Kondisi Amira makin memburuk, baik mental maupun fisiknya. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah sosok yang kini tengah tumbuh dalam rahimnya. Sebetulnya, Amira juga sadar jika ia tidak bisa menyalahkan sosok itu begitu saja. Namun, siapa lagi yang harus ia salahkan? Baginya, sosok di dalam perutnya itu adalah perwujudan Jembara dalam bentuk lain.
Biar bagaimanapun, di dalam rahimnya kini ada sosok yang membawa darah Jembara. Dan Amira tidak menerima itu. Ia tidak menerima bahwa ada sebagian dari Jembara yang hidup di dalam tubuhnya. Ia tidak menerima bahwa ke manapun ia pergi, sosok itu akan selalu bersamanya. Melekat dengan kuat di dalam tubuhnya.
Bagi Amira, kehadiran sosok itu hanya membuat sejar merasa bahwa Jembara ada di sini. Jembara ada di sisinya. Jembara ada di sekitarnya. Jembara ada di dalam tubuhnya. Hal itu hanya membuatnya makin sakit. Tak jarang jika Amira tak sengaja memikirkan sosok di dalam rahimnya itu, sosok Jembara juga akan muncul dan bayangan menyakitkan itu kembali menghantuinya. Biasanya akan Amira akhiri dengan kembali memukul kepalanya atau perutnya hingga membiru, bahkan kini Amira sudah berani untuk menyayat pergelangan lengannya walaupun belum se dalam itu hingga mengenai urat nadi.
Hidupnya kian hari kian memburuk. Amira merada tidak akan ada lagi kehidupan cerah yang akan ia rasakan. Apa yang Tuhan berikan kepadanya terasa begitu berat. Amira tidak sanggup dengan semua ini. Kadangkala, ada keinginan di dalam dirinya untuk mengakhiri kehidupannya yang sudah tidak berbentuk lagi. Namun, entah mengapa jauh di libuk hatinya ada secercah kecil untuknya tetap bertahan hidup.
Amira tidak tahu pasti apa secercah kecil itu. Apakah orangtuanya? Apakah Januar? Apakah Haridra? Atau apakah dirinya sendiri?
Amira belum menemukan jawabannya. Terasa abu-abu, tidak jelas, dan tidak dapat Amira bayangkan apa yang membuatnya terus bertahan. Yang jelas hanyalah bisikan kecil yang entah berasal dari mana saat dirinya mencoba untuk mengakhiri hidup. Bisikan itu hadir, memasuki telinganya, menyerap di hatinya, dan membuatnya refleks menjatuhkan benda tajam apapun yang biasanya ia gunakan untuk percobaan mengakhiri hidup.
Seperti saat ini. Malam di saat semua orang tengah terlelap, Amira malah membuka matanya dan berjalan perlahan ke kamar mandi dengan pisau buah di tangan. Malam ini Amira berencana untuk menghabisi nyawanya sendiri untuk yang kesekian kali dalam kurun waktu 3 hari.
Ditatapnya wajah Januar yang tengah terlelap di sofa dekat televisi itu. Malam ini memang jadwal Januar yang menemani. Adiknya itu sudah berada di sini sejak pukul 4 sore tadi. Januar tidak kenal lelah jika tengah menemaninya. Apapun akan ia lakukan untuk Amira. Tidak heran jika wajah adiknya itu terlihat kelelahan walaupun tengah terlelap.
Senyum Amira terulas sedikit sebelum akhirnya gadis itu kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Tubuhnya ia dudukkan di kloset yang tertutup lalu tangannya membuka lengan bajunya sendiri hingga bekas-bekas sayatan terlihat di sana. Terlihat ada beberapa yang masih baru dan sudah mengeiring.
Pisau buah itu Amira arahkan pada pergelangan tangannya. Mata pisau yang tajam itu sudah bersentuhan dengan kulit Amira yang pucat. Ketika Amira menekan pisau itu supaya menembus kulitnya, matanya terpejam erat dengan napas memburu. Sedikit demi sedikit darah mulai merembes dan menetes pada celana juga lantai dingin kamar mandi.
Mungkin pisau itu akan berhasil memotong nadi Amira beberapa senti lagi jika saja Amira tidak refleks menjatuhkan pisaunya dan membuat suara nyaring di sana. Amira terkesiap. Dua matanya terbuka, keringat yang bercucuran, tetapi napasnya masih memburu.
Tangannya yang tadi ia gunakan untuk menyayat pergelangan tangannya sendiri tiba-tiba berada di perutnya."Maaf," bisik Amira. Entah ditujukan kepada siapa maaf itu, yang jelas Amira merasa ia harus mengatakan maaf.
"Maaf," bisik Amira dengan kepala tertunduk dan air mata yang mengalir. Mengapa kini dirinya merasa begitu sedih atas sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahuinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...