6. Sepulang Sekolah

18 6 0
                                    

"Pulang sama siapa, Mira?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Jerion yang kini tengah menyimpan kembali gitar kesayangannya pada tempatnya. Di Studio band milik sekolah itu kini hanya ada mereka berdua di dalamnya. Wisnu dan Davino sudah pulang lebih dulu beberapa saat yang lalu. Sedangkan Jembara tengah ke luar sebentar, katanya, sih, ada urusan.

Amira yang tengah memasukkan beberapa barang miliknya ke dalam tas kemudian menjawab, "Nggak tau, Jer. Tapi kayaknya gue mau naik ojek aja, Haridra lagi sibuk soalnya. Jembara nggak tau ke mana."

"Sama gue aja bareng, mau nggak? Rumah kita, kan, searah. Lumayan, hemat ongkos juga. Aman lagi kalo sama gue," tawar Jerion.

Penawaran itu tak langsung dihadiahi persetujuan dari Amira. Gadis itu terdiam sebentar, memikirkan apa yang harus ia ambil sebagai keputusan. Penawaran Jerion memang menggiurkan, selain hemat ongkos, Amira juga akan merasa aman. Namun, Amira juga tidak tega pada Jerion karena ini sudah hampir petang dan jarak rumah Jerion itu jauh.

"Nggak usah, deh, Jer. Rumah lo jauh banget, kalo nganter gue dulu nanti lo pulang telat. Gue nggak pa-pa, kok, naik ojek aja."

"Mira." Jerion menatap Amira. "Kita udah lama bareng-bareng, kenapa lo mesti nggak enak sama gue? Udah, bareng aja. Gue juga nggak tenang kalo lo naik ojek. Apalagi ini udah mau petang. Rawan, Se."

Apa yang dikatakan Jerion memang benar adanya. Amira membenarkan dalam hati. Bahkan jika Amira tidak salah, beberapa hari lalu pernah ada kasus pemerkosaan yang terjadi pada salah satu siswi di sekolah tetangga. Amira tidak tahu pasti siapa pelakunya, yang jelas, pelaku melakukannya pada saat petang, tepat setelah siswi tersebut pulang dari kegiatan ekstrakulikulernya.

Anggukan kepala Amira membuat Jerion tersenyum. "Nah, gitu dong. Yuk, berangkat. Udah beres, kan?"

"Udah. Eh, ini studio di kunci siapa nanti? Kuncinya di Jembara, kan?"

"Sama satpam, Mira. Jembara pasti titip kuncinya ke pak satpam."

Amira mengangguk mengerti. Setelahnya, Jerion dan Amira berjalan beriringan menuju parkiran, tempat di mana sepeda motor Jerion terparkir. Tidak ada percakapan apapun di antara keduanya. Sehingga keheningan yang ada nampak begitu menonjol dibuatnya.

Langkah keduanya sudah sampai di dekat motor Jerion. Tanpa menunggu lama, Amira segera memakai pelindung kepala yang Jerion sodorkan. Pun begitu dengan Jerion. Saat pelindung kepala sudah terpasang apik dan tubuh keduanya berada di atas motor, barulah Jerion memacu kuda besinya untuk membelah jalanan kota Bandung sore itu.

Jerion dan Amira itu cukup dekat, biasanya Jerion akan mencurahkan isi hatinya kepada Amira terkait pemasalahan keluarga atau kisah cintanya. Namun, akhir-akhir ini keduanya tidak begitu dekat seperti waktu keduanya masih berada di kelas sepuluh dan sebelas. Ada jarak tak kasat mata yang tercipta di antara keduanya.

Pemicu besarnya, sih, karena Amira sudah berpacaran dengan Haridra. Pemicu lainnya adalah karena Jerion juga sudah memiliki dambaan hati yang walau pada akhirnya kandas juga karena dambaan hati Jerion memilih pergi atas dasar tembok besar di antara keduanya yang sulit di robohkan.

Bagi Amira, Jerion sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Jerion juga sepertinya menganggap hal yang sama. Amira memang tidak sedekat itu dengan Jerion, tidak sedekat dirinya dengan Jembara, hanya sebatas teman curhat saja. Namun, Amira begitu menyayangi Jerion sebagaimana dirinya juga menyayangi Jembara sebagai teman dan sahabat.

Motor Jerion berhenti di depan rumah Amira. Tanpa menunggu lama, Amira segera turun dari motor Jerion dan melepaskan pelindung kepalanya lalu menyerahkannya pada Jerion.

"Thank you, ya, Jer. Nanti gue traktir lo di kantin sebagai tanda terima kasih gue," ujar Amira.

Jerion menerima pelindung kepala tersebut. Terdengar tawa ringan yang meluncur dari belah bibirnya. "Ya elah, santai aja kali. Nganterin lo nggak bikin bensin gue habis juga, Mira."

"Ya, pokoknya gue tetep mau ngasih tanda terima kasih gue. Kalo nggak traktir kantin, gue bikinin lo bekal, deh, ya."

"Terserah lo aja, deh. Ngikut gue mah."

Keduanya tertawa terkekeh-kekeh setelahnya. Setelah itu, Jerion berpamitan untuk undur diri dari hadapan Amira karena langit sudah makin gelap. Amira mengangguk dan kembali berterima kasih lalu mengucapkan rentetan kalimat agar Jerion berhati-hati di jalanan. Setelah Jerion nampak hilang dari pandangan, Amira segera memasuki rumahnya.

**

Amira baru saja keluar dari kamar mandi dan dikejutkan oleh suara berisik dari telepon genggamnya yang begitu mengusik indra pendengarannya. Segera saja Amira menghampiri meja belajarnya untuk melihat siapa yang membuat telepon genggamnya berbunyi terus-terusan di malam hari seperti saat ini.

Nama Jembara muncul di layar telepon gadis itu. Amira mendengkus pelan. Jempolnya mengusap layar telepon tersebut hingga sebuah suara lain menyapa rungunya.

"Udah pulang? Kok, nggak ngabarin? Aku tadi balik ke sekolah tapi gak ada kamu."

"Ya, kalo aku gak ada di sekolah berarti aku udah pulang, Bara. Emang kenapa, sih, kalo aku nggak ngabarin? Kamu juga ngilang gitu aja."

"Aku khawatir, Amira. Tapi syukur kalo kamu udah pulang. Kamu pulang sama siapa? Haridra atau ojek?"

Amira berjalan menuju tempat tidurnya lalu mendudukkan diri di pinggirannya. "Sama Jerion, tadi, kan, dia sama aku yang terakhir di studio. Haridra lagi sibuk sama organisasinya, makanya nggak bisa nganter aku pulang sore ini."

"Oh, gitu. Ya udah, istirahat gih. Aku tutup, ya."

"Iya. See you, Bara."

"See you, Amira."

Sambungan telepon itu dimatikan oleh Jembara. Amira menyimpan teleponnya lalu merebahkan diri. Sejujurnya, Amira sudah tidak mau lagi diperlakukan seperti itu oleh Jembara. Karena menurutnya, Amiraang ia sudah bersama Haridra. Menurutnya, hanya Haridra yang notabenenya adalah kekasihnya yang bisa memberi perhatian seperti itu. Namun, entahlah. Amira juga tidak tahu cara menghentikannya. Takut membuat Jembara sakit hati.

Lima menit setelah Amira merebahkan diri, suara notifikasi pesan dari ponselnya terdengar. Amira buru-buru membukanya. Senyumannya seketika muncul kala mengetahui bahwa pengirim pesan tersebut adalah Haridra.

Udah sampe rumah?
Mau aku gofoodin apa?
Kamu pasti belum makan, kan?

Tangan Amira segera menari-nari di atas layar ponsel untuk membalas pesan Haridra.

Aku belum makan, tapi mau makan malam bareng sama Mama Papa juga adek, Ridra.
Nggak perlu gofood segala, takut nggak kemakan

Haridra membalas beberapa detik setelah balasan dari Amira terkirim.

Oh, gitu.
Ya udah, eat well, Sayang.
Makan yang banyak, kamu tadi pasti capek banget udah latihan band, kan.
Minum yang banyak juga, ya.
Abis itu istirahat yang cukup, jangan gadang lagi.
I love you.

Amira rasanya ingin terjun saja dari lantai dua rumahnya ini karena Haridra memanggilnya dengan panggilan 'Sayang' dan 'I love you' di pesannya tadi. Bukan hal aneh, tetapi tetap saja Amira merasa seperti pertama kali diperlakukan begitu oleh Haridra. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat dan rasa-rasanya perut Amira dipenuhi kupu-kupu berterbangan. Pipinya menghangat, pastilah kini sudah memerah bak tomat matang.

Kamu juga, ya.
Yang harusnya bilang jangan gadang tuh aku ke kamu.
Jangan gadang buat ngurusin organisasi, ya. Awas aja.
I love you, Ridra.

Ponselnya Amira matikan karena pintu kamarnya sudah diketuk. Seperti itu Papa atau Januar. Segera saja Amira bangkit dan berjalan ke pintu kamar untuk membukanya. Ketika terbuka, Januar muncul dengan wajah masamnya.

"Lagi ngapain, sih, Kak? Kita nunggu Kakak buat makan malem. Aku udah lapar."

Amira menyengir. "Maaf. Yuk, ke bawah."

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang