Kelopak mata Jembara mengerjap perlahan, menyesuaikan dengan keadaan kamarnya yang sudah tidak lagi gelap seperti semalam. Tubuhnya perlahan bangkit dari posisi terlentangnya menjadi posisi setengah duduk dengan kepala yang bersandar pada kepala ranjang. Nyeri di kepalanya masih terasa, ditambah dengan nyeri di beberapa bagian tubuhnya dan ada sedikit rasa perih pada bagian punggung dan pahanya.
Jembara tidak mengingat apapun yang terjadi semalam. Yang ia ingat hanyalah saat dirinya meminum minuman yang Jendral berikan lalu pergi ke supermarket dan kembali ke rumah untuk membawa ponselnya. Saat mebawa ponsel itu, Jembara kembali meminum minuman yang Jendral berikan dan setelahnya ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.
Dan kini, tubuhnya yang dibalut kaus hitam semalam yang dipakainya serta celana jeans yang didapati bercak-bercak darah di bagian pahanya.
"Lah, darah?" gumam Jembara. "Darah siapa anjir? Gue semalem ngapain?"
Tanpa berpikir panjang, Jembara buru-buru bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Jeans yang kotor oleh darah itu Jembara masukkan ke dalam kantung cucian dan sesegera mungkin dirinya membersihkan diri. Tidak sampai 20 menit, Jembara sudah keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang melilit dari pinggang ke lutut.
"Gue semalem ngapain, sih," gumam Jembara sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Tubuh tinggi itu berjalan ke arah lemari pakaian dengan pikiran yang masih bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkumpul di sana. Tentang apa yang Jendral berikan kepadanya? Mengapa ia tidak berganti pakaian ketika tidur? Mengapa di pahanya terdapat cakaran kuku? Mengapa tubuhnya terasa pegal? Mengapa punggungnya terasa sakit? Dan masih bahyaj pertahyaan lain.
Jembara menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Mungkin luka cakaran itu adalah hadil dari gesekan jeans dan kulitnya. Lagipula ia tidak berganti pakaian saat hendak tertidur. Luka itu seperti cakaran tangan yang memanjang. Jembara yakin itu adalah gesekan antara jeans dan kulitnya mengingat ia tidak percaya hantu (biasanya jika dalam film, luka yang tidak dikethui dari mana asalnya itu seringkali dikaitkan dengan hantu). Atau mungkin semalam dirinya menggaruk paha hingga mencakar dan membuatnya luka.
Setelah siap dengan pakaiannya, Jembara bergegas menyambar tas yang sebeluknya sudah ia isi oleh buku-buku pelajaran hari ini lalu jaket dan pelindung kepala, serta kunci motor yang tidak boleh ia lupakan. Pemuda itu berjalan ke luar kamar untuk sampai di dapur karena ia hendak sarapan pagi.
"Loh, Bi, Mama sama Papa belum pulang?"
Jembara melontarkan pertanyaan itu pada sosok perempuan paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya saat tak menemukan keberadaan orang tuanya. Bi Rani, biasanya Jembara memanggilnya begitu. Bi Rani bukan asisten rumah tangga yang tinggal dan menetap di rumah Jembara karena rumah perempuan itu dekat. Jaraknya hanya 5 menit jika berjalan kaki.
"Belum, Den Jembar. Ibu sama Bapak pulang besok, katanya. Tadi sempet nelepon bibi," jawab perempuan baya itu sambil menghidangkan nasi goreng ke piringnya.
"Oh, gitu. Makasih, ya, Bi."
Nasi goreng buatan Bi Rani itu Jembara lahap hingga tandas. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Jembara menyalami Bi Rani dan berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Jembara membuka garasi dan mengeluarkan motornya lalu menghangatkan motornya itu sekejap. Tak sengaja netranya menatap rumah Sekar yang terlihat sepi. Biasanya jam segini ia akan menemukan Sekar yang dijemput Haridra atau pemandangan Januar yang tengah memanaskan motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...