"Kakak kenapa? Ada yang sakit, hm?"
Januar yang baru saja masuk ke ruangan langsung dikejutkan dengan Amira yang menangis. Pemuda berusia 17 tahun itu tentu langsung diserang oleh rasa khawatir dan panik sebab tangisan sang kakak terdengar begitu pilu dan menyedihkan. Ditambah gadis itu yang enggan menjawab pertanyaannya membuat Januar kebingungan.
"Kak, kenapa? Ada yang sakit? Mau aku panggilin dokter?" tanyanya. Berusaha untuk membuat gadis itu membuka suara.
Amira masih tetap tak kunjung membuka suara. Gadis itu hanya menangis dan menangis tanpa menghiraukan kehadiran Januar dan pertanyaan pemuda itu. Yang ia pedulikan saat ini ialah fakta bahwa segala hal yang ia punya perlahan pergi dan menghilang. Dimulai dari kehidupannya yang Amira pikir akan selalu berjalan mulus tanpa lubang, dirinya sendiri, dan kini Haridra, kekasih yang sudah menemaninya selama 2 tahun terakhir.
Ah, atau haruskah Amira sebut Haridra sebagai mantan kekasih sekarang?
Saat Haridra berbalik dan pergi meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah katapun tadi, hatinya berdenyut nyeri. Sebelumnya, Haridra tidak pernah meninggalkannya. Sama sekali. Bahkan Amira tidak pernah membayangkan bahwa Haridra akan meninggalkannya seperti tadi. Pemuda itu pergi bahkan tanpa melihat wajahnya. Apakah kini ia sudah semenjijikkan itu, kah, sampai Haridra yang biasanya memandang lekat wajahnya itu bahkan enggan menatapnya lagi?
Tangisannya kembali menguat. Bahkan Sekar kini mulai membanting barang yang ada di sekitarnya. Gelas, remot televisi, vas bunga, dan barang-barang lainnya. Amira meremat rambutnya kasar, setelahnya ia kembali memukul kepalanya membuat Januar berusaha untuk menghentikannya.
"Kak! Jangan gini, please."
Januar menahan lengan sang Kakak yang hendak kembali memukul kepalanya. Dipeluknya erat tubuh Amira dengan satu tangannya yang menahan lengan sang Kakak, sedangkan tangannya yang lain mengelus surai Amira yang agak berantakan. Januar membuat Amira merebahkan kepalanya di dada bidangnya. Berusaha membuat sang Kakak agar merasa nyaman.
Usahanya tidak sia-sia. Tangisan Amira perlahan berhenti, menyisakan isakan yang tak dapat Amira tahan. Januar hanya bisa membisikkan kata-kata penenang hingga kini isakan kakaknyajuga berhenti. Dirasa sudah tenang, Januar melepaskan pelukannya dan menatap wajah cantik saudari satu-satunya itu.
"Everything will be okay, Kak."
Ibu jari tangan Januar menghapus jejak sisa air mata yang ada di pipi tirus Amira. Kecup hangatnya mendarat di kening perempuan yang akan selalu menjadi orang yang Januar sayangi.
"Everything won't be okay, Januar." Amira berkata lirih dan parau. "Semuanya pergi. Haridra juga pergi ninggalin Kakak."
"No way. He doesn't, Kak."
"You don't know anything.. he left me without even saw me."
"Kak, tolong dengerin aku." Januar memegangi kedua sisi wajah Amira agar keduanya bisa bertatapan. "Nggak ada yang ninggalin kamu, Kak. Semuanya masih ada. Kakak masih punya segalanya. Soal Bang Ridra, aku yakin kalo dia nggak pergi. Dia nggak akan pergi ninggalin kamu, Kak. Percaya aku, ya?"
Kepala Amira menggeleng. Tatapannya beralih ke arah lain. "Dia jijik sama aku, Januar. Aku hamil dan itu karena Jembara. Dia mungkin juga marah karena nggak ada yang ngasih tahu soal kehamilan aku. Mungkin dia ngerasa ngebuang waktunya sia-sia cuman buat jaga aku. Karena Jembara, aku kehilangan semuanya. Jembara yang bikin aku kayak gini. Jembara yang bikin Haridra pergi, Januar. I really hate him."
"I hate him. I hate Jembara, Januar. I hate him.. so much."
Kata-kata yang meluncur dari belah bibir Sekar itu membuat Januar terdiam. Ia kini yakin, jika pelakunya benar-benar Jembara, seperti yang dikatakan Haridra di sekolah tadi. "Wait, Bang Jembara? Bang Jembara pelakunya, Kak?"
Otak Januar berpikir cepat. Jantungnya berdegup kencang. Amarahnya kini bergejolak di dada. Ia menatap Amira dengan pandangan menuntut. Ia ingin benar-benar yakin jika Jembaralah pelakunya. Jika sahabat kakaknya lah yang melakukan itu.
Amira belum menjawab pertanyaan Januar. Gadis itu menipiskan bibirnya dan merasa menyesal sebab telah menyuarakan nama itu. Nama yang selama hampir 7 minggu ini Amira hindari untuk ia sebutkan di hadapan siapapun. Bukan sebab Amira ingin melindunginya, tidak sama sekali. Namun, Amira hanya tidak ingin keluarganya melapor ke polisi lalu semuanya akan menjadi runyam.
Amira takut apa yang terjadi padanya akan disiarkan di televisi nasional membuat semua orang mencacinya. Selama ia hidup, kasus pemerkosaan tidak hanya sekali diemuinya di televisi juga di media sosial. Dan kebanyakan, masyarakat akan menyalahkan korban dibandingkan menyalahkan pelaku. Beberapa lainnya akan berpura-pura bersimpati hanya untuk mengetahui bagaimana kronologisnya saja. Setelahnya? Mereka akan menyalahkan korban juga.
Hal tersebut adalah hal yang sangat ia hindari. Ia lebih baik mendekam di rumah sakit dengan seluruh trauma dan rasa sakit yang ia punya. Ia lebih memilih untuk diam dan membiarkan Jembara hidup normal. Amira tidak butuh bantuan orang lain. Amira tidak butuh rasa kasihan dan simpati dari orang lain. Siapapun itu.
"Kak, jawab pertanyaan aku. Bang Jembara pelakunya?"
Tidak ada jawaban. Hal itu membuat Januar jengkel. "Kak!" bentaknya. "Sekali ini aja kasih tau aku. Bang Jembara pelakunya? Jawab, Kak! Jangan diem aja! Kakak nggak bisu, kan?!"
Tubuh Amira terkesiap sebab bentakan itu. Bentakan itu pula yang mengingatkannya pada kejadian malam kelam itu. Ingatannya terputar pada saat Jembara membentaknya sebab ia enggan membuka pakaiannya. Parahnya, Jembara membentaknya dengan berbagai kata-kata kotor dan setelahnya memaksa dirinya untuk menanggalkan seluruh pakaiannya. Jembara memperlakukannya tidak manusiawi.
Rasa takutnya kembali menyergap. Amira beringsut dan menatap Januar takut. "Pergi," lirihnya.
Januar yang sadar akan tindakannya yang salah dan membuat Amira ketakutan langsung merasa bersalah. Pemuda itu hendak meraih Amira ke dalam pelukannya lagi, tetapi Amira buru-buru membawa tubuhnya menjauh hingga sampai di ujung ranjang.
"Kak, aku minta maaf. Aku nggak maksud.."
"Pergi! Aku bilang pergi!" bentaknya.
Helaan napas Januar keluarkan. Pemuda itu menatap nanar Amira yang kini memeluk lututnya dan menenggelamkan kepalanya di antara dada dan lututnya yang terlipat. Tubuh gadis itu nampak bergetar. Isak tangis kembali terdengar membuat Januar makin merasa bersalah.
"Kak.. sekali lagi aku minta maaf. Sebelum aku keluar, Kakak harus tahu satu hal kalo semuanya nggak pergi ninggalin Kakak. Kita semua selalu ada di sisi Kakak. Aku tunggu di luar, ya. Aku sayang banget sama Kakak."
Pemuda itu berbalik dan berjalan meninggalkan Amira yang menangis di atas ranjang. Setelah pintu tertutup, Januar dikejutkan dengan sosok Haridra yang menangis di luar. Segera Januar dekati dan duduk di sebelahnya.
"Lo kenapa, Bang?" tanya Januar pelan.
Haridra menggeleng. Enggan menjawab pertanyaan Januar.
Tidak seperti kepada sang kakak, Januar memilih diam, tidak lagi bersuara. Hingga beberapa menit kemudian, tangisan Haridra berhenti walaupun isakannya masih ada.
"Mira beneran hamil, Jan?" Haridra bertanya lirih dengan suara paraunya.
Januar mengangguk. Tanpa menoleh ia menjawab, "Iya, Bang. Beberapa hari lalu Kakak diperiksa ke dokter kandungan dan dia hamil, tapi janinnya ngumpet soalnya tau kalo Kakak nggak nerima kehadiran dia."
Kekehan kecil Januar terdengar. "Lucu, ya, Bang? Janinnya bisa tau gitu. Kenapa janinnya nggak sekalian mati aja, ya? Kakak, kan, ngga mau."
Kepala Haridra menoleh. Pemuda berwajah sembab itu menatap Januar lekat. Pemuda itu tidak mengubris apa yang Januar katakan. "Kenapa nggak ngasih tau gue, Jan?"
"Sorry, Bang. Gue saat itu bener-bener nggak tahu harus apa. Gue mikirnya lo juga bakalan tau sendiri."
Giliran Januar yang menatap Haridra. "Ternyata, Bang Jembara emang pelakunya, ya, Bang?"
"Gue, kan, tadi ngomong sama lo soal itu. Lo nggak percaya?"
"Bukan enggak percaya, Bang.. Gue cuma nggak mau denger dari kakak langsung."
Haridra menatap Januar. "Mira bilang ke elo?"
Kepala Januar mengangguk. "Kakak bilang dia benci Bang Jembara soalnya udah hancurin hidup dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...