17. Amira dan Haridra

12 2 0
                                    

"If i choose an abortion, would my life go back to the way it was, Ma?"

Haira terdiam. Amira yang melihatnya lantas kembali melemparkan pertanyaanya.

"Kalo aku pilih aborsi, aku nggak akan jadi seorang pembunuh, kan, Ma?"

Kepala Haira menggeleng. "Tentu aja nggak, Kak. Bukan keinginan Kakak juga kayak gini. Kalo Kakak memang pengen aborsi, nanti kita bicarain sama dokter gimana?"

Amira menatap Haira tepat di mata. Mencari kekuatan untuk dirinya menganggukkan kepala. Hingga di detik ini pun, Amira masih belum bisa mengatakan ia yakin akan melakukan tindakan aborsi. Seperti ada sesuatu di hatinya yang menghalangi diri untuk mengatakan atau bahkan untuk sekadar menganggukkan kepala saat orang lain bertanya apakah aborsi adalah tindakan yang akan Amira ambil.

Helaan napas Amira keluarkan. Gadis itu menganggukkan kepala sebagai persetujuan atas usulan yang Haira berikan.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka diiringi oleh tubuh jangkung Haridra yang mulai berjalan masuk ke ruangan. Pemuda itu datang ke rumah sakit dengan pakaian kasualnya. Kedatangan Haridra mengudang perhatian Amira dan Haira. Keduanya merasa bingung sebab Haridra datang di jam-jam sekolah.

"Loh, Nak Haridra, jam segini udah dateng?"

Pertanyaan itu menjadi penyambut Haridra di ruangan. Yang ditanya tersenyum tipis dengan tungkai yang masih setia melangkah hingga akhirnya berhenti di sisi lain ranjang Amira.

"Iya, Ma, soalnya guru-gurunya rapat, kebetulan aku juga nggak ada jadwal apa-apa lagi di sekolah," dustanya.

Haira mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti dengan apa yang Haridra ucapkan.

Haridra menghela napas lega saat Haira tidak bertanya apapun lebih jauh. Pandangannya teralih pada Amira yang tengah menatapnya balik.

"How are you?" tanyanya. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Amira.

Amira memegangi tangan Haridra dan membawanya ke dalam genggaman tangan lalu disimpannya di atas ranjang. "I'm not that good. How about you?"

"Good enough." Haridra menatap Haira lagi. Keningnya berkerut karena jawaban yang diberikan oleh kekasihnya itu. "Amira tadi kenapa, Ma?"

"Biasa, nyayat tangannya lagi. Januar tadi tidurnya lelap sampe nggak tahu kalo kakaknya kayak gitu," jawab Haira lugas.

"Bukan salah Januar, Ma." Amira menyergah cepat. Tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh mamanya. Januar memang tertidur pulas tadi, tetapi bukan salah adiknya saat ia mencoa untuk menghabisi nyawanya sendiri.

"Kalo Januar tidurnya nggak lelap tadi, dia pasti udah bantu Kakak buat balik ke ranjang dan manggil dokter tepat di detik Kakak pingsan. Kakak bahkan tadi hampir kehabisan darah. Kalo beberpa menit aja tadi kita telat ngasih Kakak bantuan, kita udah kehilangan Kakak Sekarang."

Kepala Amira menggeleng. "Tetep aja bukan salah Januar, Ma. Mama juga tahu, kan, adek seharian tadi latihan di sekolahnya. Kakak ngerti kalo Januar capek banget. Kan, Kakak juga nggak pergi, Ma. Kakak masih ada, nih, sama Mama. Sama Haridra juga."

"Ma," panggil Amira kepada Haira yang memalingkan wajahnya.

Wajah itu menoleh dan menatap Amira seolah-olah mengajukan pertanyaan 'Ada apa?'

"Mama mending samperin Januar sama Papa. Kakak takut, Papa marahin Januar habis-habisan padahal ini bukan salah dia. Lagian ini udah lama banget, mereka ke luar dari tadi. Kakak minta tolong banget, Ma. Boleh, ya?"

Betul apa kata Amira. Januar dan Ardhion belum kembali sejak empat jam yang lalu. Entah ke mana dua lelaki yang wajahnya hampir seperti dua orang kembar itu. Entah apa juga yang keduanya lakukan. Setitik rasa khawatir mulai muncul di hati Haira dan secara perlahan titik itu mulai melebar hingga melingkupi seluruh hatinya.

When The World Stops [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang