[trigger warning: kekerasan seksual, upaya bunuh diri]
Amira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi salah satu dari sekian banyaknya korban kekerasan seksual di dunia ini. Kehidupan yang selama ini ia jalani, membuatnya berpikir bahwa ia tidak akan pernah mengalami kekerasan seksual, dilihat dari lingkungan serta keluarganya yang tidak pernah tersentuh oleh kasus kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Akan tetapi, kehidupan memang dipenuhi oleh plot-plot twist yang akan mengejutkan siapapun, termasuk si pemiliknya. Pun begitu dengan Amira. Plot twist kehidupannya adalah menjadi korban kekerasan seksual sahabatnya sendiri. Jembara Abimanyu. Nama yang kini ia berharap tidak pernah mendengarnya. Nama yang menjadi mimpi buruk di setiap malamnya. Amira sungguh sangat berharap bahwa Jembara Abimanyu bukanlah sahabatnya yang sudah ia kenal sejak zaman sekolah dasar.
Perempuan bertubuh kecil dengan rambut sebahu itu terbaring lemah di ranjang rumah sakit, lengkap dengan pakaian khas pasien dan jarum infus yang menancap pada punggung tangannya. Wajah yang biasanya menampilkan raut kebahagiaan itu kini nampak redup. Kulit putihnya kini nampak pucat seperti mayat. Bibir yang kering, hitam di bawah mata, serta cekungan di kedua sisi wajahnya. Amira yang kini terbaring nampak seperti bukan Amira yang dikenal oleh orang-orang sekitarnya.
Pergelangan tangan kanannya dibalut oleh perban yang menampilkan kemerah-merahan dari darah yang merembes. Itu dari luka atas perbuatan Amira mencoba untuk mengiris nadinya sendiri menggunakan pisau dapur. Bukan sekali dua kali Amira begini, ini adalah percobaan ketiganya untuk menghilangkan nyawanya sendiri. Sebelumnya, Amira sudah pernah meminum racun tikus, tetapi gagal. Yang kedua, Amira mencoba untuk menggantung dirinya sendiri, tetapi itu juga gagal. Dan inilah yang ketiga.
Di sisi kanan dan kiri ranjangnya, ada 4 orang yang sejak semalam berjaga, Mama, Papa, Adik, dan Haridra, kekasihnya. Keempatnya sama-sama berharap akan ada perubahan dari Amira yang tak kunjung membuka matanya. Hati mereka dipenuhi gusar dan gundah. Tidak tenang rasanya melihat Amira terbaring lemah tak berdaya seperti ini. Apalagi dengan percobaan bunuh dirinya yang lagi-lagi gagal. Entahlah, mereka tidak tahu apakah nanti jika Amira sadar dan kembali ke rumah, gadis itu akan mengulangi perbuatannya atau tidak.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang perawat yang membawa sesuatu di tangannya. Perawat itu mendekati keempatnya, juga Amira yang masih terbaring di ranjang. Saat sudah mengatur infus gadis itu, perawat tersebut menatap keluarga Amira satu persatu. "Dokter belum datang, Pak, Bu. Mungkin dokter akan datang pukul sepuluh nanti. Kondisi pasien sudah berangsur membaik, tetapi akan lebih baik jika nanti dokter yang menjelaskan kembali. Saya permisi."
Perawat itu keluar lagi, menyisakan keheningan yang cukup mencekik jiwa.
Mama Amira menatap putra bungsunya (adik Amira satu-satunya, Januar Giffar) dengan matanya yang begitu sembab. "Adek, pulang dulu aja. Mama sama Papa akan jaga Kakak di sini." Kemudian ia beralih menatap Haridra. "Kamu juga, Haridra. Istirahat di rumah. Tante sama Om yang akan jaga Amira."
Haridra mengangguk. Aku pulang dulu, ya. Aku harap nanti kalo aku balik, kamu udah buka mata kamu, Sayang. Haridra bermonolog dalam hati, kemudian ia mengelus lengan kurus kekasihnya.
Di lain sisi, Januar hanya menghela napas kemudian berdiri dan berjalan keluar dari ruangan, diikuti oleh Haridra di belakangnya. Meninggalkan Ardhion dan Haira yang menatap nanar putri sulungnya yang entah kapan akan membuka matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...