7. Perasaan Jembara

14 6 0
                                    

[peringatan! Penggunaan bahasa kasar]

"Kakak, ada yang nyari, tuh, di bawah. Mama nggak kenal, samperin, gih."

Jembara yang tadinya tengah bermain game di ponselnya seketika menghentikan kegiatannya saat suara sang Mama terdengar. Buru-buru pemuda itu mematikan ponselnya dan berjalan menuju pintu untuk membukanya. Dilihatnya sang Mama yang sudah siap dengan pakaian tidurnya.

"Siapa, ya, Ma? Perasaan temen Kakak nggak ada yang mau dateng."

Mama Wenda menggelengkan kepalanya. "Mama juga nggak tahu. Cek aja, ya. Mama mau ke kamar dulu."

"Oke, Ma."

Setelah itu, Jembara melanjutkan langkahnya menuju pintu utama rumahnya. Ia benar-benar tidak bisa menebak siapa yang berkunjung ke rumahnya di malam hari seperti ini. Teman sekolahnya jarang sekali berkunjung malam-malam, biasanya jika tidak weekend maka mereka akan berkunjung sore hari. Apakah itu Amira? Namun, tidak mungkin juga. Mamanya pasti mengenali gadis itu.

Pintu dibukakan oleh Jembara. Seketika pemandangan empat orang lelaki yang tengah mengobrol menyapa penglihatan Jembara. Dengusan pelan Jembara keluarkan. Jika saja ia tahu bahwa empat orang ini yang berkunjung, maka Jembara tidak akan membukakan pintu untuk mereka. Tidak ada gunanya juga.

"Ngapain pada ke sini, sih, anjing? Lo semua ganggu gue," desis Jembara.

Empat orang yang tadi tengah mengobrol spontan menolehkan kepalanya dan terperangah mendengar apa yang diucapkan Jembara. "Calm down, Bro. Sensi banget lo sama kita," balas salah satu pemuda dengan kaus tanpa lengannya. Aneh, di malam hari yang dingin ini malah mengenakan kaus tanpa lengan.

"Ya, emang ganggu, setan. Mau ngapain, sih?"

"Lo kita chat buat ke markas nggak bales, ya, anjing," balas kembali di pemuda berkaus tanpa lengan. "Makanya kita ke sini aja. Sekalian silaturahmi sama orang tua lo."

"Sinting silaturahmi jam segini."

"Eh, kok ribut-ribut di luar? Nggak dipersilakan masuk sama Jembara, nih?"

Mama Wenda datang di belakang Jembara dengan tangan yang memeluk tubuhnya sendiri. Sesaat setelahnya, wanita yang kini sudah berkepala empat itu menatap Jembara marah. "Kenapa nggak dipersilakan masuk, Kakak? Ini tamu kamu, loh."

"Tamu nggak penting, Ma. Udah, kita masuk aja ke dalem. Biarin mereka pulang."

Lengan Jembara menjadi sasaran pukulan Mama Wenda. Wanita itu nampak tidak senang dengan apa yang diucapkan putra sematawayangnya. "Ngaco. Yuk, masuk aja. Mainnya di kamar Jembara aja, ya, di lantai dua. Papanya Jembara udah tidur soalnya."

Setelah mengatakan itu, Mama Wenda masuk ke dalam dan meninggalkan Jembara yang menatap empat orang itu dengan malas. Jika Mama Wenda sudah begitu, maka Jembara tidak bisa berbuat apa-apa. Yang ada Jembara akan diceramahi habis-habisan jika ia berbuat tidak baik pada empat orang di hadapannya ini.

"Masih berdiri aja, nih? Nggak mau ngajak kita masuk juga?" tanya pemuda lagi dengan tas gitar di punggungnya.

"Masuk, bajingan."

Tawa ringan mengudara setelah Jembara secara tidak ikhlas mengajak empat orang itu masuk. Langkah kelima pemuda itu mereka bawa untuk sampai di lantai dua, lantai di mana kamar Jembara berada. Sedangkan kamar Mama dan Papa terletak di lantai dasar. Itulah alasan mengapa Mama Wenda menyuruh mereka untuk bermain di kamar Jembara saja. Biasanya, teman-teman Jembara akan bermain di lantai dasar, tepatnya di ruang tamu.

Keempatnya sudah duduk berpencar di berbagai sudut kamar Jembara. Ada yang duduk di ranjang Jembara, di sofa, di karpet, dan ada juga yang duduk di jendela kamar Jembara yang terbuka. Jembara sendiri memilih untuk duduk di kursi belajarnya.

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang