5. Cerita Amira

18 6 0
                                    

"Mau ke mana, Kak? Tumben jam segini ke luar kamar."

Suara Januar, yaitu adik bungsunya yang kini berada di bangku sekolah menengah atas tingkat 2 itu menghentikan langkah Amira yang berada di dekat pintu utama. Tubuhnya berbalik dan menemukan Januar tengah berdiri di pijakan tangga terakhir sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Mau ke Jembara, mau pinjem buku sekalian main bentar," tutur Amira. "Kalo Mama Papa pulang dan tanya aku ke mana, sampein, ya," pesannya.

"Oke. Jangan kemaleman, Kak."

Amira mengangguk sebagai balasan. Gadis itu membuka pintu dan segera berjalan menuju rumah Jembara. Malam ini agak sepi dari malam-malam yang biasanya ramai oleh bapak-bapak yang berkeliling komplek untuk ronda malam. Mungkin karena beberapa menit sebelumnya, hujan yang disertai angin baru berhenti. Jadi, kemungkinan orang-orang belum keluar dari rumah masing-masing.

Mengabaikan hal itu, Amira memencet bel rumah Jembara segera setelah tubuhnya sampai di depan pintu rumah pemuda itu. Sebenarnya Amira agak heran karena Amiraang di depan garasi rumah Jembara terdapat empat motor yang setipe dengan motor Jembara; besar dan tinggi. Amira tidak tahu tipe motornya apa, tetapi Amira membencinya karena begitiu tinggi dan membuat penumpang harus menungging dibuatnya.

Beberapa saat setelah Amira memencet bel, pintu terbuka dan menampilkan Mama Wenda yang sudah siap dengan pakaian tidurnya. Wanita yang tidak lagi muda itu nampak melemparkan senyuman hangatnya di malam yang dingin ini.

"Mau ke Jembara, ya? Ke kamarnya aja, gih. Lagi ada temen-temennya."

Amira mengerutkan keningnya saat mendengar hal tersebut dari Mama Wenda. Sebelum naik ke lantai atas, lantai di mana kamar Jembara berada, Amira memutuskan untuk bertanya. "Siapa, Ma? Anak-anak band?"

Mama Wenda menggelengkan kepalanya. "Bukan, deh, kayaknya. Soalnya Mama juga baru ketemu malam ini. Kalo sama anak-anak band, kan, Mama udah kenal banget," jawabnya.

"Oh, gitu. Ya udah, Ma, aku izin ke kamar Jembara, ya."

"Iya, Sayang."

Langkah kaki Amira dibawanya menuju kamar Jembara. Amira dapat mendengar suara-suara tawa dari kamar Jembara, padahal ia baru menginjakkan kaki di pijakan tangga paling atas. Suara tawa itu agak berat dibandingkan teman-temannya di sekolah. Pun Amira tidak mengenali suara itu karena tidak pernah mendengarnya.

Ketukan pada pintu menjadi hal yang Amira lakukan sesampainya di depan pintu kamar Jembara. Amira mengetuknya beberapa kali, sampai kemudian keadaan menjadi hening dan pintu perlahan terbuka. Menampilkan Jembara dan beberapa orang yang tengah duduk berpencar di kamar Jembara.

"Loh, Amira?" Jembara nampak terkejut atas kedatangannya. Pemuda itu buru-buru keluar kamar dan menutup pintunya. "Ke sini, kok, nggak bilang-bilang, sih?"

"Emang harus, ya? Biasanya juga aku langsung dateng, atau nggak kamu yang dateng gitu aja ke rumahku," tanya Amira kembali pada Jembara. Menatap aneh pemuda itu karena tindakannya yang buru-buru menutup pintu kamar.

Jembara tertawa terkekeh-kekeh. "Nggak gitu. Kalo kamu bilang dulu, kan, aku bisa usir mereka dari sini."

"Mereka emang siapa, sih? Mama kamu juga katanya baru liat malam ini."

"Temen-temen gengku. Udah, nggak usah bahas mereka. Kita ngobrol di lantai bawah aja, yuk?"

Kepala Amira menggeleng mendengar ajakan Jembara. Ya, memang, sih, selain untuk meminjam buku, sebetulnya Amira juga ingin menceritakan library-datenya bersama Haridra beberapa hari lalu. Namun, sepertinya Amira akan menceritakannya lain kali saja.

"Nggak, deh. Aku ke sini mau pinjem buku doang, kok. Aku pengen pinjem buku matematika kamu."

"Bohong, kamu kalo mau pinjem buku aja, apalagi malem-malem gini, pasti ngandelin adek kamu atau telepon aku supaya ke rumahmu. Kalo sampe ke rumah gini pasti ada yang mau diomongin, kan?"

Amira lupa jika Jembara akan sangat mudah mengetahui kebohongannya, mengingat pertemanan keduanya sudah berlangsung sejak lama dan sudah mengetahui sifat dan kebiasaan masing-masing. Pun begitu dengan Amira yang biasanya akan menyuruh Januar untuk meminjam buku pada Jembara di malam hari seperti saat ini. Alasannya satu; Amira malas mencuci kakinya lagi setelah dari rumah Jembara.

"Ya, tadinya emang mau ngobrol. Cuman.. besok aja, deh. Aku juga keburu males, mau pulang aja."

"Cerita aja, aku maksa. Yuk, ke bawah."

Tubuh Amira langsung ditarik Jembara menuju lantai bawah kediamannya. Mau tidak mau Amira mengikutinya. Keduanya mendudukkan diri di sofa hangat berwarna cokelat yang langsung menghadap pada televisi besar rumah Jembara. Tubuh keduanya saling berdampingan dengan jarak yang ikut serta di antaranya.

"Jadi, mau cerita apa?" tanya Jembara sambil menatap Amira. "Kayaknya seru, nih."

Anggukan kepala Amira berikan untuk Jembara. Tidak lupa dengan bibirnya yang tersenyum lebar. "Banget! Kamu harus dengerin baik-baik, sih."

Cerita itu Amira mulai dengan adegan Amira dan Haridra terjebak hujan tadi sore. Amira menceritakannya dengan begitu jelas dan detail, bahkan dialognya pun tidak Amira lupakan. Dengan penuh semangat Amira menceritakan bagaimana kegiatan datenya bersama Haridra yang berjalan mulus walau sempat terjebak hujan beberapa saat.

Wajah gadis itu nampak berseri saat menceritakan kegiatan kencannya itu. Sesekali pipi itu juga bersemu kala kejadian-kejadian romantis keluar dari belah bibirnya. Apalagi saat nama Haridra disuarakan. Pipinya memerah bak tomat yang sudah matang. Hal itu membuatnya terlihat makin cantik.

Pemandangan itu dapat Jembara saksikan dari jarak sedekat itu. Dahulu, Jembara akan sangat bebas memandang wajah sahabatna itu. Namun, sekarang berbeda. Terkadang Jembara akan sangat kesulitan untuk mendapatkan kesempatan memandangi wajah sahabatnya itu. Sebab kini yang mendapatkan kesempatan itu adalah Haridra, temannya sekaligus kekasih dari Amira.

Akan banyak orang yang berpikir bahwa hal tersebut merupakan hal sepele. Namun, bagi Jembara, memandang dan menikmati kecantikan Amira Candramaya adalah salah satu pelipur lara terbaik dalam hidupnya. Bagaimana kedua mata yang teduh itu akan menatapnya dengan penuh kelembutan lalu bagaimana bibir itu bersua dan bagaimana kedua pipi itu akan menampilkan sebuah lubang kecil yang mengangumkan.

"And.. he hugged me so tight, Bar.."

Pernyataan itu menyadarkan Jembara. Perasaan terkejut adalah yang paling mendominasi jiwanya. "What?"

"He hugged me so tight, Bar. Kamu nggak dengerin, ya?"

Kepala Jembara menggeleng. Amira menghela napas. "Pasti nggak dengerin, sia-sia aku cerita panjang lebar sama kamu, Bar."

"Nggak gitu, Mira." Jembara membasahi bibirnya lalu menghela napas. "Aku kaget kalo kamu sama Haridra pelukan," tuturnya.

"Oh, gitu. Ya, emang kenapa, sih? Aku sama Haridra, kan, pacaran. Pantes, kan, kalo kita pelukan?"

"Ya, pantes. Aku kaget aja soalnya... soalnya... apa, ya? Mungkin karena ini pertama kalinya aku denger kamu begitu."

Amira tertawa. "Lucu banget, sih. Kamu pelukan juga sana sama Audya. Biar tau rasanya gimana."

Jembara hanya terdiam setelah menggelengkan kepalanya dan terkekeh pelan. "Udah beres ceritanya? Pulang, gih, dah malem soalnya."

Kepala Amira menoleh ke arah jam dinding yang terpajang di atas televisi. Benar rupanya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Berarti hampir satu setengah jam Amira bercerita banyak hal pada Jembara. Dan selama itu, Jembara hanya diam mendengarkan smabil mengagumi paras indah Amira Candramaya.

"Aku pulang kalo gitu. Makasih, ya, udah mau dengerin ceritaku. Besok aku mau bikin kue, nanti aku kasih kamu juga sebagai tanda terima kasih aku."

"Nggak usah, Mira. Aku seneng kamu mau cerita ke aku." Jembara tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengusak surai Amira. "Aku anterin ke rumah, ya."

"Nggak usah, deh. Lagian deket juga. Kamu balik aja sana ke temen-temen kamu."

"Aku nggak nanya kamu mau atau nggak. Itu pernyataan mutlak, Amira. Yuk, aku anter kamu pulang."

Seelahnya, Amira diantar oleh Jembara ke rumahnya yang jaraknya kurang dari 50 meter. 

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang