Jembara menendang Jendral dengan sisa kekuatannya yang masih tersisa, tetapi cukup membuat pemuda yang usianya beberapa tahun di atasnya itu terdorong ke belakang. Dengan susah payah, Jembara mulai bangkit dan berdiri dari posisi meringkuknya di lantai. Wajahnya yang sudah tidak karuan itu diangkatnya hingga matanya yang membiru di salah satu sisi menatap Yudha, Kevin, dan Marvin bergantian.
"Bang.. lo semua tahu nggak Amira sekarang di mana? Gue pengen ketemu dia," ujar Jembara lirih. Dari nada suaranya, pemuda itu nampak hopeless dan pasrah.
Marvin menggeleng, mewakili yang lain. "Kita nggak tahu, Bar. Cuman Jendral yang tahu di mana Amira berada sekarang."
Jembara menutup matanya, menekan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia tidak sudi untuk kembali berbicara dengan pemuda itu. Ia masih tidak menyangka bahwa dalam ketidaksadarannya karena bajingan itu, ia berhasil menghancurkan Amira. Ia bahkan berhasil membuat Amira mengalami hal yang tak seharusnya ia alami di usianya. Sahabat macam apa Jembara ini? Oh, apakah Jembara masih pantas untuk menyebut dirinya sebagai sahabat Amira?
Perlahan Jembara membuka matanya dan berbalik meninggalkan keempatnya. Ia bersumpah bahwa ini adalah kali terakhir Jembara menginjakkan kakinya di rumah ini. Ia juga bersumpah bahwa hari ini ia memutuskan hubungan pertemanan dengan keempatnya. Jembara tak akan lagi berurusan dengan mereka.
Dengan langkah yang agak diseret, Jembara keluar dari rumah itu dengan perasaan campur aduk. Antara marah, sedih, kecewa, dan bingung menjadi satu. Jembara jatuh bersimpuh di depan rumah itu. Teriakannya mengudara seraya tangannya yang memukul dadanya kuat. Berusaha mengusir rasa sakit di hati walaupun tidak berhasil.
"Maafin gue, Amira.. Maafin gue.." ujarnya parau setelah puas berteriak kencang.
Air matanya luruh. Jembara tidak tahu bagaimana Amira sekarang. Apakah keadaannya sudah lebih baik atau malah lebih buruk dari yang dibayangkannya? Jembara tidak tahu. Otaknya tidak dapat memberikan pemikiran yang positif mengenai gadis itu. Hatinya tidak dapat mengatakan jawaban apapun atas pertanyaannya.
Jembara memukul tanah di depannya dengan kuat tanpa memedulikan rasa sakit yang terasa di tangan setelahnya. Melampiaskan amarah yang masih menguasai dirinya. Tidak hanya itu, ia juga memukuli kepala dan tubuhnya sendiri sebagai hukuman awal darinya untuk dirinya sendiri.
"Bego lo, anjing! Bego, goblok, idiot! Lo mati aja sialan! Jembara bego, Jembara tolol!" umpatnya kepada diri sendiri.
Merasa tidak ada gunanya menangis di sini, Jembara bangkit dan mulai menaiki motornya dengan isakan yang masih ada. Ia tidak peduli dengan rasa sakit ditubuhnya sebab pukulan Jendral tadi juga pukulannya sendiri. Ia tidak peduli dengan darah yang masih menetes dari buku-buku tangannya. Di detik ini juga, Jembara bertekad untuk mencari keberadaan Amira di manapun gadis itu berada. Jembara harus bertemu dengan Amira. Jembara harus meminta maaf kepadanya. Jembara harus menerima apapun konsekuensi yang akan ia terima dari Amira juga keluarganya.
Motor Jembara membelah jalanan kota Bandung dengan cepat. Jembara memulai dengan mencari gadis itu di rumah sakit yang jaraknya lumayan dekat dengan komplek perumahan mereka. Namun, nihil. Tidak ada pasien atas nama Amira Candramaya di sana. Jembara tidak putus asa. Pemuda itu kembali menjalankan motornya dan mencari Amira di rumah sakit dekat sekolahnya.
Lagi-lagi nihil. Tidak pernah tercatat nama Amira Candramaya pernah menjadi pasien di sana. Jembara melanjutkan pencariannya pada rumah sakit yang lain. Ia juga berusaha menghubungi Januar, tetapi adik Amira itu tidak kunjung mengangkatnya. Pun dengan Haridra tidak luput dari Jembara, tetapi juga nihil.
Tiga, empat, rumah sakit sudah Jembara jajaki dan hasilnya nihil. Resepsionis rumah sakit mengatakan bahwa tidak ada pasien atas nama Amira Candramaya. Jembara mengacak surainya kasar. Hari sudah makin sore saat Jembara kembali menjalankan motornya untuk sampai di rumah sakit selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...