39. Adelyie, atau...

411 14 0
                                    

Saat malam semakin larut, Aleia masih duduk di kamar, sesekali melirik ke arah ponselnya yang diam. Setelah kejadian tadi, dia belum bisa benar-benar tenang. Suasana rumah yang sunyi membuatnya semakin merasa waspada, meski tahu bahwa ada tiga bodyguard yang selalu berjaga di rumah besar ini. Namun, mereka juga terbatas.

Tiba-tiba, terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya. Aleia tersentak sedikit, namun suara yang datang dari balik pintu membuatnya lega.

"Maaf, Nona Aleia," suara salah satu bodyguard yang berjaga di depan pintu utama terdengar dari balik pintu. "Teman Anda, Kathrin, baru saja tiba."

Aleia segera beranjak dari tempat tidur, merapikan sedikit rambutnya yang berantakan. "Kathrin datang sekarang? Tolong biarin dia masuk."

Bodyguard itu menjawab sopan, "Baik, Nona. Saya akan izinkan dia masuk. Jika ada yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk panggil kami."

Setelah bodyguard itu pergi, Aleia membuka pintu dan menuju ruang tamu untuk menyambut Kathrin. Namun, langkahnya terhenti di lorong ketika dia melihat dua pelayan, Marni dan Mella, yang tampak sedang berbisik-bisik cemas.

Marni, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajah keibuan, mendongak saat melihat Aleia. Dia buru-buru maju mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Nona Aleia, Anda baik-baik saja? Kami lihat Anda gelisah sejak tadi... ada yang bisa kami bantu?"

Mella, pelayan muda yang sering membantu Marni di dapur, ikut mengangguk. "Iya, Nona. Kami semua terjaga kalau ada apa-apa. Apa ada masalah? Anda terlihat pucat."

Aleia menatap mereka berdua sejenak, merasa sedikit tersentuh oleh perhatian mereka. "Aku nggak apa-apa, Mbok Marni, Kak Mella. Cuma... ada sesuatu yang bikin aku agak tegang. Nggak usah khawatir, aku bisa atasin semuanya kok."

Marni tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Baik, Nona. Tapi kalau Anda butuh sesuatu, Anda tinggal panggil kami saja. Jangan sungkan."

Setelah mengucapkan terima kasih, Aleia melanjutkan langkahnya menuju pintu depan. Ketika Kathrin akhirnya masuk, dia langsung memeluk Aleia, wajahnya penuh kecemasan. "Lo beneran nggak apa-apa?"

Aleia mengangguk sambil menarik napas panjang. "Gue udah cerita kan di telepon? Ada yang ngirimin gue pesan aneh, dan tadi ada cowok misterius datang ke sini. Bodyguard gue juga nggak bisa banyak bantu."

Kathrin melirik ke arah salah satu bodyguard yang berdiri kaku di pintu utama, lalu kembali memandang Aleia. "Lo yakin lo aman di sini dengan cuma tiga bodyguard? Rumah lo gede banget, sementara mereka cuma tiga orang."

Aleia menggigit bibirnya. "Gue tahu, itu juga yang gue pikirin. Gue takut ada yang lebih dari sekedar pesan ini."

Kathrin menggenggam tangan Aleia erat. "Kita nggak bisa ambil risiko. Gue bakal tinggal di sini malam ini, dan kita jaga sama-sama. Kalau perlu, besok kita cari cara biar keamanan lo diperketat."

Aleia mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran temannya di sisinya. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa takut belum sepenuhnya pergi. Pesan tadi masih terngiang, dan dia tahu bahwa ancaman itu belum selesai.

...

Pagi itu, meskipun suasana tampak damai setelah kejadian aneh malam sebelumnya, Aleia masih merasakan perasaan was-was yang tak kunjung hilang. Dia dan Kathrin sudah bangun lebih awal.

Matahari yang mulai menyinari halaman luas rumah Aleia tidak cukup untuk mengusir rasa gelisah di hatinya. Kathrin, yang sejak malam tidak bisa diam, langsung menghubungi teman-teman mereka—Maureen, Lily, Emily, dan Adelyie—menceritakan segala hal yang terjadi pada Aleia.

The Silent InvasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang