27. Perihal Menyerahkan Diri

7 0 0
                                    

Saat Amira membuka pintu, dirinya dikejutkan dengan Wenda yang langsung menghamburkan diri untuk memeluknya. Perempuan itu menangis terisak. Amira sendiri bergeming, hingga kemudian tangannya bergerak terangkat agak ragu dan memeluk tubuh Wenda yang bergetar sebab tangisannya.

"A-Amira, Mama mau minta maaf atas nama Jembara.."

Tangisannya kian menguat, membuat Haira, Ardhion, Haridra, dan Januar menyusul ke pintu utama. Amira masih diam, membiarkan Wenda menangis dalam pelukannya. Kemudian ia melihat sorot mata Chandra yang menatap lurus ke arah belakang Amira—yang Amira yakini menatap Ardhion—dengan penuh rasa bersalah dan sedih.

"Ar, gue minta maaf soal Jembara," ujar Chandra penuh ketulusan dan dengan suara yang parau. Nampaknya pria itu habis menangis sebab suaranya agak serak, netranya pun agak memerah dan agak sembab.

"Jangan ke gue, Dra. Ke anak gue, Amira. Dia yang jadi korban anak lo," pungkas Ardhion dengan datar.

Chandra beralih menatap Amira. Sorot matanya yang biasa tajam itu, kini terlihat sayu dan menyorotkan rasa bersalah yabg mendalam dan kerapuhan. "Amira, Papa Chandra mau minta maaf atas nama Jembara. Papa Chandra tahu kalo kata maaf aja nggak cukup buat kamu, buat ngobatin rasa sakit kamu, tapi Papa tetep bakalan minta maaf atas nama Jembara, atas nama Papa juga. Papa tahu, Papa bukan orangtua yang baik buat Jembara, sehingga dia bisa nyakitin kamu."

Wenda melepaskan pelukannya. Kepalanya mengangguk. "Mama Wenda juga, Mama juga mau minta maaf soal Jembara. I know, what Jembara did to you is a huge mistake, tapi sama kayak Papa Chan, Mama tetep bakalan minta maaf atas nama Jembara. Perihal kamu mau maafin atau engga, kami nggak akan permasalahin itu. If you wanna hate me, or Papa Chandra, or you wanna hate Jembara, or you wanna hate three of us, just go ahead."

"Kamu nggak perlu khawatir, Jembara sekarang udah masuk penjara dan dia bakalan di dakwa beberapa hari lagi. If you wanna come to the court later, then come. Supaya kamu juga bisa tahu kalo Jembara bener-bener dipenjara, bukan sekadar kami biarkan kabur," tambah Chandra.

Haira membuka suara. "Siapa yang laporin Jembara ke polisi, Wen?" tanyanya.

Wenda tersenyum getir. "Dia sendiri yang nyerahin dirinya. Waktu itu, Jembara pulang malem jam 9-nan. Dia nggak ngomong apapun sama kita. Paginya, dia izin ke sekolah. Seperti biasa. Ternyata dia nggak ke sekolah. Dia ke kantor polisi san nyerahin dirinya sendiri. But, yeah, the police didn't trust him. Jembara dipulangkan malah. And at 7 p.m, he talked to us and told us everything about him and Amira. Chandra marah besar, tentu aja. Aku juga marah besar. Kami berdua bener-bener nggak ngerti kenapa bisa gitu. Besoknya Jembara izin pamit buat ke luar lagi, entah buat apa. Selama beberapa hari dia selalu pulang larut dan enggak pergi ke sekolah. Pas dia kembali, ternyata dia udah sama polisi lagi dan the police told us if Jembara will go to the jail."

"Tante, maaf, kenapa bisa polisinya jadi percaya Jembara padahal sebelumnya they don't believe him?" Haridra angkat suara. Menyuarakan apa yang mengganjal di tenggorokannya.

"Jembara punya barang bukti. Rekaman cctv. Entah darimana, padahal sebelumnya dia nggak punya." Chandra menjawab pertanyaan Haridra.

Amira yang sejak tadi hanya diam, sibu mencerna segala ujaran-ujaran yang dikeluarkan oleh alat ucap orang-orang yang ada di sekitarnya tiba-tiba bersuara.

"Mama Wenda sama Papa Chandra, aku udah maafin Jembara, kok. Aku juga bakalan bertindak kalo semua ini nggak pernah kejadian. Aku bakalan lupain semuanya. Kalo Mama sama Papa nanti ketemu Jembara, tolong sampein kalo aku udah maafin dia. Aku udah baik-baik aja sekarang."

Amira membawa tangan Wenda ke perutnya. "Dan di perut aku, ada cucu Mama Wenda. Kalo nanti anak ini lahir, Mama Wenda sama Papa Chandra boleh dateng buat jenguk. Dia pasti seneng karena kakek dan nenek dari ayahnya ada," ujar Amira yang mengundang keterkejutan dari semua orang yang di sana.

"There's a baby, Mira?" tanya Wenda memastikan.

Kepala Amira mengangguk. "Iya, Ma."

"But even i forgive him, i forgive Mama Wenda and Papa Chandra, still, i don't wanna hear anything about him anymore. So please, don't comeback and talk about him. Ever."

**

"Ma, tadi Kakak keterlaluan nggak, ya, udah kayak gitu ke Mama Wenda sama Papa Chandra?"

Haira terkekeh sambil memeluk putrinya dari belakang. Tangannya mengusap perut Amira yang mana di atas tangannya itu ada tangan Amira.

"After all happened, kamu masih mikirin itu, Kak? Mama heran sama kamu, Kak."

"Ya, Kakak nggak ngerasa enak aja, Ma. Yang salah, kan, Jembara. Tapi, kok, tadi kesannya Kakak kayak kasar banget, ya? Padahal, Kakak cuman gak mau ngeliat wajah Mama Wenda sama Papa Chandra, soalnya ngingetin aku ke Jembara. Terus aku juga nggak mau dengerin apapun tentang Jembara lagi, even the smallest thing about him."

Haira mengecup pelipis Amira sebelum menyuarakan jawabannya. "Nggak kasar, kok. Mama Wenda sama Papa Chandra juga pasti ngerti. You know, they're a good people. Mereka pasti ngerti apa yang kamu rasain sekarang. Mereka juga ngerti, kok, kenapa Kakak kayak gitu."

Kemudian hening. Keduanya asyik terdiam di keheningan malam yang belum begitu larut. Bahkan suara Ardhion, Januar, dan Haridra yang tengah melanjutkan acara bermain PSnya itu terdengar samar-samar ke dalam kamarnya yang berada di lantai 2. Padahal, ruang yang digunakan untuk bermain itu ada di lantai satu.

"Menurut Mama," celetuk Amira, "Jembara bakalan dipenjara berapa tahun, ya? 10? 12? 20 tahun?"

Di belakang sana, Haira menggelengkan kepalanya. "Entahlah, Kak. Mama nggak ngerti soal hukum kayak gitu. Tapi biasanya kalo Mama lihat di berita, pelaku pemerkosaan biasanya dipenjara belasan tahun."

"Kalo misal cuman 10 tahun, nanti pas Jembara keluar, anak Kakak juga usianya 10 tahun, ya, Ma? Belum terlalu besar buat ngerti kenapa dia nggak punya ayah. Kasihan, ya, Ma, anak Kakak," lirih Amira.

Pernyataan itu tak dapat Haira balas. Ia hanya mampu mengeratkan pelukannya pada sang putri. Memang kondisi saat ini merupakan kondisi berat untuknya, apalagi untuk Amira. Ia juga tak mampu melakukan banyak hal. Rasa sakit di hatinya kembali menguar, seraya dengan rasa sedih dan bersalah ikut menyerbu reling hati.

Bahkan Haira juga tahu bahwa saat ini Amira tengah mati-matian menahan rasa takutnya untuk tidur kembali di tempat di mana Amira diperlakukan buruk oleh Jembara. Bahkan tadi sebelum keduanya masuk ke kamar ini, Amira nampak gelisah dan tidak tenang saat menungguinya untuk berganti pakaian di kamarnya. Namun, karena Amira juga rindu dengan ruangan ini, tetapi sekaligus takut, jadilah putri sulungnya itu memaksakan diri.

Haira tidak heran karena kini Amira tengah berbicara melantur. Bahkan sampai membucarakan Jembara dan bayinya. Haira tauu, itu pasti jalan yang Sear ambil untuk menghilangkan rasa takutnya.

"Kak, kita tidur aja, yuk? Udah hampir larut juga kayaknya. Besok Kakak, kan, mau ketemu sama psikolog buat terapi. Kakak nggak lupa, kan?"

Ajakan itu tak digubris Amira. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Nggak mau, Ma. Kakak takut kalo Kakak tidur, nanti kejadian yang pernah terjadi di kamar ini keulang lagi."

"Tapi kalo Kakak nggak tidur, kondisi kesehatan Kakak bakalan nurun lagi dan kemungkinan buruknya Kakak harus ke rumah sakit lagi. Kakak mau?"

"Kalo kejadian lagi gimana, Ma? Gimana kalo ternyata Jembara nggak bener-bener masuk penjara? Gimana kalo ternyata dia sembunyi dan pas Kakak tidur dia muncul lagi buat nyakitin Kakak kayak waktu itu."

Kepala Haira menggeleng keras. Air matanya luruh sebab Amira sudah benar-benar melantur dan terlihat tak sadar mengucapkan hal itu. Ketakutannya makin jelas terlihat. "Mama di sini, Kak. Nggak akan ada yang bisa nyakitin Kakak. Papa, Haridra, sama Januar juga ada di sini buat jaga Kakak. Kita semua bakalan jaga Kakak."

Setelah itu, suara Amira tak terdengar lagi. Haira juga terdiam. Hingga lama kelamaan suara dengkuran halus terdengar sayup-sayup di telinga Haira yang masih terjaga.

Mendengarnya Haira merasa lega. Kepalanya melongok dan tersenyum saat melihat wajah damai Amira yang tengah tertidur. Dikecupnya pipi yang menirus itu, juga pelipisnya. Kemudian ia kembali merebahkan kepalanya dan memeluk Amira erat untuk menyusul putrinya ke alam mimpi. 

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang