25. Berani untuk Kembali

9 0 0
                                    

"Ma, aku pengen pulang."

Pernyataan yang keluar dari belah bibir Amira menghentikan pergerakan Haira yang tengah memotong buah-buahan. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan yang kentara. Namun, beberapa detik kemudian Haira mengontrol kembali rautnya dan menampilkan seulas senyum pada Sekar yang kini tengah berdiri di dekat jendela.

"Kakak udah yakin mau pulang?" tanya Haira memastikan.

Kepala Amira mengangguk. Nampak tidak ada keraguan di sana. "Yakin, Ma. Kakak bosen sembunyi di sini terus. Kakak harus mulai berani supaya cepet sembuh. Kata orang, we have to face our fears just to make it leaving us. Dan aku mau realisasiin itu di hidup aku, Ma."

Haira mendekat ke arah Amira. Menatap wajah putri sulungnya sekilas lalu menatap dunia luar yang kini terlihat ramai. "Not always with face the fears, Kak. Mama nggak mau kamu maksain diri yang nantinya berdampak buruk buat kamu. There's so many ways to make your fears leaving you."

"Aku yakin, Ma. Aku udah siap buat kembali ke rumah and mayber for being Amira Candramaya like i used to."

"And how about the baby? Kakak jadi mau aborsi dia?"

Tiba-tiba Amira hanya termangu. Tangannya memeluk perutnya sendiri. Bibirnya kelu saat sang Ibu menanyakan hal tersebut. Di satu sisi, Amira memang membenci janin ini karena dia memiliki darah Jembara, seseorang yang juga dibencinya. Akan tetapi di sisi lain, Amira tidak tega jikalau harus membunuh janin ini. Bagaimanapun Amira masih sadar bahwa janin ini tidak bersalah. Bahkan janin ini tidak tahu akan dikandung oleh siapa.

Namun, jika Amira pertahankan pun, ia belum siap menjadi seorang Ibu tunggal bagi janin ini di usianya yang masih 18 tahun ini. Walaupun ada keluarganya yang siap untuk menjaganya, tetapi Amira tidak mampu. Bahkan untuk membayangkannya saja ia tidak bisa.

Rasa bimbang di hati mulai bermunculan. Pikiran-pikiran yang membuatnya kalut, takut, dan bingung pun mulai menyerang Amira secara bersamaan. Amira.. gelisah.

"Kakak nggak tau, Ma. Kakak bingung, Kakak nggak tega kalo harus aborsi."

Haira tahu jika Amira mulai kalut. Tanpa menunggu lama, tubuh ringkih putrinya ia peluk erat dan bisikan kata-kata penenang diucapkannya. "Nggak apa-apa, Kakak. Kita pulang aja dulu, ya? Nanti kita bisa pikirin lagi."

"Tapi kalo ternyata Kakak harus keep janin ini gimana, Ma? Kakak nggak siap jadi ibu tunggal buat dia. Kakak masih 18 tahun."

"Udah, jangan dipikirin dulu. Sekarang Mama bakalan panggil dokter dan kita konsultasi lagi, oke?"

Amira menganggukkan kepalanya, menyetujui saran yang diberikan oleh Haira. Lantas Haira segera memanggil dokter melalui suster yang memang biasa datang di waktu-waktu ini. Tak butuh waktu lama bagi keduanya menunggu Dokter untuk sampai ke ruangan ini.

"Wah, Nak Amira udah jauh lebih membaik sekarang? Mau pulang, ya?" tanya Dokter tersebut dengan ramah.

Balasan yang Amira berikan tak kalah ramah. "Iya, Dokter. Aku bosen sembunyi di sini terus."

"Syukurlah. Saya seneng dengernya. Kita periksa dulu gimana?"

Setelah mendapatkan persetujuan yang bersangkutan, Dokter langsung melakukan pemeriksaan pada Amira. Tidak banyak yang dilakukan. Hanya beberapa pemeriksana fisik yang dasar saja.

"Untuk selanjutnya nanti akan ada pemeriksaan psikologis dan kandungan juga, ya, Nak. Saya lihat, usia kandungannya sudah menginjak minggu ke-16 juga."

"Dokter," Haira menyela. "Untuk melakukan tindakan aborsi, apakah masih bisa?" tanyanya.

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang