Hael kembali ke kamar dengan nampan makanan di tangannya, melangkah dengan percaya diri seolah tidak terjadi apa-apa. Ada senyum tipis di wajahnya saat dia mengangkat makanan yang dibawanya—sesuatu yang dulu disukai Elisa ketika masih kuliah. Pintu kamar ditutup dengan bunyi lembu.
"Aku membawakanmu sesuatu," ucap Hael sambil mendekati Elisa. Namun, Elisa hanya meliriknya dengan tatapan dingin sebelum kembali berpaling, menolak untuk menunjukkan sedikit pun ketertarikan.
"Lepaskan aku," desis Elisa dengan suara rendah, nyaris putus asa.
Namun, Hael tidak menggubris permintaannya. Dia melangkah lebih dekat dan duduk di tepi ranjang, tatapannya tetap fokus pada Elisa. "Aku akan menyuapimu," katanya, nada suaranya tegas dan tidak memberi ruang untuk penolakan.
Elisa menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya meskipun hatinya bergemuruh dengan kemarahan dan ketakutan. "Aku ingin makan sendiri dan kembalikan pakaianku," ucapnya dengan suara datar, mencoba mempertahankan sisa-sisa martabatnya.
Hael hanya melemparkan selimut ke atas tubuh Elisa, menutupi tubuh Elisa dengan sehelai selimut itu.
"Aku tidak perlu mengatakannya dua kali," balas Hael dengan nada lebih dingin, memerintahkan, "Buka mulutmu."
Elisa menatap Hael dengan penuh kebencian, matanya berbicara lebih banyak daripada kata-katanya. Tapi rasa lapar yang menggerogoti tubuhnya akhirnya membuatnya menyerah. Dia sangat membutuhkan makanan — perutnya sudah kosong sejak pagi, dan makanan terakhir yang dia konsumsi adalah sore kemarin. Perlahan, dengan berat hati, dia membuka mulutnya.
Hael menyuapi Elisa dengan lembut. Elisa terpaksa menerima makanan itu, menelan setiap suapan dengan perasaan yang bercampur aduk antara hina dan rasa lega karena akhirnya bisa mengisi perutnya. Setidaknya Hael masih memberikannya makanan yang layak.
***
Ethan memaksakan diri untuk menghabiskan makanannya, meskipun rasa yang menjijikkan membuatnya hampir muntah berkali-kali. Setiap suapan terasa seperti siksaan, seolah-olah ada sesuatu yang benar-benar salah dengan makanan itu. Ethan mengerutkan wajahnya, berusaha menahan rasa mual yang semakin kuat.
Tiba-tiba, suara Leona terdengar dari sebuah speaker tersembunyi di dalam ruangan. "Bagaimana makanannya?" tanya Leona dengan nada yang terdengar manis namun penuh ironi.
Ethan langsung mencari asal suara itu, matanya mengitari ruangan, mencoba menemukan di mana Leona bersembunyi.
"Tidak perlu mencarinya, kamu tidak akan menemukannya," lanjut Leona, suaranya terdengar tenang dan penuh kendali. "Aku hanya bertanya, bagaimana makanannya? Apa enak?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menuntut.
"Menjijikan," jawab Ethan dengan dingin, suaranya penuh kebencian. Dia bisa merasakan perutnya bergolak, mencoba menolak makanan yang baru saja ditelannya.
Leona tertawa, suara tawanya menggema melalui speaker, membuat Ethan semakin muak. "Tentu saja. Tapi kamu harus menghabiskannya. Aku melihatmu dari sini, Ethan. Kamu akan butuh banyak tenaga untuk nanti malam, sayang," ucap Leona, menekankan kata-kata terakhirnya dengan nada menggoda yang membuat Ethan merasa semakin muak.
Rasa mual semakin kuat, membuat Ethan merasa bahwa dia benar-benar bisa muntah kapan saja. "Apa yang sebenarnya kau berikan padaku, Leona?" tanyanya, suaranya tajam dan penuh tuntutan.
Namun, Leona hanya tertawa lagi, suara tawanya terdengar seperti jerat yang semakin menjerat Ethan. "Aku hanya membuatnya seburuk mungkin untuk dimakan. Khusus untukmu."
Ethan merasakan rasa mual yang semakin menjadi-jadi, seolah-olah perutnya tidak sanggup lagi menahan makanan yang dipaksakan padanya. "Aku tidak bisa menghabiskannya. Aku akan muntah sebentar lagi, Leona. Kamu harus menghentikan ini," ucapnya, suaranya penuh desakan. "Aku tidak pernah memperlakukanmu seburuk ini dulu."
Suara Leona terdengar kembali, namun kali ini ada nada dingin yang menyelip di balik tawanya. "Memang tidak, Ethan. Tapi kamu menyiksaku dengan cara yang lebih kejam—dengan menolak perasaanku dan menikahi wanita lain. Rasa sakit itu tidak akan hilang hanya dengan menyakitimu secara fisik. Aku ingin kau merasakan apa yang kurasakan selama ini."
Ethan mengepalkan tangannya, merasakan ketidakberdayaan yang membuat darahnya mendidih. "Leona, kau gila. Ini tidak akan membuatmu merasa lebih baik," ucapnya dengan suara berat.
Namun, Leona hanya tertawa lagi, suaranya penuh dengan kebencian yang menakutkan. "Sekarang, habiskan dulu. Aku akan datang setelah selesai dengan Alessio. Bersabarlah, sayang, aku akan segera menemuimu lagi. Be a good boy for me," katanya dengan nada manis yang membuat Ethan semakin muak.
Kemudian, suara Leona menghilang, meninggalkan Ethan sendirian dengan piring yang nyaris kosong dan rasa mual yang terus menggelayuti dirinya. Ruangan itu kembali sunyi, tetapi kini keheningan itu terasa semakin menghimpit.
Ethan tidak bisa lagi menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. Peringatan Leona menggema di benaknya, tetapi rasa jijik yang menyesakkan dada lebih kuat daripada rasa takutnya. Tanpa berpikir panjang, Ethan bangkit dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Tubuhnya gemetar saat dia berlutut di depan wastafel, memuntahkan segala isi perutnya. Makanan yang dipaksakan olehnya tadi terasa lebih menjijikkan saat keluar, menguarkan bau yang membuatnya semakin mual.
Kepalanya berputar-putar, dan Ethan merasa seolah-olah seluruh dunia berputar di sekitarnya. Dia mencengkeram pinggiran wastafel dengan erat, mencoba menahan rasa pusing yang melanda. Tubuhnya berkeringat dingin, mencerminkan perasaan putus asa yang mulai merayap ke dalam pikirannya.
Leona benar-benar berhasil menyiksanya. Saat Ethan mengangkat wajahnya dan melihat bayangan dirinya di cermin, dia nyaris tidak mengenali pria yang terpantul di sana—pria yang dulu penuh percaya diri, kini terlihat hancur dan terjebak.
Dengan napas tersengal-sengal, Ethan membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa sedikit menyegarkan pikirannya. Namun, itu sama sekali tidak membantunya.
***
Setelah selesai menyuapi Elisa, Hael mulai membebaskan ikatan-ikatan yang mengikat tubuh Elisa di ranjang. Hael lalu melemparkan sepotong pakaian tipis yang seksi ke arah Elisa. "Pakai ini," perintahnya dengan nada penuh otoritas.
Elisa tidak segera meraih pakaian itu. Ia tetap duduk di ranjang, tubuhnya gemetar, namun matanya tetap menatap Hael dengan tatapan penuh kebencian dan penolakan. Setiap kali ia melihat pria itu, amarahnya hanya semakin membara.
"Kamu bisa mandi dan melakukan apa saja di ruangan ini. Aku memberimu waktu satu jam," lanjut Hael, suaranya tegas tanpa sedikit pun belas kasihan. Namun, di balik sikap dinginnya, ada seberkas ketidaksabaran yang terlihat di matanya.
Elisa mendengus pelan, menolak menuruti perintahnya. "Ini rumahku," katanya dengan suara serak, mencoba mengklaim kembali kontrol yang seolah sudah hilang dari genggamannya.
"Tapi aku yang memegang kendali di sini," jawab Hael dengan senyum sinis di wajahnya. Dia mendekat, membuat Elisa merasa terperangkap, meskipun tidak ada lagi ikatan yang menahan tubuhnya. "Tugasmu sekarang adalah menurutiku. Pria yang kamu anggap bisa melindungimu itu tidak akan kembali. Aku bisa memastikan hal itu, babe," ucapnya dengan nada penuh kemenangan, seolah-olah dia sudah memenangkan pertarungan yang belum selesai.
Elisa merasakan dada dan tenggorokannya terasa sesak. Kata-kata Hael seperti belati yang menusuk langsung ke hatinya.
Elisa tidak menunggu sedetik pun setelah mendengar kata-kata Hael. Tanpa mengambil baju yang dilemparkan ke arahnya, ia langsung bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi, Elisa langsung menutup dan mengunci pintu dengan cepat, tangannya gemetar saat memutar kunci. Suara napasnya terdengar keras di ruangan kecil itu, dan ia menekan punggungnya ke pintu. Tubuhnya bergetar hebat, dan air mata yang sempat ditahannya kembali mengalir deras.
Di dalam kamar mandi yang dingin dan sunyi, Elisa merasa seolah-olah waktu berhenti. Dia tahu Hael pasti akan segera mengetuk pintu, mungkin juga akan mencoba memaksanya keluar nanti. Namun untuk sekarang, ia hanya ingin menyembunyikan diri meskipun tahu itu tidak akan bertahan lama.
Elisa merosot ke lantai, memeluk lututnya erat-erat, mencoba menenangkan dirinya di tengah rasa takut yang mencekam. Air mata terus mengalir, membasahi wajahnya, sementara pikirannya dipenuhi oleh rasa rindu dan kerinduan terhadap Ethan, berharap pria itu bisa segera kembali dan mengakhiri mimpi buruk ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...