11. Ketakutan Amira

12 2 0
                                    

Di sudut ruangan dengan lantai dingin itu, Amira meringkuk dengan tubuh gemetar dan pancuran air yang setia membasahi tubuh lemahnya. Air mata sudah tidak lagi keluar dari matanya. Kini menyisakan tatapan mata hampa nan kosong lalu luka-luka membiru di sekujur tubuh yang membuat lelehan air dari tubuhnya berwarna merah.

Entah sudah berapa lama Amira meringkuk di sini. Amira tidak menghitungnya. Yang jelas, sejak Jembara selesai dengan kegiatan bengisnya, pemuda itu membawa Amira ke sini, menyalakan shower lalu pergi meninggalkannya dengan pintu kamar mandi yang dikunci dari luar.

Dapat Amir dengar suara pintu kamar mandi yang diketuk oleh seseorang. Amira tidak tahu siapa pelakunya, tetapi yang pasti, ia merasa takut. Takut jika itu adalah Jembara. Takut jika Jembara akan mengulang kejadian tadi.

Membayangkannya membuat tubuhnya makin gemetar. Tangannya memukul kepalanya sendiri, seolah-olah mengusir bayangan kejadian mengerikan itu dari dalam pikirannya. Kelopak matanya menutup erat, mencoba menghilangkan bayangan wajah Jembara yang acap kali datang menghantui pikirannya.

Menghantui pikirannya.

Makin lama, bayangan wajah Jembara saat menghancurkannya tadi makin terbayang jelas. Bagaimana Jembara yang tersenyum puas setelah menghancurkannya membuat Amira histeris. Ia menjerit, berteriak, dan memukul kepalanya sendiri. Amira melakukan itu seolah-olah mampu mengusir bayangan mengerikan itu. Seolah-olah mampu membuat rasa takutnya sirna.

Namun, apa yang Amira dapat? Bayangan itu kian jelas menghantui pikirannya. Amira menangis kencang. Tubuhnya meringkuk bak janin yang masih dalam kandungan. Kini, tak hanya kepala yang ia beri tinjuan, tetapi wajah dan tubuhnya juga ikut menjadi sasaran empuk bagi Amira melayangkan tinjuannya.

Tubuh yang terluka itu makin terluka sebab pukulan keras yang Amira berikan pada tubuhnya. Mungkin suara pukulannya dapat mengalahkan suara ketukan pintu yang makin jelas terdengar jelas itu. Pukulannya kian brutal, seiring dengan pukulan pada pintu yang juga terdengar cepat.

"Kak! Kamu ada di dalem? Kamu kenapa?! Ma! Pa! Sini ke kamar Kakak!"

Amira yang tadinya menutup mata, kini mulai membuka mata kala suara sang adik terdengar. Pukulannya juga sudah ia hentikan. Apalagi setelah suara orangtuanya juga ikut menyapa indra pendengarannya. Amira merasa sedikit aman dan tenang. Rasa takutnya perlahan sirna. Tubuh Amira secara perlahan bangun terduduk lalu membawa tubuh penuh luka itu ke pintu dengan terseok.

"Ma.. Pa.. Adek...."

Tubuhnya begitu lemah dan parau. Ia sendiri tidak tahu apakah suaranya itu dapat didengar oleh ketiganya atau tidak. 

"Kakak?! Kakak ada di dalem? Kakak jawab Papa, Nak. Kamu ada di dalem?!"

Kepala Amira mengangguk. Air matanya berjatuhan. Baginya, rasanya begitu menenangkan kala suara Papa terdengar jelas di telinganya. Rasa-rasanya ada perlindungan yang Tuhan berikan untuknya.

"Iya, Pa.. Kakak di dalem...," ujar Amira dengan suara putus-putus. Suaranya agak mengeras, tidak sepelan tadi.

"Kakak bisa buka pintunya, Nak? Kakak kenapa? Mama, Papa sama Adek khawatir...."

Itu suara sang Mama. Suaranya nampak bergetar, seperti menahan tangisan. Amira menggeleng lemah. "Pintunya di kunci dari luar, Ma.. Kakak nggak bisa buka.."

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang