21. Kilas Balik

12 0 0
                                    

Kembali pada satu bulan sebelum kejadian mengerikan yang dialami oleh Amira.

Setelah ia mengantarkan Amira pulang ke rumahnya, suasana hati Jembara berubah drastis. Ia merasakan amarah yang bergelora dalam hatinya. Karena suasana hatinya buruk, maka wajah yang biasanya terlihat tampan dan enak untuk dilihat itu kini nampak murung dan tertekuk.

"Asem banget wajah lo."

Jembara tidak mengubris ejekan yang dilontarkan oleh Jendral. Saat ini, Jembara tengah mati-matian menahan emosinya agar tidak meledak begitu saja. Entahlah, emosinya saat ini terasa sedang berada dipuncaknya. Layaknya gunung berapi aktif; dapat memuntahkan laharnya kapan saja.

"Kenapa, sih?" Mahesa bertanya dengan sedikit kesal, mungkin karena Jembara sama sekali tidak membuka suaranya. "Kalo ada apa-apa, tuh, cerita."

"Gue kesel, Bang," ungkap Jembara. Pemuda itu nampak frustasi hingga mengusap wajahnya kasar. "Gue frustasi, gue cemburu, Bang. Gue cemburu karena Amira sama Haridra udah pelukan."

"Bukannya lo udah sering meluk, Amira?"

Jembara mendudukkan dirinya sembarang. "Iya, tapi.."

Suara Jembara terdengar menggantung, Jendral dapat menyimpulkan konklusinya. "Dan lo maunya kalo Amira itu pelukannya sama lo doang. Gue bener?"

"Katanya lo suka Audya, lo gimana, sih? Kok, Amira pelukan sama Haridra lo panas? Jangan plin-plan jadi cowok, Bar. Wajar Amira pelukan sama pacarnya." Yudha menatap Jembara serius. "Lo kalo emang suka Amira, ya, tunggu sampe dia putus sama Haridra. Kalo lo mau yang ekstrim, ya rebut aja sekalian. Nggak usah nanggung. Tapi kalo lo maunya sama Audya ya perjuangin dan lupain Amira. Belajar buat memperlakukan dan memposisikan Amira sebagai sebatas sahabat. Jangan mainin hati orang lain."

"Gue nggak tau.. gue suka Audya, tapi gue juga ngerasa enggak rela Amira sama cowok lain... Gue maunya Amira sama gue. Gue nggak ngerti sama perasaan gue, Bang..." Jembara menyuarakan isi hatinya dengan lirih. Pemuda itu benar-benar bingung dengan perasaannya.

"Lo nggak suka Audya." Kevin menyahuti. Pemuda itu mematikan rokoknya dan menatap pada Jembara. "Lo cuman jadiin dia pelarian aja. Lo cuman jadiin dia objek buat lo lupain Amira."

"Nggak. Gue---"

"Bener kata Kevin. Kalo lo emang suka sama Audya, lo bakalan lakuin apapun buat bikin hati lo hapus nama Amira di sana. Lo bakalan berusaha buat try to fall in love with Audya. Tapi gue nggak liat effort lo, Bar. Lo tadi bacot kalo lo ngajak Audya jalan, berusaha buat pendekatan. That's bullshit. Lo cuman pengen keliatan ada pergerakan fisik aja, tapi hati? Nol persen."

Jembara yang mendengarkan itu hanya diam. Diam dan membenarkan dalam hati. Mengajak Audya untuk menonton di bioskop adalah hal yang Amira perintahkan. Ia melakuka itu karena Amira memintanya untuk melakukannya. Di sisi lain, ia melakukan itu juga karena ia ingin terlihat hubungannya dengan Audya ada pergerakan, tidak statis.

Jembara hanya ingin terlihat mematuhi perintah Amira saja. Tidak lebih.

Jika Jembara sadar, tidak pernah sekalipun jantung Jembara berdetak keras ketika bersama Audya. Jantungnya akan berdetak dua kali lipat lebih cepat saat bersama Amira. Jembara tidak merasakan adanya getaran aneh pada hatinya saat Audya memegang tangannya atau memeluk tubuhnya di atas motor. Tidak. Jembara tidak merasakan itu.

Tidak sama seperti saat Amira yang melakukannya dahulu. Dahul sebelum Amira bersama Haridra.

"Bayangin kalo Audya tahu hal ini, Bar. Lo bayangin sesakit apa pas dia tahu kalo dia cuman lo jadiin objek move on aja."

Erangan frustasi terdengar dari mulut Jembara. "Terus gue harus gimana, Bang?!"

Marvin yang sejak tadi diam, kini mulai membuka suara. "Saran gue, lo coba dialog sama diri lo sendiri. Siapa yang sebenernya lo pengenin dan lo pengen perjuangin mati-matian. Jangan sampe mainin perasaan orang, Bar."

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang