3. Hadiah

22 9 1
                                    

"Hei,"

Amira menoleh ke sumber suara. Dilihatnya sang kekasih yang tengah berjalan ke arahnya dengan motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat Amira berdiri. Ditangan Haridra terdapat pelindung kepala yang biasa dikenakan pemuda itu.

Haridra Kalingga nama lengkapnya. Pemuda yang kini tengah berjalan ke atah Amira itu merupakan kekasih Amira sejak keduanya duduk di kelas tingkat tengah SMA. Keduanya bertemu di salah satu tempat bimbingan belajar ketika keduanya sama-sama duduk di bangku kelas tingkat bawah SMA. Butuh waktu satu tahun untuk keduanya dekat hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.

"Hei," balas Amira. Wajahnya nampak tidak enak sata menatap wajah Haridra yang begitu berseri. Segera saja Amira menangkap telapak tangan Haridra yang bebas dan menggenggamnya.

"Ridra, maaf, tapi sekarang aku harus latihan band dulu. Jembara yang minta. Nggak pa-pa, kah, kalo kencan kita ahri ini batal?"

Senyuman Haridra timbul, hal tersebut membuat Amira sedikit lega. "Kenapa harus minta maaf? Kita bisa library-date besok, kan?"

"Aku nggak enak sama kamu. Kamu udah luangin waktu buatku, tapi malah batal. Aku juga kelupaan mau ngabarin kamu lewat Line."

"That's fine, Amira. Anyways, kemarin aku sempet bikinkan kamu sesuatu. Bentar, ya."

Haridra berjalan kembali ke motornya lalu mengambil sebuah totebag kertas berwarna cokelat. Amira tidak tahu isinya apa, tetapi belum melihat isinya saja Amira sudah tersenyum-senyum sendiri. Susah sekali menahan kebahagiaan ini.

"Apa, tuh?" tanya Amira saat Haridra sudah kembali ke hadapan Amira.

Bibir Haridra lagi-lagi membentuk sebuah kurva yang membuatnya makin tampan. Totebag itu diserahkan pada Amira.

"Aku beliin kamu ear monitor buat kamu manggung nanti pas lomba. Aku nggak tau kamu suka dengan desainnya atau engga, tapi aku desain ini custom. Aku harap kamu suka," tuturnya. Nada suaranya nampak malu-malu sekaligus terdengar antusias.

Buru-buru Amira mengeceknya dan benar saja di dalam totebag itu ada sebuah kotak kayu dengan pahatan kupu-kupu di atasnya. Segera saja Amira mengambil kotak itu, membukanya dan seketika gadis itu terkesima dan terhari atas apa yang ia lihat.

"This is so pretty, Ridra." Amira menatap Haridra dengan bola mata yang berbinar sekaligus terharu. "Thank you so much."

Ear monitor tersebut berwarna bening dengan glitter-glitter cantik dan kupu-kupu biru hitam di tengahnya. Jangan lupakan nama Amira terlukis indah berada di bawah kupu-kupu cantik itu. Amira sangat menyukainya, terlebih yang memberikannya adalah Haridra.

"My pleasure, pretty. Jangan lupa dipake, ya, nanti. Aku bakalan seneng banget," pesan Haridra.

"Of course, i wil! Kamu juga nanti jangan lupa dateng, ya. Aku bakalan tambah semangat kalo kamu dateng."

"Pasti. Kamu nggak usah khawatir tentang itu."

Amira kembali memasukkan hadiah dari Haridra tersebut ke dalam totebagnya. Gadis itu menatap Haridra lagi hingga keduanya bertatapan. "Terus kamu mau pulang aja sekarang?"

Haridra menggeleng. "Nggak, aku mau balik ke sekolah lagi aja. Ada beberapa hal yang harus aku urus sebelum serah terima jabatan minggu depan."

"Oh, ya udah. Hati-hati, ya. Besok aku janji kita bakalan library-date bareng."

Tawa Haridra mengudara. Kepala Amira diberikan afeksi berupa elusan dan tuhuhnya yang diberikan pelukan hangat walau beberapa detik.

"Oke. Kamu juga hati-hati. Kalo ada apa-apa hubungi aku, ya."

"Siap. Kamu juga sama, ya."

Hal terakhir yang Haridra lakukan adalah mengangguk dan melambaikan tangannya pada Amira. Setelahnya pemuda itu melajukan kereta besinya membelah jalanan kota Bandung untuk kembali ke sekolahnya.

**

"Widih, ada yang dapet hadiah, nih."

Godaan itu disahuti oleh siulan-siulan teman-teman bandnya. Yang menggoda tadi adalah Wisnu, si drummer. Sedangkan yang menyahuti dengan siulan adalah Davino si pianist dan Jerion si guitarist kedua.

"Iya, dong. Aku dapet hadiah, nih, dari pacar. Kalian berdua udah ngasih apa ke pacar masing-masing?"

Mendengarnya, keempat orang itu sama-sama tertawa. Menertawakan apa yang telah mereka ungkapkan dan sekaligus menertawakan status mereka yang jomlo (kecuali Amira). Dari kelima anggota band, hanya Amira yang kisah cintanya berjalan mulus. Sisanya? Ada yang diselingkuhi, yang tidak cocok, yang paling menyedihkan adalah berbeda keyakinan. Itu Jerion, sih.

"Perasaan, Haridra sering banget ngasih lo hadiah, Mira," tutur Jerion. Mengungkapkan isi hatinya yang selama ini selalu melihat Amira diberikan banyak hadiah oleh kekasihnya itu.

Amira mengangkat bahunya. Ia sendiri juga heran mengapa kekasihnya itu sering memberikan hadiah untuknya."Iya. Sampe-sampe barang dari Haridra sekarang udah lebih banyak daripada barang-barang yang aku beli sendiri."

"Bagus, lah, hemat duit." Wisnu menimpali.

"Iya, lumayan. Hemat duit. Beruntung juga lo bisa pacaran sama Haridra." Davino ikut menambahkan.

Amira hanya tersenyum. Namun, senyumannya perlahan luntur kala menyadari bahwa presensi Jembara tidak ada di ruangan itu. "Eh, Jembara mana?"

"Tadi lagi telefonan sama gebetannya, katanya cuman bentar. Tapi ini udah 30 menit dan dia belum balik juga," jawab Jerion.

Seketika senyuman Amira kembali hadir. Tidak masalah jika Audya penyebab Jembara belum kembali ke ruangan ini. Amira senang mendengarnya. Itu artinya ada kemajuan dalam hubungan keduanya. Saking senangnya, senyuman Amira begitu lebar hingga mengundang kerutan di dahi tiga lelaki yang ada di sana.

"Lo oke, kan, Mira?" tanya Wisnu keheranan karena Amira tersenyum begitu lebar. Ia takut, jika vokalisnya itu kerasukan arwah penunggu sekolah.

"Serem amat senyum lo. Kenapa, sih?" Jerion ikut bertanya. Sedangkan Davino hanya menatap Amira dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Masih dengan senyumannya, Amira mengangguk antusias. "Aku oke, kok. Cuma seneng aja soalnya hubungan Jembara sama Audya ada kemajuan."

"Maksudnya?"

Amira mendudukkan diri pada kursi sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Davino. "Ya, hubungan mereka, kan, lagi stuck kemarin-kemarin. Mereka berdua jarang kontakan gitu, lah. Ya, emang masih pendekatan, sih, cuman kasian juga ke Audya. Makanya aku saranin dia buat ngelakuin sesuatu di masa get to know each other alias pedekate-nya mereka."

Ketiganya mengangguk setelah mendengar penuturan lengkap dari Amira. Walaupun mereka selalu bersama, tetapi untuk masalah hubungan asmara dan keluarga, Jembara bukan tipikal orang yang akan berbicara blak-blakan. Pengecualian untuk Amira, sih. Jembara tidak pernah absen bercerita kepada perempuan itu. Jika diibaratkan, Amira adalah sebuah mangkuk besar dengan curahan isi hati Jembara sebagai pengisinya.

Tidak lama, pintu ruangan terbuka, menampilkan Jembara yang kembali dengan raut wajah agak cerah. Pemuda itu juga nampak rileks. Sepertinya kegiatan tukar suara dengan Audya melalu ponselnya itu membawa dampak positif. Amira makin senang melihatnya.

"Cie, ada yang udah charge semangatnya, nih," goda Amira.

Senyuman di wajah Jembara itu nampak susah payah disembunyikan oleh sang tuan. Ya, walau gagal karena Amira dan yang lain dapat melihat senyuman itu. Ketiganya terkekeh geli melihat Jembara seperti ini.

"Apa, sih. Mana ada charge semangat," pungkas Jembara.

"Ada, kamu buktinya. Seneng, ya, bisa ngobrol bareng Audya lagi?"

Jembara menatap lekat Amira tanpa jawaban atas pertanyaan gadis itu. Namun, beberapa detik setelahnya mengangguk malu.

"Banget. Kangen suara dia."

Jawaban lugas Jembara dihadiahi tawa keempat kawan bandnya yang mengudara di langit-langit ruangan. Pun begitu dengan Amira. Gadis itu nampak puas tertawa sampai tidak menyadari bahwa tatapan Jembara begitu lekat padanya. 

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang