Chapter 12

57 5 0
                                    

Ethan dan Elisa sudah sampai di kantor Ethan di Texas. Tanpa membuang waktu, Ethan segera mematikan mesin mobil dan dengan cepat membuka sabuk pengamannya. Dia menoleh ke Elisa, tatapannya serius namun lembut. "Tunggu di mobil sebentar, aku akan segera kembali," katanya, suaranya terdengar tegas namun penuh perhatian.

Tanpa menunggu jawaban, Ethan membuka pintu mobil dan keluar, menutup pintu dengan cepat sebelum berlari menuju pintu masuk kantornya. Dalam sekejap, sosoknya menghilang di balik pintu kaca, meninggalkan Elisa sendirian di dalam mobil, dengan pikirannya yang mulai bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi di dalam sana.

Begitu Ethan masuk ke dalam kantor, suasana menjadi tegang. Para staf tidak ada yang berani melihat ke arahnya. Mereka tahu Ethan tidak sebaik ayahnya dalam urusan memaafkan kesalahan pekerjanya. Tidak dipecat saja sudah sebuah kemurahan hati dari Ethan.

Ethan melangkah dengan cepat menuju ruang rapat, di mana beberapa manajer dan direktur senior sudah menunggu dengan wajah cemas.

Tanpa membuang waktu, Ethan langsung meminta penjelasan. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada tegas, pandangannya langsung tertuju pada salah satu manajer yang tampak paling gugup.

Salah satu manajer yang tampak paling gelisah berdehem pelan sebelum akhirnya berbicara dengan suara bergetar. "Kemarin sore, terjadi sesuatu di salah satu ruangan, Sir," ucapnya dengan hati-hati, mencoba menilai reaksi Ethan.

Ethan menyipitkan mata, tidak sabar. "Apa maksudmu sesuatu?" desaknya.

Manajer itu menelan ludah, merasa semakin gugup. "Ada kebakaran kecil di ruang penyimpanan arsip. Beruntung, sistem sprinkler berhasil mencegah api menyebar ke ruangan lain," lanjutnya, suaranya semakin kecil, seolah berharap hal itu bisa meredakan kemarahan Ethan.

Wajah Ethan tetap datar, meskipun rahangnya mengeras sedikit. "Bagaimana bisa terjadi kebakaran? Apa penyebabnya?" tanyanya dengan nada yang mulai menekan.

Manajer tersebut menggigit bibirnya sebelum melanjutkan. "Kami belum menemukan penyebab pastinya, Sir. Tapi... ada masalah lain," katanya, berhenti sejenak sebelum menambahkan, "CCTV di ruangan itu rusak."

Ethan mengerutkan kening, tatapannya semakin tajam. "CCTV rusak? Apa yang terekam sebelum rusak?" desaknya.

Manajer itu terdiam sejenak, seolah-olah sedang mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Anehnya, rekaman CCTV di seluruh kantor juga tidak menunjukkan siapa pun yang masuk ke ruangan tersebut. Seolah-olah... pelaku tidak pernah ada," akhirnya dia mengakui, suaranya bergetar lebih keras.

Ethan melempar sebuah berkas tebal ke lantai, suara dentumannya nyaring dan menggema di seluruh ruangan. Dia memandang manajer-manajer dan direktur-direktur tersebut dengan tatapan dingin, senyum yang tadi muncul di wajahnya kini menghilang.

"Sudah ada yang melamar kerja di tempat lain?" Ethan bertanya dengan nada sarkastis, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Atau kalian sudah diterima di perusahaan lain? Karena kalau tidak, lebih baik kalian mulai mencari sekarang."

Mereka terdiam, wajah-wajah mereka pucat, dan ketakutan mulai menyelimuti ruangan. Para manajer dan direktur tahu bahwa ancaman Ethan bukanlah hal yang main-main. Dipecat dari perusahaan ini berarti kehilangan lebih dari sekadar pekerjaan.

Saat Ethan melirik ke luar ruangan, matanya menangkap sosok Elisa yang sedang duduk di luar, menatapnya melalui dinding kaca. Tatapan Elisa seakan menusuk ke dalam dirinya, membuatnya berhenti sejenak. Namun, dengan cepat Ethan mengalihkan pandangannya kembali ke orang-orang di depannya.

"Saya beri kalian waktu satu hari untuk membereskan semuanya. Saya ingin laporan lengkap sebelum jam enam sore ini. Kalau tidak, kalian semua akan saya pecat," ucap Ethan dengan suara rendah namun penuh tekanan.

Dengan kata-kata terakhirnya, suasana ruangan semakin tegang. Semua orang tahu bahwa Ethan serius, dan tidak ada ruang untuk kesalahan lagi.

Ethan keluar dari ruang rapat, langkahnya cepat saat dia mendekati Elisa, yang sudah berdiri di luar ruangan, menunggu. "Kenapa keluar dari mobil? Aku hanya sebentar, kan? Dan gimana kamu masuk ke sini?" tanyanya dengan suara pelan namun tetap terdengar tajam.

Elisa menjawab dengan santai, "Aku bertemu Ash di bawah. Dia melihatku menunggu di dalam mobil dan mengajakku untuk masuk. Dia bilang ada kantin di sini."

Ethan menghela napas panjang, ekspresinya sedikit melunak. Sesaat dia berpikir keamanannya di bawah sangat buruk sampai orang asing bisa masuk, tapi kemudian dia sadar itu hanya ulah Ash yang membawa Elisa masuk tanpa izin. Ethan tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa frustrasinya. "Oke, ayo kita ke kantin. Kamu pasti lapar setelah menunggu."

Ethan menggandeng tangan Elisa dengan lembut dan membawanya ke kantin, meninggalkan kekacauan rapat di belakang mereka. Saat mereka melintas, beberapa orang di sekitar mulai berbisik, memperhatikan bos mereka bersama seorang perempuan yang jelas-jelas menarik perhatian.

Ethan menyadari tatapan dan bisikan yang menyertai mereka. Dia tahu betul bahwa kehadiran Elisa di kantor akan memicu gosip dan spekulasi yang tidak diinginkan. Meskipun hal ini cukup menjengkelkan, Ethan memilih untuk tidak memedulikannya untuk saat ini. Mungkin Ethan akan mengurusnya nanti.

Setibanya di kantin, Ethan memilih meja di sudut ruangan yang agak tersembunyi dari pandangan umum, dekat dengan jendela besar yang menghadap ke taman kantor di luar. Pemandangan taman yang rimbun dengan pepohonan hijau dan bunga berwarna-warni memberikan suasana yang tenang dan menyegarkan. Sinar matahari yang masuk melalui jendela menciptakan suasana hangat di dalam kantin, sementara udara dingin dari sistem AC menjaga kenyamanan ruangan.

"Kamu mau makan apa?" tanya Ethan saat mereka duduk di meja dekat jendela.

Elisa melihat sekeliling kantin yang bersih dan terang. "Ada rekomendasi yang enak?" tanyanya, merasa penasaran dengan pilihan yang ada.

Ethan ikut melihat-lihat, lalu menunjuk ke salah satu stan di sudut kantin. "Aku hampir tidak pernah makan di sini, tapi itu terlihat enak," katanya sambil menunjukkan sebuah booth yang menyajikan sandwich.

Elisa mengangguk. "Boleh," jawabnya.

Ethan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju booth tersebut. Sementara itu, Elisa duduk menunggu, menikmati pemandangan taman yang rimbun dari jendela besar di sampingnya.

Pandangannya kembali pada interior kantin. Area tersebut memadukan desain modern dengan sentuhan hangat; dindingnya berwarna netral dengan aksen kayu yang membuat suasana terasa nyaman dan bersahabat. Lampu-lampu gantung yang lembut menerangi ruangan, memberikan pencahayaan yang cukup tanpa terlalu terang. Beberapa meja dan kursi tersebar dengan rapi, memberikan ruang bagi para karyawan untuk makan sambil bersosialisasi atau sekadar beristirahat.

Elisa melihat beberapa booth makanan lainnya, termasuk stan yang menyajikan salad segar dan pasta. Suasana kantin terasa santai dan bersih, dengan beberapa karyawan yang sibuk menikmati makan siang mereka atau berbincang ringan. Di sudut lain, ada rak yang penuh dengan berbagai jenis minuman, mulai dari kopi hingga jus segar, yang bisa dipilih sesuai selera.

Ketika Ethan kembali dengan dua sandwich Panini di tangannya, Elisa tersenyum dan mengalihkan perhatian dari pemandangan. Roti panggang berisi daging asap, keju, sayuran segar, dan saus mustard itu terlihat menggiurkan. Sandwich Panini sering menjadi pilihan favorit di kantin ini karena rasanya yang gurih dan praktis, dan aroma sedapnya menggugah selera.

Ethan meletakkan sandwich di meja dan duduk kembali di hadapan Elisa. "Aku harap ini sesuai dengan ekspektasiku," ujarnya.

Elisa tersenyum dan mengambil sandwichnya. "Terima kasih. Aku yakin ini akan enak," katanya sambil menggigit sandwichnya. Rasanya memang sesuai dengan ekspektasi—daging asapnya lezat, keju meleleh sempurna, dan saus mustard menambah cita rasa yang pas.

Ethan mengangguk kecil sambil mengambil gigitan pertamanya. "Tidak buruk," ucapnya setelah menelan, matanya menatap sandwich seolah mengevaluasi rasanya dengan serius.

Elisa terkekeh, mengingat beberapa pengalaman makan di tempat yang lebih buruk. "Ya. Aku pernah makan yang jauh lebih buruk dari ini," jawabnya, nada suaranya ringan.

Dark Love (Indo Ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang