4. Hujan di Kala Sore

16 6 0
                                    

Selasa sore kali ini, tepatnya setelah pulang sekolah, Amira dan Haridra berencana untuk pergi berkencan yang semula batal  karena jadwal latihan band. Tidak hanya waktu kencan yang batal, tetapi juga tempat yang menjadi tujuan keduanya harus diubah, mengingat ini sudah terlalu sore untuk pergi ke perpustakaan pusat kota, perpustakaan pasti sudah tutup karena ini sudah lebih dari pukul 4 sore. Amira dan Haridra memutuskan untuk pergi ke sebuah toko buku yang ada di Jalan Merdeka, Kota Bandung.

Di bawah awan yang sudah sedikit menggelap, Amira berdiri. Amira tidak sendirian. Ia ditemani Jembara yang sejak keduanya keluar dari kelas sudah mengintili Amira. Gadis itu juga tidak tahu apa alasan Jembara setia berdiri di sampingnya yang tengah menunggu Haridra, padahal pemuda itu bisa pulang sejak tadi.  Berkali-kali Amira mengusir temannya itu, tetapi Jembara bergeming tidak mengindahkannya. Lelaki itu justru makin betah di posisinya sambil sesekali membalas sapaan teman-temannya yang lewat. 

Sejak bel sekolah berbunyi pula, Jembara tidak henti-hentinya mengejek Amira karena batal berkencan di perpustakaan kota. 

"Kasian, deh, batal nge-date di perpusda," cemooh Jembara.

Sepertinya, ini kali keseribu Amira mendengar untaian kalimat itu. Ia bosan dibuatnya. Lama-lama Amira muak juga. 

"Ke perpustakaan masa---"

"Berisik, Bara!" sentak Amira. Gadis itu menatap tajam sekaligus kesal pada Jembara yang hanya menaikkan alisnya tengil. "Kamu kenapa, sih? Suka-suka aku mau ke perpustakaan kapanpun. Lagipula, nggak ada hukum yahg mewajibkan kalo ke perpustakaan harus pagi."

"Emang nggak ada hukumnya, sih," ujar Jembara, menatap Amira dengan tengil. "Tapi, kan, jadi batal, deh.."

Tepat setelah Jembara menyelesaikan ucapannya dan ketika Amira hendak membalas, Haridra datang tepat di hadapan keduanya. Amira megucap syukur dalam hati. Setidaknya ia akan terbebas dari ejekan Jembara yang membuatnya naik darah. Sebenarnya Amira tidak heran dengan tingkah Jembara, apalagi ejekannya itu, sudah menjadi makanan Amira sejak 8 tahun lalu. 

"Hai," sapa Haridra kepada Amira. Kemudian pemuda itu menatap Jembara lalu keduanya bertos ria. "Hei, Bar. Belum pulang lo?"

Sedikit informasi, Jembara dan Haridra sudah saling mengenal sejak kelas sepuluh SMA, beberapa bulan sebelum Amira dan Haridra bertemu. Jembara bertemu dengan Haridra dan saling berkenalan untuk yang pertama kali saat ia tengah hang out bersama teman SMP-nya, salah satunya adalah Jerion. Kini keduanya sudah bisa dikatakan dekat.

Jembara menggeleng. Tangannya bersidekap di depan dada. "Gue lagi jagain dulu pacar lo. Takut ada yang nyulik," katanya sambil melirik Amira dengan ekor matanya.

Mendengarnya, Amira mendelik kepada Jembara, sedangkan Haridra terkekeh-kekeh. "Apa? Jagain aku? Yang ada kamu ngejek aku terus, ya, Bara."

Dalam hati, ingin rasanya Amira menonjok wajah tengil Jembara. Namun, Amira buru-buru menyabarkan dirinya. Ia tidak ingin membuang tenaganya sia-sia. 

"Dih, siapa yang ngejek?"

"Kamu! Siapa lagi? Jangan ngeselin, deh."

Bagai air di tengah-tengah api yang tengah menyala-nyala, dengan senyuman khasnya, Haridra menggeleng dan melerai keduanya yang sudah pasti jika dibiarkan akan beradu mulut. "Udah, udah. Jangan berantem kalian."

Mendengar perkataan Haridra, buru-buru Amira menggandeng lengan kekasihnya. "Berangkat sekarang aja, yuk? Aku nggak mau lama-lama di sini, ada pengganggu soalnya," ujar Amira sambil mendelik pada Jembara sekilas. Yang mendapat delikan hanya tersenyum tengil.

"Iya, kita berangkat sekarang, ya." Haridra menyetujui ajakan Amira. Pemuda itu menatap Jembara dan kembali bertos ria. "Gue sama Amira pamit, ya, Bar."

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang