Amira menatap Jembara yang kini tengah asyik bermain basket bersama teman-teman satu kompleknya. Tidak banyak, hanya ada lima orang di sana termasuk Jembara. Amira sebetulnya tidak begitu menginginkan berada di tempat ini karena Amira tidak ada keperluan apapun. Ia di sini pun sebab ajakan Jembara. Tadinya ingin menolak, tetapi karena tak ada satupun kegiatan yang dapat Amira lakukan di rumah, maka ajakan Jembara ia terima.
Jembara adalah teman dekat Amira sejak keduanya berada di sekolah dasar. Amira jadi ingat bagaimana mereka pertama kali berkenalan, kalau tidak salah ingat, keduanya berkenalan ketika kelas 3 SD. Saat itu, Amira yang tengah menangis diolok-olok oleh teman sekelasnya ditemani oleh Jembara yang entah sejak kapan berada di sisinya. Sejak itu, keduanya menjadi dekat layaknya amplop dan perangko; di mana ada Amira di situ ada Jembara.
Tangan Amira menopang dagunya sendiri. Lama-lama diam di sini bosan juga. Kontras dengan lima anak lelaki yang kini tengah bersorak kemenangan di lapangan sana. Terik matahari pagi ini tidak menghalau mereka untuk tetap asyik dengan kegiatan menggiring bola itu. Apalagi Jembara, sosok dengan tinggi lebih dari seratus delapan puluh senti itu nampak semangat untuk memenangkan pertandingan. Senyumnya nampak lebar, tidak pernah senyum itu hilang sejak dulu.
Senyuman Amira terukir dibuatnya. Jembara memang pandai dalam hal-hal seperti ini. Tidak hanya basket, futsal hingga tenis meja pun Jembara pandai memainkannya. Bahkan ketika keduanya duduk di bangku sekolah menengah pertama dahulu, Jembara pernah memenangkan berbagai kejuaraan-kejuaraan olahraga. Tidak hanya ketika SMP, kini di SMA pun Jembara masih aktif menyumbangkan medali untuk sekolah. Bedanya, di SMA kini didominasi oleh kejuaraan band atau vocal, bukan lagi olahraga.
Tak sadar, permainan Jembara di lapangan sana sudah selesai. Amira segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Jembara yang masih asyik memainkan bola oranye itu walau hanya sendirian. Amira hendak izin untuk pulang lebih dulu karena ia ingin merebahkan tubuhnya dan menyaksikan series kesukaannya.
"Bara, aku pulang duluan, ya?" ujar Amira kala tubuhnya sudah berdekatan dengan Jembara.
Jembara yang tadinya tengah men-dribble bola basket itu seketika menghentikan kegiatannya. Tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari Amira membuatnya harus menunduk untuk menatap sahabatnya itu. "Kenapa? Kamu, kan, di rumah juga nggak ada kegiatan?"
"Tadi, sih, iya. Kalo sekarang beda lagi. Series yang lagi aku tonton sekarang udah mau tayang," jawab Amira dengan kepala yang agak mendongak.
"Oh, ya udah. Kita pulang bareng aja. Aku juga udah selesai, kok." Amira menganggukkan kepalanya. Dilihatnya Jembara mengambil bola basket yang tadi digunakannya lalu memasukkannya ke dalam tas khusus bola. Pemuda itu juga tidak melupakan botol minumnya yang kosong untuk diambilnya dan dimasukkan ke dalam tas.
"Yuk," ajaknya pada Amira sambil mengambil pundak sempit gadis itu untuk dirangkulnya.
Dengusan keluar dari hidung Amira. Gadis itu melepaskan rangkulan Jembara dalam sekali hentakan. "Kamu kotor, Bara. Keringet kamu banyak," tuturnya.
Jembara terkekeh. Pemuda itu kembali mengambil pundak sempit Amira dan merangkulnya. Hal tersebut lagi-lagi membuat Amira harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melepaskan rangkulannya.
"Biasanya juga suka," ujar Jembara sambil melihat ke arah Amira yang posisinya agak berjauhan.
"Dih, kapan aku suka dirangkul-rangkul coba?" Amira mendelik, tidak terima dengan pernyataan Jembara. "Apalagi kamu kotor gitu abis basket. Keringetnya banyak, bau juga."
"Dih, keringetku nggak bau," balas Jembara tidak terima. Pemuda itu mengendus sisi kanan dan kiri tubuhnya. "Wangi gini, kok. Hidung kamu lagi bermasalah kayaknya tuh."
"Enak aja!" seru Amira. Gadis dengan surai tergerai bebas itu menatap Jembara yang tengah terkekeh. "Nggak usah gitu deh, kamu jelek!"
"Masa aku jelek, sih?"
Tidak terasa keduanya sudah sampai di depan gerbang rumah Amira yang tingginya hampir menyamai tinggi Jembara. Amira melipat tangannya di dada sebelum menjawab pertanyaan pemuda tinggi di hadapannya itu.
"Iya, jelek banget. Udah, ya, aku masuk."
Amira membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekat ke gerbang rumah. Namun, belum juga Amira memasuki wilayah rumahnya, suara Jembara terdengar lagi hingga membuatnya berbalik.
"Mau aku temenin nggak?"
Tidak langsung menjawab, Amira memilih untuk terdiam dahulu. Menimbang apakah tawaran Jembara kali ini harus ia terima atau tidak. Di satu sisi, Amira ingin menonton sendiri karena sudah lama Amira tidak menonton sendirian. Biasanya sang adik akan merecokinya. Namun, jika Amira menonton sendirian, Amira yakin jika ia akan ketakutan. Maklum, Amira penakut dan series yang akan ia tonton kali ini adalah series horror Thailand.
"Gimana? Mama sama Papa kamu juga lagi ke undangan anaknya Tante Rosi, kan?"
Pertanyaan itu mendistraksi Amira. Keningnya mengernyit keheranan. "Kok tau?"
"Mama papa aku juga, kan, ke sana. Kalo kamu lupa, Tante Rosi itu sahabat mereka, sahabat mama papamu juga."
"Oh, iya, aku lupa." Amira tertawa sedikit. "Ya udah, boleh deh kamu temenin aku. Tapi mandi dulu sana, aku nggak nerima tamu yang bau keringet."
"Oke, siap! Jangan lupa siapin camilan," pesan Jembara.
"Dih, tamu, kok, ngatur!"
Tidak terdengar jawaban apapun selain tawa Jembara yang terdengar. Kemudian keduanya berjalan denga arah berlawan ke rumah masing-masing. Amira ke selatan, sedangkan Jembara ke utara. Rumah keduanya berhadapan, hanya terhalang oleh jalanan komplek yang tidak terlalu besar.
"Amira!"
Mendengar teriakan itu, Amira membalikkan tubuhnya lagi dan melihat Jembara yang tengah berlari ke arahnya lalu menubrukkan tubuh besarnya ke tubuh Amira. Pemuda itu memeluk Amira seakan tak akan ada hari esok.
"Aku sayang kamu,"
"Hah---"
"Tapi bohong."
Amira berdecak kesal mendengarnya, sedangkan Jembara sudah kembali berlari ke rumahnya sambil tertawa keras. Bercandaan pemuda itu memang perlu diwasapadai. Amira kesal bukan karena ternyata perasaan Jembara bohong disaat Amira berharap lebih, tentu saja bukan. Hanya saja nadanya yang tengil itu membuat darah Amira hampir naik.
Awas saja, akan Amira berikan racun tikus di minuman lelaki itu jika berkunjung ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...