Rumah sakit menjadi tempat yang Amira tinggali selama beberapa hari terakhir sejak kejadian itu terjadi. Belum ada perubahan signifikan yang dirasakan, baik oleh Haira, Ardhion, Haridra, Januar, bahkan Amira sendiri. Keadaan masih begitu menyakitkan dan menyedihkan. Tak terhitung berapa kali Amira menangis kencang sambil berteriak dan memukul kepala atau tubuhnya sendiri.
Tidak hanya itu, beberapa kali juga Amira kedapatan hendak menorehkan luka pada pergelangan tangannya. Namun, untungnya sebelum Amira benar-benar menorehkan luka pada kulit lengannya, pecahan gelas yang Amira gunakan sebagai senjata tajam selalu dihempaskan terlebih dahulu oleh siapapun yang memergoki Amira pada saat itu. Menjauhkan benda apapun yang sekiranya dapat Sekar gunakan untuk membuatnya terluka.
Hari demi hari berlalu. Terhitung sudah hampir empat minggu Amira berada di ruangan serba putih ini. Sedikit demi sedikit perubahan sudah dirasakan oleh orang-orang di sekitar Amira, termasuk dirinya sendiri. Amira masih menangis kencang, kadangkala disertai dengan teriakan kencang. Namun, kini tubuhnya sudah bisa mengendalikan diri untuk tidak memberikan pukulan pada kepala atau bagian tubuhnya yang lain.
Selain itu, Amira sudah berani untuk beranjak dari kamar walau sebatas taman yang menjadi tujuan. Banyak yang menemani Amira untuk sekadar berdiam diri di taman, menikmati angin sepoi-sepoi juga pemandangan langit biru yang memanjakan mata. Yang paling sering adalah Haridra. Pemuda yang masih berstatus sebagai kekasih Amira itu seringkali mendatangi Amira sepulang sekolah, menemaninya ke taman, membacakan novel untuknya, bahkan bermain gelembung balon yang Haridra tiup ke udara.
Layaknya saat ini. Senyuman gadis itu terukir indah pada wajahnya yang sudah hampir mulus karena lebam dan lukanya sudah hampir sembuh dan bekasnya sedikit pudar. Intinya tidak separah dahulu. Terukirnya senyuman Amira diakibatkan oleh gelembung-gelembung balon yang bergerak makin ke atas saat angin mendorongnya. Amira menyentuh gelembung balon lain yang baru saja Haridra tiup sehingga pecah begitu saja.
"Tiup lagi gelembungnya, Ridra! Aku masih pengen pecahin," titah Amira kepada sang kekasih.
"I'm sorry, Princess, sabunnya udah abis. Besok aku beli lagi terus kita tiup lagi, oke?"
Surai Amira dielus dengan lembut oleh Haridra. Tatapan pemuda itu menatap Amira dengan penuh puja. Hati pemuda itu bermonolog, bagaimana bisa dengan luka sebanyak itu, sang kekasih tetap menawan ketika menyunggingkan senyuman?
Amira mendesah kecewa. "Janji bakalan beliin lagi sabunnya?" tanyanya memastikan. Jari kelingkingnya disodorkan ke hadapan Haridra.
Haridra tersenyum, jari kelingkingnya dikaitkan pada jari kelingking Amira. "Janji."
Kemudian Amira menyandarkan kepalanya pada bahu Haridra. Secara otomatis, Haridra melingkarkan tangannya pada bahu Amira. Keduanya menikmati pemandangan anak-anak yang menderita kanker tengah bermain bola sepak di seberang sana. Biasanya anak-anak itu akan bermain di sekitar Amira dan Haridra duduk, tetapi karena lapangan khusus untuk mereka telah selesai dibuat, akhirnya mereka pindah dan tak lagi bermain di sekitar Amira.
"Kalo aku bisa minta ke Tuhan, aku pengen banget balik lagi ke masa lalu. Ke masa aku masih kecil, Januar juga masih kecil. Aku pengen ngulang semuanya dari awal lagi," celetuk Amira.
Kepala Haridra menoleh, menatap Amira yang masih meluruskan pandangannya. "Kenapa? Apa alasannya?"
"Aku nggak mau kenal Jembara." Amira meremas ujung baju rumah sakitnya. "I hate him. So much. He hurt me that much. He hurt both my phsically and mentally. I hate him, Ridra."
Haridra terdiam. Dadanya terasa begitu sesak seperti diremas dengan kuat oleh pernyataan itu. Ia belum mampu melakukan apapun kepada Jembara selama satu bulan ini. Tiap kali dirinya hendak menemui pemuda itu, kegagalan pasti menjadi hal yang Haridra dapatkan. Lebih parah, rekaman yang seharusnya dapat Haridra jadikan sebagai bukti lenyap begitu saja dari surelnya. Salah Haridra juga karena tak sempat menyimpannya ke komputer miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...