Pagi itu sama seperti pagi-pagi lainnya bagi Everalda Louise. Dia terbangun di kamarnya yang sunyi, hanya ditemani oleh suara lembut hujan yang menetes di luar jendela. Cahaya matahari terhalang awan kelabu, membuat suasana semakin temaram—sesuatu yang justru dia nikmati. Everalda selalu lebih suka suasana yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.
“Waktunya bangun, Eve,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu kamar. Everalda hanya mengangguk pelan, meski ibunya tak akan bisa melihat. Dia tidak terburu-buru untuk segera keluar dari bawah selimut. Sebaliknya, dia menarik selimutnya lebih rapat, membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam hangatnya pagi.
Setelah beberapa menit, dia menghela napas panjang dan memaksa dirinya untuk bangun. Jadwal sekolah menantinya, meski itu bukan sesuatu yang dia nanti-nantikan. Everalda adalah tipe orang yang lebih suka menghabiskan waktunya di dunia imajinasi—di antara halaman-halaman buku, jauh dari kenyataan.
Everalda bergerak perlahan, melakukan rutinitas paginya dengan otomatis. Mandi, sarapan, dan mengenakan seragam sekolah yang sudah terlalu familiar. Sambil menyuap sarapannya, pikirannya kembali melayang ke novel yang sedang dia baca, "The Glittering Crown." Novel itu sudah menemaninya selama beberapa hari terakhir, dan dia sudah hampir sampai di bagian akhir. Ceritanya penuh dengan drama dan intrik, tapi yang paling menarik perhatiannya adalah betapa sempurna hidup tokoh utama, Maureen Carmellia—gadis yang tampaknya memiliki segalanya, termasuk perhatian Raphael Clarke, si pria idaman.
“Kenapa hidup di novel selalu kelihatan lebih menarik, ya?” gumam Everalda sambil menutup novel itu. Sesaat, dia membiarkan dirinya berkhayal, membayangkan bagaimana rasanya jika dia bisa hidup di dunia itu, di mana segalanya lebih teratur dan terarah. Di mana dia tidak perlu khawatir tentang ujian atau tugas yang menumpuk, atau betapa canggungnya dia dalam bersosialisasi.
“Eve, lo nggak mau berangkat?” Suara sahabatnya, Anna, membuyarkan lamunannya. Anna adalah satu-satunya orang yang selalu memahami keheningan Everalda, tapi kali ini, dia menatap Everalda dengan cemas. “Lo nggak mau terlambat lagi, kan?”
Everalda tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya, gue siap kok. Ayo, berangkat.”
Selama perjalanan menuju sekolah, hujan masih rintik-rintik, membasahi jalanan yang sepi. Everalda hanya mendengarkan cerita Anna tentang kejadian-kejadian di sekolah, tanpa banyak bicara. Kepalanya masih penuh dengan adegan-adegan dari novel yang baru saja dia baca, bertanya-tanya bagaimana Maureen akan menghadapi tantangan berikutnya, dan bagaimana kisah cinta Raphael akan berakhir.
Sesampainya di sekolah, Everalda langsung menuju perpustakaan, tempat yang dia anggap sebagai pelarian dari realita. Di sana, dia bisa melanjutkan membaca tanpa gangguan. Dia membuka halaman terakhir yang dibacanya, tapi sebelum dia sempat melanjutkan, suara bel sekolah bergema.
“Ah, nanti aja,” katanya pada dirinya sendiri, menutup buku dengan berat hati. “Nggak bakal kemana-mana kok.”
Sepanjang hari itu, Everalda menjalani rutinitas sekolahnya seperti biasa. Mengerjakan soal-soal, mendengarkan guru, dan sesekali melirik jam dinding, berharap waktu bergerak lebih cepat. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda hari itu—sebuah perasaan aneh yang tidak bisa dia jelaskan, seolah-olah ada sesuatu yang akan terjadi.
Saat bel sekolah berbunyi tanda pulang, Everalda merasa lega. Dia kembali ke rumah dengan kecepatan yang hampir tergesa-gesa, ingin segera melanjutkan petualangannya di dunia novel.
Begitu sampai di kamar, dia langsung berbaring di tempat tidur dan membuka halaman "The Glittering Crown." Dia tenggelam dalam cerita, membiarkan dirinya terbawa oleh alur yang semakin mendekati klimaks. Hingga, tiba-tiba, matanya mulai terasa berat.
“Ah, gue capek banget,” gumamnya sambil menguap lebar. Novel itu masih terbuka di atas dadanya ketika perlahan-lahan matanya tertutup. Dia membiarkan rasa kantuk mengambil alih, tidak menyadari bahwa momen berikutnya akan mengubah segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Invasion
Teen FictionKetika Everalda membuka mata dan menyadari dia berada di dunia fiksi ini, hatinya langsung panik. "Ini... di mana gue?" bisiknya sambil mengedarkan pandangan, bingung dengan lingkungan barunya. Suara riuh dari luar ruangan semakin membuatnya penasar...