15. Sosok Lain yang Bersembunyi

6 2 0
                                    

"Hei."

Panggilan Haridra membuat Amira yang menatap kosong ke arah televisi di hadapannya menoleh. Seketika senyumannya terbit membuat kesan manis pada wajahnya. Amira memperbaiki posisi duduknya saat Haridra mulai melangkah mendekat ke arahnya. Senyuman Amirajuga dibalas oleh senyuman Haridra yang begitu hangat.

Pemuda itu berdiri di sebelah kiri ranjang Amira. Tangannya terangkat untuk menyampirkan rambut Amira yang tergerai ke telinga gadis itu. Kemudian tangan itu mengelus pipi Amira lembut.

"Kenapa nggak makan? Kata Januar, kamu nggak mau makan apapun dari semalem," tanya pemuda itu langsung pada poinnya. Suaranya begitu lembut, tetapi nada khawatir begitu terdengar jelas dalam suaranya.

"Nggak nafsu, Ridra. Aku nggak mau makan. Aku masih ngerasa kenyang, kok."

Haridra menghela napas. Tangannya ia bawa ke sisi tubuh. "Kamu makan apa sampe kenyangnya tahan lama? Coba jelasin ke aku."

Amira mengalihkan pandangannya dari Haridra menjadi pada tangannya yang tengah ia mainkan di atas pangkuan. Gadis itu tak menjawab sepatah katapun atas pertanyaan Haridra. Haridra yang melihatnya hanya mendengus. Tahu bahwa kekasihnya itu berbohong sehingga tak memiliki jawaban apapun untuk pertanyaannya.

"Nggak mau jawab? Atau emang nggak punya jawaban?"

Masih hening. Amira tidak menjawab apapun. Gadis itu sibuk memainkan tangannya abstrak di atas pangkuan, tanda jika tak ingin menjawab, lebih tepatnya karena memang tak memiliki jawaban. Haridra benar. Jika memaksa menjawab dengan pernyataan penuh kebohongan pun, Haridra akan tetap mengetahuinya.

"Oke, aku asumsiin kalo kamu bohong dan nggak punya jawaban atas pertanyaan aku. Nggak pa-pa kalo kamu nggak mau makan, tapi kalo seandainya kamu mau makan, just tell me. But it's better if you eat. Your body need something, Sayangku. And don't forget that your dad, mom, and brother, also me, are worried about you."

"Kamu nggak biasanya kayak gini, kan?" Haridra membawa tangannya untuk mengusap kepala Amira dengan penuh kelembutan. Berusaha agar si manis merasa nyaman dan menceritakan alasan mengapa dirinya tak menyentuh makanan yang disediakan rumah sakit dan yang disediakan keluarganya. "Kamu itu sosok yang suka terus terang. Kalo kamu mau, kamu pasti lakuin dengan alasan. Kalo nggak mau, kamu juga pasti ngasih alasan yang masuk akal. Kenapa sekarang nggak?"

Amira mengalah. Haridra itu pasti bisa mencari jalan untuk membuatnya bersuara. Salah satunya dengan terus berbicara dan bertanya banyak hal. Amira tidak terlalu suka diajukan banyak pertanyaan. Apalagi ini berkaitan dengan yang ia sembunyikan sejak semalam.

"Aku cuman mual, jadi nggak enak makan," lirih Amira. Tangannya mengelus perutnya sendiri dengan gerakan lambat.

"Hm? Kenapa? Aku nggak denger. Coba ulang pake suara yang lebih keras," ujar Haridra. Terdengar sangat menyebalkan di telinga sang kekasih.

"Aku mual, Haridra. Aku nggak selera masukin makanan ke mulutku. Rasanya enek, bikin aku pengen muntah." Gadis itu berterus terang dengan nada kesal sembari menatap Haridra ketus.

Kekehan Haridra mengudara. "Nah, gitu, dong bersuara. Kan, aku jadi tau alasannya sekarang. Mau aku panggilin dokter nggak? Kali aja itu efek obat terapi kamu, kan?"

"Nggak mau. Nanti juga mualnya ilang. Yang jelas aku nggak mau makan. Jangan paksa aku, ya?"

"Oke. Aku sampein keluhan kamu ini ke Mama, Papa, sama Januar, boleh? Biar mereka tenang. Well, maksudnya biar mereka nggak bingung kenapa kamu nggak mau makan."

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang