Jembara kini tengah diobati oleh salah satu teman kelasnya yang kebetulan mendapatkan jadwal berjaga di UKS. Setelah tadi ia dipanggil ke ruang BK dengan Haridra dan mendapatkan hukuman skorsing selama 1 minggu lamanya, di sinilah ia sekarang. Duduk di atas kursi sambil beberapa kali meringis kesakitan sebab perempuan yang tengah mengobatinya Sekarang berulang kali menekan bagian lukanya dengan kapas alkohol.
"Kalo boleh tahu, emang lo ada masalah apaan sama anak SMAN 08 itu sampe dia nyamperin lo ke sini buat sekadar mukul lo sampe babak belur?"
"Sekadar?" Jembara mendengus pelan. "Gue sampe bonyok gini dan hampir pingsan lo bilang sekadar?"
Gadis itu berdecak. Tangannya beralih mengobati luka di bagian tubuh Jembara yang lain setelah wajah pemuda itu sudah ia tempeli beberapa plester. "Ya, terus lo maunya apa? Lagian bukan itu poin pertanyaan gue."
Helaan napas Jembara keluarkan. Pemuda itu menatap Maisa, perempuan yang kini tengah mengobatinya, dengan pandangan bertanya. "Gue jawab nanti, sebelumnya gue mau tanya lo dulu. Menurut lo, ada kemungkinan nggak, sih, orang abis berbuat sesuatu terus dia lupa dan nggak inget kejadiannya barang sedikitpun?"
"Gue nggak tau, sih, Bar.. Tapi kalo minuman, sih, ada yang bisa bikin mabuk berat, kan? Mungkin obat juga ada, tapi gue belum tau sejauh itu, sih...." Maisa menjelaskan. "Emang kenapa, deh?"
Bahu Jembara tampak mengendur. Pandangannya tertuju pada lantai UKS yang terlihat bersih. "Gue sendiri masih nggak yakin, sih, tapi katanya gue udah ngelakuin kekerasan seksual ke Amira, Sa," tutur Jembara.
Jawaban itu sukses membuat rahang Maisa terjatuh. Gadis itu tak menyangka dengan apa jawaban yang diberikan Jembara. Ia kira, pertengkaran itu hanya dipicu oleh permasalahan yang biasanya terjadi di antara lelaki. Misalnya, berebut perempuan atau kalah ketika balapan di sirkuit. Nyatanya, lebih buruk dari itu. Apalahi korbannya adalah Amira, siswi dari jurusan Bahasa yang biasa bernyanyi saat ada festival sekolah. Siswi yang Maisa kenal dan tahu karena suaranya yang begitu indah.
"Lo serius? Amira?"
Kepala Jembara mengangguk. "Tapi sumpah, Sa, gue nggak inget sama sekali makanya gue biasa aja. Bahkan sekecil apapun ingetan tentang itu gue nggak berhasil buat nginget, Sa," ujarnya sambil menatap Maisa sungguh-sungguh.
Entah refleks atau apa, tetapi Jembara melihat badan Maisa agak mundur ke belakang. Hal itu membuat Jembara meneguk ludahnya. Apakah jika ia benar-benar seseorang yang telah merudapaksa Amira, para perempuan di luar sana akan takut padanya? Audya juga? Apalagi Amira? Bagaimana jika gadis itu melihatnya?
"Lo takut sama gue, Sa?"
Pertanyaan dari Jembara membuat Maisa terkesiap. "Gue engga takut, Cuma kaget aja.. Kayak engga nyangka aja lo ngelakuin itu, Bar."
"Kalo iya gue rapist, kalo bener gue udah gituin Amira. Menurut lo apa yang bakalan Amira lakuin kalo gue muncul di depan dia?"
"Gue nggak yakin bakalan sama atau nggak, tapi kalo gue jadi Amira, gue nggak akan pernah mau ketemu sama lo lagi, Bar. Gue bakalan ngeliat lo bukan sebagai Jembara yang gue kenal."
Maisa membereskan alat-alat kesehatan yang tadi ia gunakan untuk mengobati Jembara setelah luka terakhir berhasil ia tutupi menggunakan plester. Kemudian gadis itu mengembalikannya ke tempat asal dan mencuci tangannya dengan Jembara yang masih duduk terdiam sambil menatap lurus ke depan.
"Saran gue, lo jangan dulu ketemu Amira. Gue yakin, lo pasti masih nyangkal, kan? Kita nggak tahu kondisi dia gimana, Jembara. Saudara gue pernah ada di posisi Amira, dirudapaksa cowok yang dia kenal deket. Dan lo tahu kondisinya gimana?"
Jembara menatap Maisa yang kini berdiri di depannya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Worst, Jembara. Dia ngamuk terus tiap detik. Dia depresi bahkan sampe berani buat bunuh dirinya sendiri. Gue nggak berharap Amira gitu, Jembara. Lo mending cari tahu dulu sama siapapun yang bisa ngasih lo informasi tentang Amira. Setelah lo yakin sama semuanya, mulai temuin Amira pelan-pelan atau kalo perlu, lo bisa lansung serahin diri lo ke polisi."
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...