23. Sepucuk Surat

8 0 0
                                    

"Semalem Papa nerima tamu, ya?"

Pertanyaan yang Amira lontarkan pagi ini membuat Ardhion menghentikan aktivitas menyeduh teh chamomilenya. Tangannya berhenti mengaduk lalu kepalanya yang semula menunduk mulai terangkat dan menoleh kepada putri satu-satunya itu yang tengah duduk di ranjangnya.

Alis Ardhion terangkat sedikit. "Iya, Papa nerima tamu. Tapi, kok, Kakak bisa tahu, sih?"

Amira tersenyumkecil. "Tahu, dong. Kakak, kan, ngintip. By the way, siapa, Pa, tamunya?"

Sebenarnya, semalam Amira sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri siapa tamu yang diterima oleh sang papa, yaitu Jembara. Namun, Amira ingin tahu lebih jauh dari sekadar itu. Ia ingin tahu apa yang keduanya bicarakan. Ia juga ingin tahu apakah Jembara memberi tahu sang papa perihal hal menyakitkan itu? Namun, melihat dari gelagat papanya, sepertinya tidak ada pembicaraan soal hal menyakitkan itu.

"Jembara, Kak. Papa juga baru lagi liat dia. Semalem dia masih pake seragam, mukanya keliatan capek banget. Mukanya juga biru-biru, loh, Kak. Katanya abis berantem."

Kening Amira berkerut saat mendengar dua kalimat terakhir yang dilontarkan oleh sang papa. Merasa heran sebab setahunya Jembara bukan tipikal orang yang senang untuk bertengkar hinga menghadirkan luka di wajah. "Berantem? Berantem kenapa?"

Ardhion hanya mengedikkan bahunya. Tubuh jangkung itu berjalan ke arahnya dengan dua cangkir teh chamomile yang telah selesai diaduk. Dua cangkir itu Ardhion simpan di nakas samping ranjang putri sulungnya. "Katanya ada insiden kecil, nggak dijelasin detailnya apa. Kenapa? Kakak khawatir, ya?"

"Nggak, Pa. Jembara, kan, tubuhnya gede. Dia pasti kuat."

Tawa Ardhion mengudara. "Bener, Kak. Walaupun wajahnya bonyok, tapi Papa liat dia masih seger-seger aja walaupun keliatan capek dikit."

Amira tersenyum lagi. "Terus, Papa sama Jembara ngobrolin apa aja semalem?"

"Nggak banyak, Kak. Oh, Papa jadi inget, semalem Jembara titip surat ke Papa," ujar Ardhion. Tubuhnya berbalik ke samping, lalu tangannya membuka laci nakas, mengambil suratnya yang ia simpan di sana, dan menyerahkannya kepada Amira. "Nih. Kalo bisa, Kakak balas suratnya, ya. Jembara pasti seneng bisa dapet balasan surat dari Kakak."

Surat itu diterima oleh Amira dengan perasaan yang bahkan ia sendiri tak mampu untuk mendeskripsikannya. Dilihatnya surat yang tidak dibalut oleh amplop atau apapun itu, hanya sebuah kertas yang dirobek asal dan dliat persegi panjang tak rapi. Surat itu juga terlihat agak lecek.

"Makasih, Pa. Nanti Kakak baca."

"Kok, nanti?" Ardhion mengerutkan keningnya seraya menyeruput tehnya. "Sekarang aja, Papa penasaran tau isinya apa. Jangan-jangan surat cinta, tuh, buat kamu," godanya.

"Papa apaan, sih. Jembara udah punya gebetan, kok. Aku bacanya pas Papa pergi aja, deh."

"Papa nggak akan ke mana-mana, Kakak. Papa---"

Suara dering telepon mengisi seisi ruangan itu, menghentikan Ardhion yang akan berujar dengan kalimat selanjutnya. Ternyata ponselnya bergetar di atas sofa sana. Segera Ardhion berdiri, mengangkat teleponnya dan meninggalkan Amira yang kini hanya menatap surat itu tanpa ada niatan untuk membukanya.

Entahlah, Ia hanya belum siap untuk membuka lipatan kertas itu dan membaca tiap untaian kata yang mungkin telah Jembara tulis. Apapun isinya, ia juga tak ingin menerkanya, walaupun kini dalam benaknya tercipta beberapa terkaan yang bergulung ribut layaknya benang kusut.

Dilihatnya Ardhion yang sudah selesai dengan pembicaraannya dan ponselnya dimasukkan ke dalam saku celana jeans pendek yang tengah dikenakannya. Tab juga laptop yang biasa digunakan Ardhion untuk bekerja, pria itu memasukkannya ke dalam ransel hitam yang Sekar tahu itu merupakan hadiah darinya untuk Ardhion saat berulang tahun dua tahun lalu.

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang