12. Kenapa Alurnya berubah?

1.2K 49 2
                                    

Aleia membuka pintu rumahnya dan disambut oleh kesunyian yang begitu menusuk. Suasana yang dulu ia anggap sebagai pelarian yang nyaman kini terasa berbeda. Ketenangan yang dulu ia cari saat masih menjadi Everalda kini berubah menjadi kehampaan. Ia melangkah masuk, meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk terdiam, memandangi langit-langit rumahnya.

"Gue kenapa?" pikirnya dalam hati. Aleia menghela napas panjang. Dulu, ia selalu menikmati saat-saat kesendirian. Sunyi, menurutnya, adalah teman terbaiknya-sesuatu yang ia sukai karena memberikan ruang untuk berpikir dan merenung. Namun sekarang, sepi itu justru terasa menyesakkan. Ada sesuatu yang hilang. Ia tidak tahu kenapa, tapi perasaannya begitu kacau. Rasanya, ia butuh seseorang di sampingnya, seseorang yang bisa mengisi kekosongan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Ketika pikirannya sedang tenggelam dalam kebingungan, tiba-tiba ponselnya berdering, mengagetkannya. Sebuah panggilan masuk dari grup obrolan yang berisi Kathrin, Adelyie, Lily, Emily, dan juga Maureen. Aleia melihat nama-nama itu terpampang di layar ponselnya dan merasa sedikit terhibur. Ia menggeser ikon telepon berwarna hijau di layarnya dan mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Eh, Aleia! Lo udah di rumah belum?" terdengar suara Kathrin yang ceria di ujung telepon.

"Udah," jawab Aleia singkat, mencoba terdengar biasa saja meski hatinya masih diliputi rasa sepi.

"Kita lagi pada ngobrol nih soal ujian semester yang bentar lagi. Gue kepikiran sesuatu," Kathrin melanjutkan dengan nada semangat, "Gimana kalau abis libur semester nanti kita pergi healing? Kemana kek, yang penting refreshing. Biar nggak bosen di rumah terus!"

Aleia tersenyum tipis mendengar ide Kathrin. Mungkin itu yang ia butuhkan-menghabiskan waktu bersama teman-temannya, keluar dari rutinitas yang monoton dan menyegarkan pikirannya. "Kedengeran seru sih," katanya, meski suaranya masih terdengar sedikit datar.

Suara Adelyie ikut terdengar di latar belakang, "Iya dong! Gue juga setuju banget, Aleia. Kita udah capek belajar, masa abis ujian kita langsung ngurung diri di rumah lagi?"

Emily menambahkan dengan tawa kecil, "Ya kan kita butuh liburan juga. Lo jangan jadi anak rumahan terus, Aleia!"

"Setuju banget, Aleia," suara Maureen kali ini muncul, "Kita bisa pergi bareng-bareng, biar bisa sekalian quality time, nggak cuma ngomongin soal sekolah terus."

Aleia merasa hangat mendengar antusiasme teman-temannya. Ia tahu, mereka semua ingin membuatnya merasa lebih baik, dan mungkin, tanpa mereka sadari, itulah yang ia butuhkan sekarang. "Ya udah deh, gue ikut," jawabnya akhirnya, mencoba lebih ceria.

"Yay! Akhirnya!" seru Lily, terdengar gembira. "Kita atur rencana liburannya ya abis ujian. Biar sekalian refreshing, siapa tau lo ketemu pangeran lo di sana, hahaha!"

Aleia hanya tertawa kecil mendengar candaan Lily, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Namun, setidaknya untuk sekarang, ia punya sesuatu yang bisa ia tunggu-tunggu. Mungkin, pergi bersama teman-temannya bisa membantunya melupakan sejenak kerumitan yang ia hadapi dalam hidup barunya ini.

...

Pagi itu, suasana di SMA Antasena tampak seperti biasanya. Namun, begitu Maureen tiba di gerbang sekolah bersama Raphael, segalanya berubah. Seketika, perhatian semua murid tertuju pada mereka berdua. Wajah Maureen tampak sedikit tenang, sementara Raphael, dengan sikapnya yang cuek namun karismatik, berjalan di sampingnya. Mereka terlihat berbicara ringan, namun itu sudah cukup untuk memicu reaksi berantai di antara para murid.

"Eh, itu Raphael sama Maureen, kan?" bisik seorang murid sambil melirik ke arah mereka.

"Iya, tadi gue liat mereka masuk bareng dari gerbang. Seriusan deh, ada apa mereka bisa bareng gitu?" sahut murid lainnya.

The Silent InvasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang