Hael telah lama menghantam Elisa dengan kasar. Tubuh Elisa terasa lelah, setiap serat ototnya sudah kehabisan tenaga, dan matanya bengkak dari air mata yang sudah lama tak berhenti mengalir. Dengan rasa putus asa, Elisa hanya bisa menutup matanya dan berharap bahwa ini semua segera berakhir.
Akhirnya, Hael berhenti, meninggalkan Elisa dalam keheningan yang membekukan. Panas yang tidak nyaman masih terasa di dalam tubuh Elisa, menambah beban emosional yang dia rasakan.
Hael tersenyum puas, senyumnya menyiratkan kepuasan yang dingin. "Thank you, babe. Kamu sangat nikmat," ujarnya dengan nada yang penuh kepuasan.
Elisa tidak menjawab. Dia hanya membalikkan wajahnya, menatap dinding dengan penuh kebencian. Rasa jijik yang mendalam mengalir di dalam dirinya, membuatnya merasa muak dengan keberadaan Hael.
Hael, yang tampaknya menikmati reaksinya, bertanya dengan nada menantang, "Apa aku lebih baik dari suamimu? Tidak perlu takut, dia tidak di sini untuk mendengarnya."
Elisa hanya diam, suara hatinya tenggelam dalam rasa sakit dan kemarahan. Setiap usahanya untuk melawan tampak sia-sia. Tangan Hael dengan kasar memaksa wajah Elisa agar menatapnya. "Aku tahu kamu masih mendengarku," katanya, suaranya penuh dengan kekuasaan dan dominasi.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Elisa membuka matanya, mengumpulkan keberanian terakhirnya. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia meludahi wajah Hael, mengekspresikan rasa jijik dan kemarahan yang membara di dalam dirinya.
Hael terkejut sejenak, tetapi kemarahan segera menggantikan keterkejutan di wajahnya. Dengan gerakan cepat dan penuh amarah, dia menampar Elisa. Suara tamparan itu menggema di ruangan, dan sudut bibir Elisa mengeluarkan sedikit darah. Rasa sakit yang tajam menyusup ke seluruh tubuhnya, menambah beban emosional yang sudah sangat berat.
Wajah Elisa terasa panas, dan meskipun setiap bagian tubuhnya ingin mengungkapkan kesakitan, dia tetap diam, berusaha menahan tangis yang hampir tidak tertahan. Dalam keheningan yang menyedihkan, hanya suara napas berat Hael yang terdengar, setiap hembusan napasnya menambah rasa berat di udara.
"Kenapa kamu sangat sulit untuk diajak kerja sama?" gumam Hael dengan nada kesal. Suaranya penuh frustrasi, seolah segala sesuatu yang terjadi adalah salah Elisa semata.
Hael bangkit dari tempat tidur dan meninggalkan kamar dengan langkah tegas, meninggalkan Elisa sendirian dalam kegelapan. Pintu kamar tertutup dengan keras, dan suara itu menggema di ruang yang kini terasa semakin kosong dan dingin.
Saat pintu tertutup, Elisa akhirnya membiarkan air matanya mengalir. Dia tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Ethan baru pergi selama dua hari, dan dalam waktu singkat, hidupnya telah berubah menjadi mimpi buruk. Air mata Elisa semakin deras, bercampur dengan rasa bingung dan kesedihan yang mendalam.
Elisa menginginkan Ethan lebih dari segalanya saat ini. Kerinduannya padanya hampir tak tertahankan. Ia ketakutan, tersiksa oleh perlakuan kasar Hael yang seakan Elisa bukan seseorang yang harus ia jaga. Rasa sakit yang ditinggalkan oleh sentuhan pria itu masih terasa.
Elisa terisak dalam diam, setiap isakan membawa serta rasa kehilangan dan keputusasaan yang mendalam. Air matanya mengalir deras, setiap tetesnya adalah manifestasi dari rasa sakit yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Ia sangat membutuhkan Ethan sekarang, lebih dari sebelumnya. Namun, pria itu tidak ada di sini, tepat saat Elisa merasa paling membutuhkan kehadirannya.
***
Ethan berjalan keluar dari kamarnya, merasakan keheningan yang mencekam di sekitarnya. Tempat itu sepi, hampir terlalu sunyi, seolah-olah semua kehidupan telah terserap oleh dinding-dinding yang dingin. Pandangannya menyapu sekeliling, mencoba memahami suasana yang aneh ini.
Tiba-tiba, seorang gadis kecil muncul dari balik pintu ruangan di ujung koridor. Dia membawa sebuah nampan di tangannya. Rambut pirangnya yang halus tergerai, dan matanya yang besar dan polos menatap lurus ke depan, seakan dia tak peduli pada kehadiran Ethan. Tanpa sepatah kata pun, dia berjalan melewati Ethan, mengabaikannya seolah-olah dia tak lebih dari bayangan.
Ethan menoleh dan melihat gadis itu masuk ke kamar yang baru saja ia tinggalkan. Rasa penasaran menyeruak dalam dirinya, membuatnya segera mengikuti gadis itu. Dengan cepat, Ethan melangkah maju dan menahan pintu sebelum tertutup, menahan langkah gadis kecil itu.
"Hei, siapa namamu?" tanya Ethan dengan lembut, mencoba untuk tidak menakuti gadis kecil itu.
Namun, gadis itu tidak menjawab. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, seolah-olah takut mengeluarkan suara sedikit pun. Matanya tampak gelisah, dan dia mulai berusaha keluar dari kamar itu, mencoba melarikan diri dari Ethan.
Ethan memandangnya dengan bingung. "Apa kamu bekerja di sini?" tanyanya, meskipun dalam hati dia tahu betapa tidak masuk akalnya pertanyaan itu. Anak sekecil itu, mungkin hanya berumur empat atau lima tahun, jelas bukan seorang pekerja.
Gadis kecil itu tetap diam, wajahnya dipenuhi ketakutan. "Kamu bisa bicara," katanya berbisik dengan nada yang lebih meyakinkan. "Aku tidak akan mengatakan pada siapapun."
Untuk sesaat, mata gadis itu melirik ke arah pojok ruangan. Ethan mengikuti arah pandangannya dan baru menyadari adanya sebuah kamera kecil yang terpasang di sana, mengawasi setiap gerakannya. Jantungnya berdetak kencang saat ia menyadari bahwa setiap detik dari pertemuannya dengan gadis ini mungkin sedang dipantau. Itu menjelaskan mengapa gadis kecil itu begitu ketakutan dan enggan untuk berbicara.
Ethan memutuskan untuk mengubah pendekatannya. Dia menurunkan suaranya menjadi lebih tenang dan bersahabat. "Itu untukku?" tanyanya sambil menunjuk ke arah nampan yang dipegang gadis kecil itu.
Namun, anak itu tampak bingung. Matanya yang besar berkedip beberapa kali, seolah mencoba memahami kata-kata Ethan. Ethan segera menyadari bahwa gadis kecil itu mungkin tidak mengerti bahasa Inggris. Wajahnya terlihat cemas, semakin mengukuhkan kecurigaan Ethan bahwa anak itu merasa tidak nyaman atau bahkan takut.
Merasa situasinya semakin canggung, Ethan memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh. Dia perlahan membukakan pintu kamar, memberi isyarat agar anak itu bisa pergi jika dia mau. Tanpa ragu sedikit pun, gadis kecil itu langsung berlari keluar dengan cepat, langkah-langkahnya nyaris tak terdengar di sepanjang koridor yang sepi. Dalam sekejap, dia menghilang di balik pintu lain di ujung lorong.
Ethan berdiri di sana, memandang kosong ke arah gadis kecil itu pergi. Pintu di ujung lorong tertutup dengan pelan, seolah menghapus jejak kehadirannya yang singkat. Ethan merasa semakin terjebak dalam suasana yang membingungkan ini. Tempat itu terasa semakin sunyi, mencekam, dan membuat pikiran Ethan dipenuhi oleh pertanyaan yang semakin menumpuk.
Ray dan Alex, yang biasanya ada di dekatnya, juga tidak terlihat di mana pun. Mereka selalu berada di sekitar Ethan, siap membantu atau menjaga situasi tetap terkendali. Tapi sekarang, mereka menghilang tanpa jejak. Ethan tidak tahu mereka berada di mana atau mengapa mereka tidak ada di sini saat ini. Ketidakpastian ini membuatnya merasa semakin tidak nyaman.
Ethan akhirnya memilih untuk duduk di tepi ranjang. Di depannya, nampan makanan yang dibawa oleh gadis kecil itu masih tergeletak. Setelah menatapnya beberapa saat, Ethan mulai makan. Rasanya sedikit asin, tapi perutnya yang kosong tak bisa menolak.
Pikiran tentang kemungkinan makanan itu beracun terlintas di benaknya, tetapi Ethan mengusir kekhawatiran itu dengan cepat. Jika dipikir-pikir, Leona, yang begitu terobsesi padanya, tidak mungkin ingin membunuhnya, kan? Gadis itu jelas tergila-gila pada Ethan, mungkin sampai pada titik yang tidak sehat. Namun, di balik kegilaan itu, Ethan yakin Leona tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Setidaknya, itulah yang ingin dia yakini saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...