Keesokan harinya, Everalda, yang kini harus tetap menjalani kehidupan sebagai Aleia Chrystella, bersiap-siap untuk kembali ke SMA Antasena. Rutinitas yang tampaknya sederhana, namun baginya, setiap langkah adalah pengingat bahwa dia hidup dalam tubuh yang bukan miliknya.
Namun, dia telah bertekad untuk menerima kenyataan ini—untuk menjadikan hidup ini sebagai hidupnya sendiri.
Saat dia melangkah keluar dari rumah, Aleia kembali disambut oleh suasana sepi. Tak ada suara ibunya, Isabella, ataupun kehadiran ayahnya, Leonard. Para pelayan rumah seperti biasa menjalankan tugas mereka dengan hening.
Ia tersenyum lemah, berusaha menerima bahwa inilah dunia tempatnya sekarang. Dunia yang penuh kemewahan, namun kosong dari kehangatan.
Dalam perjalanan menuju sekolah, Aleia menatap jendela mobil, merenung. Dalam hatinya, dia mengingatkan diri sendiri bahwa di dunia ini, tidak ada pemeran utama, pemeran antagonis, atau figuran. Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah kehidupan nyata.
Semua orang memiliki peran masing-masing, namun tidak ada skrip yang mengatur jalan hidup mereka. "Gue, pemeran utama dalam hidup gue sendiri," bisik jiwa Everalda, mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia bisa menjalani kehidupan ini dengan kendali penuh.
Setibanya di sekolah, Aleia bertemu dengan teman-teman baiknya: Maureen, Lily, Emily, Kathrin, dan Adelyie. Mereka sudah berkumpul di halaman sekolah, membicarakan hal-hal biasa.
“Eh, Leia! Lo liat nggak sih tadi Maureen dikejar-kejar si Raphael lagi? Jangan-jangan dia bakal nembak Maureen tuh,” kata Emily sambil tertawa kecil.
Aleia hanya tersenyum, masih menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa apa yang dulu hanya fiksi, kini menjadi hidup yang harus dia jalani.
“Dih, siapa yang bakal ditembak! Gue sih nggak ada urusan sama si Raphael, biasa aja,” Maureen menyanggah sambil berusaha menyembunyikan senyumnya.
“Alah, ngomong aja lo, padahal lo seneng kan, Ren?” canda Adelyie sambil mengedipkan mata.
Aleia, yang masih diam sejak tiba di sekolah, akhirnya ikut bersuara. “Ya udah sih, biarin aja. Kalau emang cocok, kenapa nggak, kan?”
Mereka tertawa kecil, lalu Lily menambahkan, “Tapi kayaknya nggak bakal gampang deh, Celeste kayaknya masih ngebet banget tuh sama Raphael. Si Celeste emang nggak ada kapoknya.”
Maureen mendesah panjang. “Iya, tuh anak emang nggak bisa banget liat gue deket sama Raphael. Kayak hidup gue ini urusan dia aja.”
Mereka tertawa lagi, lalu obrolan beralih ke hal-hal lain. Aleia merasa lebih nyaman dengan teman-temannya sekarang. Meskipun masa lalu Everalda lebih suka menyendiri, di kehidupan Aleia ini, dia menemukan kehangatan dan kebersamaan yang tidak dia duga.
Dan meskipun banyak hal di sini mirip dengan apa yang dulu hanya ada di dalam novel, dia tahu bahwa di dunia nyata ini, tidak ada aturan yang baku. Semua bisa berubah, dan dia harus siap menghadapi apapun yang datang.
“Yuk ah, masuk kelas dulu, keburu bel masuk,” ajak Lily, sambil menggandeng lengan Aleia.
Aleia mengangguk dan berjalan bersama Maureen, Lily dan Emily setelah berpisah dengan Kathrin dan Adelyie yang berbeda kelas. Mereka berempat bersama-sama menuju ruang kelas.
Di dalam hatinya, dia bertekad untuk terus maju, menjalani hidup barunya dengan sikap yang lebih kuat dan penuh keyakinan. Ini bukan lagi dunia fiksi yang dulu dia kenal, tapi dunia nyata di mana dia bisa memilih jalan hidupnya sendiri.
Tiba-tiba pikiran Aleia mengingat kejadian di hari Senin lalu. Saat itu, Maverick tiba-tiba mendekatinya dan memberinya sapu tangan saat mereka sedang di sekolah. Dia ingat bagaimana pria yang biasanya pendiam itu berubah sejak perjalanan mereka ke puncak beberapa hari lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silent Invasion
JugendliteraturKetika Everalda membuka mata dan menyadari dia berada di dunia fiksi ini, hatinya langsung panik. "Ini... di mana gue?" bisiknya sambil mengedarkan pandangan, bingung dengan lingkungan barunya. Suara riuh dari luar ruangan semakin membuatnya penasar...