14. Januar, Si Bodyguard Amira

7 2 0
                                    

[ peringatan! bagian ini terdapat kata-kata kasar, dimohon kebijakannya ]

Mari kembali pada hari kedua setelah kejadian di mana Amira dilecehkan.

Esok hari setelah Amira dilarikan ke rumah sakit, Januar tidak masuk sekolah. Pemuda itu mengurung diri di kamar yang sudah tak berbentuk. Beberapa barang yang biasanya tertata rapi di meja belajar, kini berhamburan di lantai. Selimut serta seprai kasurnya pun tidak karuan. Kursi belajarnya terbalik dan sampah dari tong sampah berserakan begitu saja.

Januar duduk di sudut kamar. Pemuda itu tengah bersedih atas apa yang menimpa kakak perempuan satu-satunya, Amira. Kasih sayang Januar kepada Amira itu melebihi rasa sayang Januar terhadap dirinya sendiri. Sebetulnya, Januar juga bisa dikatan sosok adik yang posesif pada Amira. Ketika SMP, Januar tak takut untuk menghajar teman laki-laki sang kakak yang terang-terangan mendekati hingga menyatakan perasaan. Januar hanya tidak ingin kakaknya berpacaran dengan laki-laki itu karena Januar tahu, laki-laki itu tidak baik.

Ia selalu menjaga Amira dari rasa sakit, tetapi kini ia telah kecolongan.

Bisa dikatakan, Januar dan Jembara merupakan bodyguard Amira yang tidak dibayar. Januar sangat mempercayai Jembara untuk menjaga sang kakak di luar pengawasannya. Karena bagaimanapun, ada saat-saat di mana Januar tidak dapat membersamai sang kakak, dan Jembara merupakan mata ketiganya. Januar begitu tenang jika Amira ada bersama Jembara. Terkait kejadian yang menimpa sang kakak, sebetulnya Januar bingung, di benaknya terdapat pertanyaan, mengapa Amira tidak bersama Jembara malam itu?. Namun pertanyaan itu diusirnya. Bagaimanapun, yang namanya kecelakaan tidak pernah ada di kalender umat manusia, termasuk kalender sang kakak. 

Januar masih lebih mempercayai Jembara dibandingkan Haridra, kekasih Amira. Saat Haridra dan Amira masih dalam masa pendekatan, Januar selalu menatap pemuda yang usianya satu tahun lebih tua darinya itu dengan pandangan sinis. Tiap kali Haridra berkunjung ke rumah, entah untuk sekadar makan malam bersama, menjemput atau pulang bersama Amira, tatapan itu tak pernah luntur dari matanya. Tak jarang, Januar selalu menghadang laki-laki itu dengan tatapan tajam dan pertanyaan-pertanyaan sebelum kakinya menapaki lantai rumahnya.

Ada suatu ketika, Januar pernah duduk dengan Haridra di teras rumah saat Haridra tengah menunggu Amira bersiap. Dengan dingin dan ketus, Januar menginterogasi calon kekasih sang kakak. 

"Lo serius sama Kak Mira?" tanya Januar ketus. Dengan tidak sopannya pemuda itu berbicara tanpa menatap lawan.

Haridra mengangguk yakin. Tatapannya mengarah pada Januar. "Iya. Gue serius sama Amira. Lo khawatir gue cuman main-main sama dia?"

Tidak langsung menjawab, pemuda itu terdiam sebentar. Kemudian kepalanya menoleh dan menatap Haridra. "Iya. Dia satu-satunya Kakak yang gue punya. Gue selalu jaga dia dari rasa sakit, Bang. Gue nggak akan biarin cowok brengsek manapun buat nyakitin dia, termasuk elo. Sekali ada cowok yang nyakitin, sepuluh kali gue pukul wajahnya. Sampe pingsan kalo bisa. Sekiranya lo cuman main-main, mending cari cewek lain. Kakak gue nggak pantes dijadiin tempat main hati."

Haridra mengangguk  takzim. Ia salut dengan pemikiran Januar yang bisa dikatakan sangat dewasa. "Gue bukan salah satu di antara cowok yang bakalan lo pukul sampe pingsan itu kalo gitu."

"Baguslah. Gue nggak akan segan buat bikin lo babak belur kalo Kakak gue bikin lo nangis."

"Kalo nangisnya gara-gara dia bahagia sama gue, lo masih tetep mau mukulin gue?"

Suara Januar yang hendak keluar, tertahan karena Amira muncul dari pintu dengan pakaian yang rapi; celana jeans dipadu dengan basic t-shirt crop top berwarna hitam dan outer yang berupa cardigan. Begitu cantik. Januar tersenyum melihatnya.

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang