Hari demi hari berlalu, Amira berangsur-angsur pulih. Beberapa luka fisiknya bahkan sudah sembuh, tetapi luka psikisnya masih harus mendapat bantuan dari profesional. Sudah satu minggu Amira rutin kontrol ke psikolog, kadang ditemani orangtuanya, kadang juga hanya ditemani Januar. Amira sejujurnya masih menunggu Haridra karena hingga detik ini pemuda itu belum menampakkan batang hidungnya lagi. Namun, di lain sisi, Amira juga mencoba untuk rela jika Haridra memang tidak mau bersamanya lagi.
Selain kondisi fisik dan psikisnya, kandungan Amira juga mulai terlihat. Perutnya nampak menonjol sedikit, karena bagaimanapun ini sudah hampir minggu ke-7 kandungannya. Amira selalu menutupi perutnya itu dengan cardigan ketika kontrol ke psikolognya. Ia tidak mau melihat tonjolan itu. Amira masih enggan menerimanya.
Pukul 10 pagi Amira kembali ke ruangannya setelah melakukan jadwal kontrol rutin bersama psikolognya. Kali ini ida sendiri sebab keluarganya pagi ini disibukkan dengan urusan yang benar-benar tidak dapat mereka tinggalkan. Amira tidak masalah dengan itu, toh ia pun sudah kuat untuk berpergian sendiri, apalagi hanya di sekitar rumah sakit yang sudah menjadi rumah keduanya ini.
"Capek," gumam Amira mengeluh.
Saat hendak mengambil segelas air di nakas, pintu kamarnya diketuk tiga kali. Amira mengeryitkan keningnya, seingatnya tidak ada jadwal suster atau dokter yang harus datang ke kamarnya. Sekali lagi ketukan itu terdengar. Tanpa berpikir macam-macam, Amira menyilakan orang tersebut masuk ke dalam.
Pintu terbuka. Di ambang pintu, terlihat Haridra yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Wajah pemuda itu nampak sayu, dengan senyuman khas yang Amira sudah sangat rindu melihatnya.
Haridra membawa tubuhnya untuk sampai di dekat Amira. Tubuh tingginya itu ia posisikan untuk berada tepat di depan Amira. Netra keduanya beradu tatap. Tak disangka, keduanya sama-sama berlinang air mata saat satu sama lain kembali mencium aroma tubuh yang sudah keduanya sama-sama rindukan.
Hati Haridra berdenyut dan terasa perih bagaikan diiris menggunakan pisau tajam. Tidak. Tentu saja Haridra tidak akan meninggalkan Amira dalam kondisi apapun. Haridra bersumpah bahwa ia akan terus bersama Amira hingga Tuhan yang memisahkan.
"Amira... maaf."
Suara Haridra tercekat saat mengucapkan dua suku kata itu. Mati-matian pemuda itu menahan agar tangisannya tidak semakin menguat di hadapan Amira. Sulit memang, sebab kini yang Haridra bisa lakukan hanyalah menangis dan menangis. Menangis sebab kondisi sang kekasih yang sungguh berubah 180 derajat dari sebelumnya. Menangis sebab ia belum bisa menjadi kekasih yang sempurna untuk Amira.
Di lain sisi, Amira merasa hidupnya kembali berjalan. Haridra, kekasih yang ia rindukan, kekasih yang amat sangat ia cintai kini kembali ke hadapannya. Amira bahagia. Sangat amat bahagia. Namun, tidak ada yang bisa ia ucapkan selain isak tangis sebagai ungkapan kebahagiannya.
"Ridra..." lirih Amira, memanggil sang pujaan hati.
"Aku di sini," balas Haridra.
Tangisan Amira semakin menguat. Amira menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Haridra yang tidak mendapat penolakan. Dalam rengkuhan hangat itu, Amira menumpahkan air matanya yang didominasi oleh rasa takut sekaligus bahagia. Sekar takut jika Haridra akan kembali pergi seperti sebelumnya, sekaligus bahagia sebab ternyata Haridra kembali.
"Jangan pergi, aku mohon. Aku bohong udah bilang nggak pa-pa pas kamu pergi. Nggak, Ridra. Aku butuh kamu. Aku nggak baik-baik aja kalo kamu pergi."
Kepala Haridra menggeleng, tangannya merengkuh Amira lebih erat. "Aku nggak ke mana-mana. Maaf, ya, tadi aku pergi gitu aja. I promise, aku nggak akan pergi ke manapun."
Amira memegangi pakaian bagian belakang Haridra erat menggambarkan bahwa ia benar-benar tidak mengizinkan pemuda itu untuk pergi atau bahkan untuk sekadar melonggarkan pelukan keduanya. Dengan rengkuhan ini, ketakutan yang Amira miliki perlahan menghilang, digantikan oleh rasa aman, nyaman, dan bahagia yang Amira tak dapat deskripsikan. Dengan rengkuhan ini pula isak tangis Amira perlahan pergi, digantikan oleh senyuman indah yang membuat gadis itu terlihat hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The World Stops [Segera Terbit]
Teen FictionAmira Candramaya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi korban kekerasan seksual oleh teman karibnya sendiri, Jembara Abimanyu. Kehidupannya yang semula tersusun rapi dan apik, kini berantakan dan berceceran. Amira tidak tahu harus bagaiman...