Sekelompok orang berpakaian serba hitam menyusup masuk ke rumah Ethan dengan keahlian yang terlatih. Mereka bergerak cepat dan efisien, mengamankan setiap sudut rumah tanpa suara berlebihan. Saat mereka tiba di lantai atas, mereka menemukan Hael yang masih berada di depan kamar mandi, mencoba merobohkan pintu. Tanpa ragu, mereka menahannya, meringkusnya dengan sigap dan membawanya keluar dari kamar itu.
Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah penuh kewaspadaan, berjalan menuju pintu kamar mandi yang terkunci. Dia mengetuknya dengan pelan, suaranya rendah namun jelas. "Mrs. Reid, Anda sudah aman sekarang. Pria itu sudah kami amankan atas perintah dari Mr. Reid. Kami akan berjaga di rumah anda sampai Mr. Reid kembali."
Dari dalam kamar mandi, suara Elisa terdengar bergetar. "Kapan dia kembali?"
"Segera, Mrs. Reid. Dia sedang berada di pesawat sekarang," jawab pria itu dengan tenang, memastikan Elisa tahu bahwa situasi sudah terkendali.
"Baiklah. Terima kasih. Kamu bisa keluar sekarang, karena aku juga akan keluar dari sini," kata Elisa, suaranya mulai stabil meski rasa takut dan shocknya belum menghilang dari dirinya.
"Baik, Mrs. Reid," pria itu menjawab sebelum melangkah keluar, meninggalkan Elisa yang perlahan-lahan merasakan beban di dadanya mulai berkurang, meski belum sepenuhnya hilang.
Begitu suara pintu tertutup terdengar, Elisa mengumpulkan keberaniannya untuk membuka pintu kamar mandi. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, dia meraih sebuah hoodie dan celana panjang—memilih pakaian yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.
Di depan cermin, matanya menangkap bayangannya sendiri. Rambutnya berantakan, bibirnya pecah dan berdarah, kini mengering. Dengan gerakan pelan, dia merapikan rambutnya, berusaha menenangkan diri.
Setelah Elisa selesai merapikan diri, perutnya mulai terasa lapar. Tangannya perlahan meraba perutnya yang masih datar. Hampir saja dia lupa, ada kehidupan kecil di dalam sana yang juga perlu diberi makan. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan keluar kamar dan melihat dua penjaga berdiri berjaga di depan pintunya.
"Permisi, apa salah satu dari kalian bisa mengantarku keluar untuk membeli makanan?" tanya Elisa dengan suara lembut.
Salah satu penjaga, seorang pria dengan sikap yang tenang dan profesional, segera merespons. "Saya akan membelikannya untuk Anda, Mrs. Reid. Apa yang Anda inginkan?"
"Apa saja. Yang penting tidak pedas," jawab Elisa singkat.
Pria itu mengangguk hormat sebelum bergegas pergi. Elisa menatap penjaga yang lain dan memberikan senyuman tipis, lalu berbalik masuk kembali ke kamar.
Elisa mencoba menenangkan dirinya. Tangannya mulai merapikan kamarnya, membersihkan sisa-sisa tisu yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar saat dia mengganti seprai. Bau anyir dari cairan Hael yang mengering di sana membuat perutnya mual. Rasa jijik dan marah bercampur menjadi satu, menyesakkan dadanya. Dengan cepat, Elisa menggulung seprai itu, memasukkannya ke dalam kantong sampah dengan gerakan tergesa, seolah ingin secepat mungkin menghapus jejak kehadiran Hael dari kamarnya.
Setelah selesai membereskan kamar, Elisa akhirnya bisa duduk di ranjangnya lagi, meski perasaan tidak nyaman masih membekap. Tak lama kemudian, suara ketukan pelan terdengar di pintu. Elisa bangkit dan berjalan membukanya. Pria yang tadi pergi membelikannya makanan kini berdiri di ambang pintu, membawa bungkusan serta sesuatu di tangannya.
"Saya sudah membawakan makanan untuk Anda, Mrs. Reid. Juga, kami menemukan ponsel Anda di taman, tapi sepertinya ponsel itu sudah rusak," ucapnya sambil menyerahkan ponsel yang terlihat kusam dan retak.
Elisa memandang ponsel itu sejenak sebelum menerimanya dengan tenang. "Tidak apa-apa. Terima kasih," jawabnya.
Elisa membawanya ke meja riasnya. Hanya itu satu-satunya tempat dia bisa menaruh makanannya. Elisa membuka bungkusan makanan yang dibawakan. Di dalamnya, dia menemukan sebuah mangkuk sup ayam yang masih mengepul hangat dan sepotong roti segar. Aroma sup ayam yang lembut dan menenangkan memenuhi ruangan.
Dia mulai dengan sendok pertama, merasakan kehangatan sup yang lembut menyentuh lidahnya. Tangannya dengan hati-hati memotong roti, kemudian mencelupkannya ke dalam sup. Meskipun rasa sup itu sedikit hambar. Dalam hati, Elisa bersyukur karena anaknya tidak rewel dan tidak membuatnya terlalu memilih makanannya.
***
Setibanya di Texas, Ethan disambut oleh anak buahnya yang sudah menunggu. "Selamat datang kembali, Sir."
Ethan hanya memberikan anggukan singkat sebagai balasan sebelum melanjutkan langkahnya menuju mobil. "Saya akan menyetir sendiri," katanya dengan nada tegas, lalu langsung memasuki mobil.
Dengan cepat, Ethan menyalakan mesin dan menginjak pedal gas, mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Ia mengemudikan kendaraan dengan konsentrasi penuh, memanfaatkan tenaga maksimum untuk segera sampai di rumah. Dengan keterampilan yang cekatan, Ethan menyelip di antara mobil-mobil yang bergerak lambat, menghindari kemacetan dan mempercepat perjalanan. Setiap manuvernya terkoordinasi dengan presisi.
Saat akhirnya sampai di kompleks rumah, Ethan mempercepat laju mobilnya dan melakukan parkir dengan cepat. Dengan satu percobaan yang sempurna, mobilnya meluncur mulus ke tempat parkir. Tanpa membuang waktu, Ethan segera keluar dari mobil dan berlari masuk ke rumah. Para penjaga yang melihat kedatangannya yang mendesak segera menyingkir, membuka jalan untuk Ethan dengan penuh hormat.
Ethan membuka pintu kamar dengan kasar, matanya langsung mencari Elisa. Di sana, ia melihat Elisa duduk di kasurnya, memandang ponsel yang rusak dengan ekspresi cemas. Tanpa ragu, Ethan melangkah mendekat dan memeluk Elisa dengan erat, menariknya ke dalam pelukan yang penuh rasa syukur. "Thanks God. Aku akhirnya melihatmu lagi," ucapnya, suaranya penuh kelegaan dan emosi.
Elisa mengangkat wajahnya yang pucat, matanya penuh pertanyaan dan kekhawatiran. "Ethan," suaran Elisa bergetar.
Ethan melepaskan pelukannya dan menatap mata Elisa dengan intens, dengan lembut mengelus luka di bibir Elisa yang sudah mengering. "Apa yang pria itu lakukan padamu?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa khawatir.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Elisa menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, "Dia memperkosaku... Aku takut..."
Ethan merasakan gelombang kepedihan dan amarah mengguncang hatinya. Tanpa ragu, ia menarik Elisa kembali ke dalam pelukan hangatnya, menenangkan tubuhnya yang gemetar. Ia memberikan kecupan lembut di dahinya, berusaha menyalurkan ketenangan yang sulit ia rasakan sendiri. "Tenanglah, aku di sini," bisiknya penuh perasaan.
Ethan mengambil ponsel Elisa yang rusak dari tangannya. "Aku akan mengurus ponselmu dan juga pria itu. Kamu tak perlu khawatir lagi," ucapnya dengan suara yang tegas, tapi lembut.
Namun, Elisa menahan tangan Ethan dengan kekuatan yang masih tersisa. "Panggil polisi, biar mereka yang mengurusnya. Tolong, tetap di sini bersamaku," pinta Elisa dengan penuh harap.
Ethan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. "Aku tahu kamu ingin aku tetap di sini, tapi memanggil polisi hanya akan menambah rumit situasinya. Wartawan dan media akan mengendus berita ini, dan kita akan kehilangan privasi, akan ada lebih banyak masalah yang datang. Aku tidak ingin kamu melalui semua itu," katanya dengan suara yang lebih tenang. "Biarkan aku yang menangani ini, dan aku janji ini tidak akan lama."
Setelah berhasil menenangkan Elisa, Ethan memastikan dia sudah tertidur di tempat tidur. Dengan lembut, Ethan mengunci pintu kamar dari luar untuk memastikan tidak ada orang lain yang masuk ke kamarnya dan Elisa tidak keluar dari kamar itu. Ethan tidak ingin Elisa melihat apa yang akan dia lakukan pada bajingan satu itu.
Ethan berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan menuju ke ruang kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Love (Indo Ver)
RomanceDark Series #1 - Friend to Lover - R21+ "Everything that's happened to her is a consequence of my actions. No words, not even the deepest apology, can express the depth of my regret. I wish I could undo it all, but I can't. All I can do is try to ma...