26. Perayaan Kepulangan Amira

7 0 0
                                    

"Loh, Bara, kok, digiring polisi gitu, ya, Pa? Terus itu, kok, bajunya.."

Perkataan Haira menggantung di udara sebab perempuan itu nampak benar-benar kebingungan. Ardhion juga sama. Nampaknya kepala keluarga Abra itu sama bingungnya dengan sang istri, keduanya sama-sama kebingunan dengan kejadian yang terjadi di depan kedua matanya itu.

Apalagi saat sahabt keduanya, yakni orangtua Jembara yang bernama Wenda (Sang Ibu) dan Chandra (Sang Ayah) yang hanya bisa menatap kepergian putra tunggalnya di dekat gerbang. Sekat lihat, Wenda menangis keras dipelukan Chandra yang wajahnya nampak mengeras dan menggambar emosi yang mendalam.

Kondisi Jembara tadi juga terlihat buruk. Wajahnya nampak lebam dengan bagian mata kiri yang membiru. Tak hanya itu, sudut bibirnya juga berdarah dan tubuhnya nampak lemas. Amira tidak tahu apa yang terjadi pada pemuda itu. Namun, jika Amira boleh memberikan terkaan, mungkin Jembara berkata jujur pada orang tuanya mengenai apa yang telah dilakukan kepadanya dan lebam-lebam itu diberikan oleh Chandra.

Ardhion dan Haira memutuskan untuk keluar dan menemui Chandra dan Wenda. Amira ditinggalkan sendiri. Dapat Amira lihat saat orangtuanya mendekat ke sana, Chandra langsung menunduk dalam dan Wenda yang bersimpuh jatuh ke kaki Mama.

Di balik jendela mobil, Amira tidak begitu jelas melihat ekspresi wajah Mama dan Papa. Akan tetapi, ia yakin sekali jika raut kebingungan menghiasi keduanya. Ardhion terlihat memegangi bahu Chandra dan mungkin bertanya mengenai kondisi yang begitu membingungkan ini.

Kepala Chandra terangkat, bibirnya bergerak mengucapkan sederet kalimat yang mengakibatkan pukulan Ardhion melayang ke wajah pria berkepala empat itu. Haira dan wenda histeris. Mencoba menghentikan Ardhion yang terlihat emosi saat memukul wajah Chandra.

Amira menunduk. Inginnya ia menghampiri sang ayah untuk menghentikan semuanya, sebab ini bukan salah Chandra. Namun, tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Pikiran-pikiran buruk langsung menyerang kepalanya. Bagaimana jika ia akan disalahkan? Bagaimana jika Wenda tidak menerima Jembara dipenjara? Bagaimana jika ia yang ternyata menjadi penyebab pemuda itu dipenjara?

Tubuh Amira terlonjak dan kepalanya terangkat saat Ardhion dan Haira kembali masuk ke dalam mobil. Keduanya nampak datang dengan emosi yang berbeda. Haira yang menangis dalam diam, sedangkan Ardhion nampak diam dan memasang raut wajah menahan amarah.

"Ma.. Pa.. Kenapa?" tanya Amira.

Bukannya menjawab, Ardhion malah menjalankan mobilnya ke garasi rumah lalu menutup pagarnya secara otomatis. Bahkan setelah mobil terparkir rapi pun, di antara ketiganya belum ada yang bersuara. Yang terdengar hanyalah suara tangisan Haira yang begitu lirih.

"Mama sama Papa udah tau, ya, pelakunya siapa?" Amira bersuara. "Pelakunya Jembara, Pa. Sahabat Kakak. Temen kecil Kakak. Ah, tapi Papa sama Mama juga pasti udah tau dari Mama Wenda sama Papa Chandra."

"Kakak," lirih Haira. Tubuhnya berbalik ke arah Amira. Perempuan berhati malaikat itu nampak terluka. "Kenapa Kakak selalu nggak mau ngasih tau kita kalo pelakunya Jembara?"

"Ma, Kakak juga selalu bilang, nggak akan ngerubah apa-apa juga, kan, kalo Kakak kasih tahu? Tapi beruntungnya karena dia yang nyerahin dirinya ke polisi. Beruntung karena Kakak nggak perlu susah payah nyari keadilan. Semua ini bakalan Kakak lupain, kok. Kakak bakalan lupain semuanya dan bakalan bertindak kalo semuanya nggak pernah kejadian."

Kemudian hening. Tidak ada yang membalas perkataan Amira. Sampai kemudian Ardhion
bersuara.

"Kakak tahu? Papa ngerasa sakit karena saat Kakak masih di rumah sakit, Papa sama Jembara sempat ngobrol berdua di luar. Kita ngobrol santai. Seakan-akan nggak ada apa-apa. Seakan-akan Jembara nggak ada hubungannya sama semua rasa sakit Kakak."

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang