peringatan! bagian ini berisi adegan kekerasan seksual. dimohon kebijakan pembaca. jangan memaksa diri untuk membaca bagian ini jika dirasa kamu memiliki trauma terkait.
**
"Loh, Jembara?"
Amira menatap Jembara yang kini tengah tersenyum ke arahnya. Seingatnya, tadi di sekolah, Jembara begitu mengindar dari Amira, bahkan untuk sekadar menyapa pun tidak. Namun, malam ini, malam yang harus Amira lalui sendiri karena Mama, Papa, dan adiknya tengah ada urusan di luar, Jembara datang ke rumahnya dengan sekantung makanan dan senyuman khas pemuda itu.
Di luar ekspektasi Amira sekali. Ia kira, yang datang adalah orangtua juga adiknya yang sejak sore tadi sudah pergi ke luar.
"Kok, ke sini? Bukannya masih marah?" tanya Amira dengan penuh kebingungan.
Jembara mengangkat bahunya. Pemuda itu menyerahkan sekantung makanan itu pada Amira yang langsung diterima Amira. "Pengen aja. Emang nggak boleh? Anyways, itu dari Papi. Dia baru pulang kantor dan katanya inget kalo kamu suka banget sama toast Janji Jiwa, makanya dia beliin. Sekalian juga Papi beliin kamu camilan soalnya Papi tau kalo kamu suka ngemil."
Kepala Amira mengangguk-angguk mendengar penuturan Jembara. "Aku kirain dari kamu. Sampein makasih, ya, buat Papi. Nanti aku kirim juga deh bolu kukus kesukaan Papi kalo udah bikin."
Hanya anggukan yang Jembara lakukan sebagai balasan atas pernyataan Amira.
Keduanya hanya diam di depan pintu rumah Amira. Amira berasumsi bahwa Jembara akan langsung kembali ke rumahnya. Namun, pemuda itu masih diam dan menatapnya lekat. Amira risih dibuatnya karena tatapan Jembara membuatnya tidak nyaman. Tatapannya aneh, seperti bukan tatapan Jembara yang biasanya. Hati Amira berkata bahwa ada hal mengganjal di sana.
"Bar? Kok, belum balik ke rumah? Udah malem ini, aku juga mau masuk."
Kali ini, Jembara hanya terkekeh membuat Amira makin tidak nyaman. Entahlah, Amira merasa ada yang tidak beres dengan Jembara malam ini. Amira seperti melihat bukan Jembara yang biasanya ia lihat. Bukan hal mistis, bukan ada 'sosok' yang menyerupai Jembara. Amira lebih merasa bahwa Jembara tidak berperilaku seperti Jembara tadi siang.
Dan Amira baru menyadari bahwa ada sekelebat bau asing yang tak sengaja ia hirup saat Jembara terekeh dan berbicara.
Bau seperti ... alkohol? Amira tahu baunya karena ia pernah menciumnya sekali saat tidak sengaja bertabrakan dengan seorang preman yang tengah minum alkohol beberapa bulan ke belakang. Dan Amira masih mengingat dengan jelas bagaimana baunya.
Tidak hanya bau, Jembara juga terlihat berkeringat banyak padahal malam ini lumayan dingin karena hujan lagi-lagi turun sejak sore tadi dan mungkin baru berhenti beberapa menit yang lalu. Keringat yang sama persis Amira lihat dari preman mabuk itu.
Namun, tidak mungkin, kan, Jembara mabuk?
"Bar, kamu sehat, kan? Kamu keringetan banyak gitu, bibir kamu juga kering." Amira sedikit mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jembara lalu memundurkannya lagi. "Mata kamu juga merah, tuh. Kamu oke, kan?"
Jembara yang saat ini tengah Amira lihat benar-benar persis dengan preman mabuk itu. Mata yang agak memerah, bibir kering, bau alkohol tercium dari napasnya, juga keringat yang membasahi tubuh pemuda itu.
Namun, sekali lagi, Amira menyangkal bahwa Jembara mabuk. Ia tahu Jembara. Ia tahu jika pemuda itu tidak akan pernah menyentuh barang haram itu barang sebesar kotoran kuku pun.
"I'm fine, Amira." Suaranya serak, memberat, dan agak parau dibandingkan tadi. "Kata Mama, kamu lagi sendirian, ya? Mama minta aku temenin kamu, sih. Mau aku temenin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...