan Ethan masuk. Ethan berjalan dengan mantap menuju kantor Alessio, mengikuti jalan yang sama seperti pertama kali dia datang ke sana.
Ethan membuka pintu kantor Alessio tanpa mengetuk, langkahnya tegas dan penuh kemarahan. Alessio yang tengah duduk di balik mejanya, menoleh, sedikit terkejut melihat kehadiran Ethan yang tiba-tiba.
"Aku rasa kompensasi sudah sepantasnya diberikan olehmu atas tindakan kekasih gilamu itu," suara Ethan rendah namun penuh amarah yang terpendam.
Alessio, alih-alih terkejut, justru menampilkan senyuman tipis. "Kamu sudah membunuhnya, apa lagi yang bisa kuberikan? Kamu sudah mengambil alih seluruh rencanaku."
Kening Ethan berkerut, jelas tidak memahami maksud ucapan Alessio. "Maaf?"
"Dari awal, aku sudah tahu rencananya. Aku tidak sebodoh itu untuk membiarkannya berjalan tanpa pengawasan," ucap Alessio dengan nada yang penuh keyakinan.
Keinginan untuk melayangkan pukulan ke wajah Alessio hampir tak tertahankan bagi Ethan. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya, jika Alessio sudah tahu semuanya, mengapa dia tidak menghentikannya?
"Pinjamkan pesawatmu. Aku harus segera kembali ke Texas," kata Ethan akhirnya, menahan amarahnya dengan susah payah.
"Silakan," jawab Alessio dengan tenang, sambil menekan tombol interkom di mejanya. "Siapkan penerbangan ke Texas sekarang juga," perintahnya kepada seseorang di ujung telepon.
Ethan tetap berdiri di tempatnya, tatapan dinginnya tak lepas dari Alessio, jelas menunjukkan ketidaksenangannya atas situasi ini.
***
Saat mobil yang mengantarnya menjauh dari mansion Alessio, Ethan duduk di kursi belakang, mencoba meredakan ketegangan yang masih menekan pikirannya. Adrenalin yang sebelumnya menguasai tubuhnya perlahan mengendur, memungkinkan pikirannya untuk lebih jernih. Dengan perasaan cemas yang sulit diabaikan, Ethan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, menekan nomor Elisa. Dia mendengarkan dering panjang, namun tidak ada jawaban.
Ethan mencoba lagi, namun hasilnya sama. Tidak ada respons. Tanpa membuang waktu, dia beralih ke kontak yang sudah dikenalinya dengan baik dan segera menghubungi salah satu anak buahnya.
Telepon tersambung hanya dalam satu nada. "Aku di sini, sir," suara tegas di seberang terdengar, penuh kewaspadaan.
"Segera kumpulkan timmu," perintah Ethan dengan nada dingin yang tak memberi ruang untuk pertanyaan. "Pergi ke rumahku sekarang dan pastikan istriku aman disana. Siapa pun yang berada di sekitar rumah, atau siapa pun yang mencurigakan—tangkap mereka. Jangan tanya, langsung lakukan."
"Siap, sir. Kami bergerak sekarang juga," jawab anak buahnya tanpa ragu, lalu menutup telepon dengan cepat, menunjukkan kesigapan mereka.
Mobil yang membawa Ethan melaju dengan kecepatan konstan menuju bandara. Jalanan yang perlahan mulai ramai dengan aktivitas pagi terasa seperti pemandangan yang lewat begitu saja, tidak menarik perhatian Ethan sedikit pun. Fokusnya kini tertuju sepenuhnya pada Elisa dan keselamatannya.
Tidak butuh waktu lama untuk mencapai bandara. Anak buah Alessio menjalankan tugasnya dengan sempurna, memastikan Ethan tiba tepat waktu dan aman. Mereka mengantar Ethan hingga ke pesawat pribadi yang sudah siap untuk menerbangkannya kembali ke Amerika.
Saat Ethan menaiki tangga pesawat, pikirannya masih dipenuhi dengan kekhawatiran tentang Elisa. Semua yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah menunggu sampai pendaratannya di Texas, berdoa agar tidak ada hal buruk yang terjadi sementara dia berada ribuan mil jauhnya dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...